Sebelum bangsa-bangsa barat datang di Minahasa, kepercayaan yang berasal dari kebudayaan Alifoeroe menjadi sumber segala tata kelakuan dan perbuatan manusia. Kepercayaan akan adanya kekuatan gaib dari bentuk-bentuk alam istimewa, besar atau kecil, memberi sesajen pada arwah-arwah nenek-moyang ataupun nenek-moyang yang baru meninggal merupakan hal yang bukan "Tabu atau pantang" tetapi menjadi suatu perbuatan yang dianggap menjadi keharusan. Untuk memberi uraian lebih lanjut tentang religi orang-orang Minahasa pada zaman purba, maka pada umumnya dapat dibedakan sebagai berikut :
1). Kepercayaan akan adanya kekuatan yang magis dalam alam
Kepercayaan akan zat-roh atau serba roh atau sielestof dianut oleh orang-orang minahasa jaman purba. Bentuk-bentuk istimewa dari pada alam seperti batu, mata air, pohon yang mempunyai keistimewaan dan benda-benda yang diperoleh atas petunjuk dari arwah nenek-moyang, dianggap mempunyai kekuatan yang istimewa dan dipergunakan untuk alat pelindung. Biasanya benda-benda ini dibungkus dengan kain merah dan dipakai sebagai ikat pinggang atau diisi dalam sarung kecil yang disebut "Sompoi". Warnah merah mungkin sekali dihubungkan dengan "Keberanian", karena alat-alat pelindung ini biasanya dipakai oleh mereka yang akan menjalankan suatu tugas berbahaya, Misalnya ke medan pertempuran/peperangan. rata-rata anggota tentara atau laskar pada zaman dahulu mempunyai alat-alat seperti itu dan dianggap mempunyai kekuatan magis untuk melindungi diri. Walaupun sudah jaman modern, namun sewaktu terjadi pergolakan didaerah tahun 1957-1960, dengan munculnya apa yang disebut "Pasukan Permesta", (Menurut penuturan saksi yang hidup dijaman itu) ketika mereka turun dari gunung-gunung hampir setiap anggota pasukan mempunyai alat pelindung berbentuk kain merah yang dilingkari didada atau badan serta pergelangan tangan bagian atas. Sementara ada juga orang-orang yang mempergunakan alat-alat seperti itu untuk mencari keuntungan dalam perdagangan maupun untuk kebahagian dalam perkawinan. Untuk waktu-waktu tertentu benda-benda tersebut diberi makanan dengan jalan menjalai menyan supaya tidak hilang magis-nya.
2). Kepercayaan adanya jiwa perseorangan (Persoonlijke ziel) pada manusia
Jiwa ini dimiliki oleh tiap-tiap orang dan dapat meninggalkan jazad phisik daripada manusia, karena rindu akan seseorang atau sesuatu, terkejut atau dalam keaadan hidup yang tidak menyenangkan. Jiwa yang lari dari seseorang menurut keyakinan orang-orang Minahasa Purba haruslah dipanggil kembali pulang, karena jika tidak dan terlalu lama meninggalkan jazad phisik, maka akan mengakibatkan kesulitan atau kematian bagi yang bersangkutan. Biasanya, jika jiwa itu meninggalkan tubuh, maka orang tersebut akan sakit. Dan untuk memanggilnya ditempuh dengan jalan memanggil "Dukun" atau disebut "Balian". Setelah sang Balian mengucapkan kata-kata berupa mantera-mantera dan memohon kepada Empung (Dewa), mulailah sipenderita diperiksa. Dengan melalui jalan semacam "mawi", meramalkan sesuatu atau beberapa penyebabnya, lalu sang Balian menentukan sebab-musababnya ia menderita atau sakit. Bilamana sang Balian mengkonstatir bahwa sakitnya disebabkan oleh larinya "Jiwa", maka dibuatlah persediaan-persediaan upacara untuk memanggil jiwa yang lari itu. Sang Balian dengan cara seperti "mawi" tadi telah mengetahui dimana perginya "Jiwa" itu dan dimana ia dapat memanggilnya. Persediaan-persediaan untuk memanggil jiwa ini dapat berbentuk "sesajen-sesajen" yang akan dipersembahkan kepada arwah-arwah nenek-moyang yang telah memberikan perlindungan kepada "jiwa" yang lari itu, agar mereka dengan rela dapat melepaskan "jiwa" itu kembali kepada orang yang bersangkutan. Demikianlah dalam mempersembahkan sesajen itu, sang dukun datang berbicara dengan arwah-arwah nenek-moyang yang telah melindungi jiwa itu dan biasanya disertai dengan janji-janji tidak akan menyia-nyiakan lagi sipenderita. Berdasarkan kepercayaan ini, berarti bahwa orang-orang Minahasa pada jaman purba yakin bahwa "jiwa orang yang telah meninggal dunia dianggap tetap memperhatikan orang-orang yang ditinggalkannya didunia dan bila mana mereka yang ditinggalkan itu hidup dengan tidak menyenagkan, maka arwah-arwah nenek-moyang itu akan memanggil jiwa dari orang-orang yang hidup untuk diberikan perlindungan".
3). Kepercayaan dan Penyembahan terhadap roh dan jiwa
Roh adalah arwah dari nenek-moyang dan diberi sebutan Opo/Opok, sedangkan roh yang asalnya bukan dari manusia disebut Empung. Disamping ada Empung Wangko (Agung), dikenal pula sebutan Opo Empung yaitu Roh Nenek-moyang yang maha besar (Agung). Setelah agama Kristen masuk di Minahasa, orang-orang mencoba mengalihkan sebutan-sebutan tadi kepada pengertian yang mengarah kepada sebutan TUHAN, seperti Ningumeled, Ngeledtow, Si Tialo, Si Humokomba dan lain sebagainya. Hal ini tampak dalam berbagai buku Nyanyian dalam bahasa suku/daerah di Minahasa. Kepercayaan yang disebut Empung hampir paralel dengan kepercayaan "Monotheisme". Untuk menjalankan kekuasaannya, maka si Empung Wangko atau Opo Empung, dibantu oleh para Empung yang mereka anggap tinggal dipuncak-puncak gunung tinggi.
Dalam upacara-upacara tertentu Empung Wangko dan para Empung yang tinggal dipuncak-puncak gunung dan para Opok/Opo yang bersangkutan diberikan persembahan-persembahan tertentu. Upacara-upacara tersebut seperti dalam membuka hutan untuk tanah pertanian, membangun rumah baru, atau pun pada waktu membuat sesuatu benda menjadi Fetis. Salah satu cara yang digunakan agar sesuatu benda menjadi Fetis ialah dengan mendengar suara burung "Manguni". Di sini, benda yang akan difetiskan disediakan terlebih dahulu misalnya berupa tali sebesar ujung lidi daun enau, yang telah mempunyai simpul-simpul dalam kelompok-kelompok bilangan ganjil. Tiap-tiap angka ganjil itu dianggap mempunyai arti tertentu. Juga disediakan bahan-bahan sesajen berupa : Seekor ayam dan lain-lain yang diperlukan. Bilamana semua telah tersedia, maka pada suatu malam yang cuacanya dianggap baik dan indah, Tonaas atau Balian meminta agar para Empung atau Opo-opo dapat menyuruh burung Manguni dan mengusir segala roh penghalang maksud mereka pada malam itu. Setelah upacara persembahan selesai, keluarlah Balian atau Tonaas diikuti oleh dua atau empat orang kesuatu tempat yang berpohon-pohon yang rindang dan dipanggilah burung manguni tadi dengan sebuah seruling dari bambu kecil tetapi bila ditiup mengeluarkan suara merdu. Bilamana suaranya tenang sekali, maka dihitunglah oleh Tonaas atau Balian sambil menekan-nekan simpul pada tali, yang akan diberikan kekuatan gaib atau sakti, pada setiap selesai dengan satu kelompok simpul diucapkan kata-kata "sakti" yang akan dimiliki oleh simpul tersebut. Demikianlah, tiap-tiap simpul itu dapat dipergunakan sebagai alat pelindung dalam setiap keadaan maupun keinginan si pembawanya.
Para Empung dan Opo dapat pula memberikan tanda-tanda sakti kepada seseorang melalui mimpi atau ilham atau pula melalui suatu cara yang disebut "Medium" atau "Solongan". Dalam medium atau solongan, maka para Opolah yang datang memasuki tubuh seseorang dalam keadaan setengah sadar ataupun tidak sadar. Dalam keadaan demikian, muncullah sesuatu yang belum dapat dikatakan ....., dan anggota-anggota badan yang kemasukan itu mulai bergetar dan pada saat getaran ini mencapai klimaksnya, muncullah kata-kata yang keluar secara tidak disadari dan dengan pertanyaan seorang pendamping (Masaru), maka Opo yang telah masuk dalam tubuh orang itu, memberitahukan namanya lalu percakapan antara Masaru dan Opok berlangsung. Melalui pendamping (Masaru) tadi, menterjemahkan maksud atau kata-kata yang diucapkan oleh si Opo. Dalam hal seseorang meminta sesuatu pegangan untuk pelindung dirinya, maka si Masarulah yang menyampaikan kepada Opo. Apabila si opo dapat mengabulkan permintaan itu, pada saat itulah si Opo memberikannya yang secara spontan si Opo mengangkat tangannya seakan-akan menangkap bola, tiba-tiba munculah ditangannya benda yang dimintakan menjadi pegangan bagi si pemohon. Benda yang diminta itu, biasanya disuruh untuk dibungkus dengan kain merah atau sapu tangan kecil untuk dapat dibawa kemana-mana bagi pepegangnya. Dengan semakin tebalnya keyakinan orang-orang yang memeluk agama kristen maupun Islam, kepercayaan seperti tadi, berangsur-angsur merosot sampai sekarang dapat dikatakan sudah hampir hilang, sekalipun mungkin ada satu dua orang yang ingin mempertahankannya.
1 komentar:
Adat budaya orang tua
Posting Komentar