Kaki Gunung Soputan

Para Pejuang / Pemerhati Budaya Minaesa-Minahasa Land bersama dengan Tonaas Suku Tonsawang.

Wa'i Lesung i Nawo / Ratu Oki

Lesung ini merupakan sebagai Identitas anak Suku Tonsawang / Toundanouw.

Sumur Abur

Salah satu situs Budaya yang berada di Suku Tonsawang / Toundanouw.

Jumat, 04 September 2015

Cerita Lain tentang Kisah Toar dan Lumimuut

Ini merupakan cerita singkat dari sekelompok kecil Anak Suku Tonsawang yang memiliki versi lain tentang seorang perempuan yang sangat dikagumi khususnya di Sulawesi Utara (Minahasa) yaitu yang dikenal namanya "LUMIMUUT" dan lelaki yang dikenal dengan nama "TOAR".

Berdasarkan penuturan dari Orang Tua maupun dari seorang yang dikenal dengan sebutan Tonaas menceritakan bahwa ; Lumimuut adalah wanita yang berasal dari Tanah Cina yang datang di tanah Minahasa. Awal kedatangan Lumimuut pertama kali menginjakkan kakinya di Talaud, Kemudian Lumimuut bertemu dengan seorang pelaut berasal dari Kalimantan. Diceritakan bahwa Lumimuut lahir pada tahun 1009 M. Setelah keduanya menjalin hubungan, kemudian keduanya menikah dan menetap di Kema, dan dari Perkawinan tersebut Lumimuut mendapatkan anak sebanyak 13 orang, salah satu dari ke-13 anak tersebut adalah lelaki yang di kenal dengan sebutan "TOAR". Toar merupakan anak ke-9 dari Lumimuut dan Toar memiliki anak sebanyak 4 orang (3 laki-laki dan 1 perempuan). Dari ke-4 anak tersebut hanya 1 yang berdomisili di tanah minahasa yaitu anaknya perempuan yang dikenal dengan nama "MAMARIMBING".

Cerita ini hanya sebagian saja mengingat amanah yang disampaikan kepada penulis, pada kesempatan yang lainnya maka penulis akan menceritakan tentang nama dari suami dan anak-anak dari Lumimuut serta anak-anak dari Toar beserta tempat tinggal mereka. 

Apabila cerita ini berbeda dengan cerita yang ada selama ini, bukanlah sesuatu yang harus kita perdebatkan melainkan menunjukkan bahwa sosok dari Toar dan Lumimuut adalah nyata dan pernah hidup ditanah minahasa dan merupakan leluhur dari Orang Minahasa.

Di sisi lain dari Suku Tonsawang menyikapi cerita Tua adalah selalu berlandaskan pada nasihat orang tua dalam bahasa tonsawang "Ba'na Tempona" yang berarti "ada masanya/waktunya". Nasihat tersebut memiliki pengertian bahwa suatu cerita akan jelas terbuka atau diceritakan dengan benar pada waktu yang telah diatur dan ditentukan oleh leluhur.


Partisipasi Orang Minahasa Dalam Kancah Revolusi di Jawa

Perjuangan Masyarakat Minahasa Bandung
Foto Harry Kawilarang. Kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia sejak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus tumbuh pesat di Bandung, kota kosmopolitan yang pernah menjadi markas besar Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. Bandung juga terkenal sebagai “student Center,” atau kota mahasiswa. Kota ini dan menjadi cita-cita anak-anak di Minahasa ketika masih berada di bangku sekolah di kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan di Bandung. Terutama memasuki perguruan tinggi teknologi Bandung (Bandung Technologie Hoge School), yang kemudian dikenalan Institut Teknologi Bandung, ITB). Jawa-Barat, khususnya Bandung sudah dikenal masyarakat Minahasa sejak 1880’an.

Ketika itu antara 1880-1900 pihak Belanda merekrut sekitar 5.000 pemuda Kawanua menjadi militer dan berdinas di KNIL. Hal ini terjadi ketika pasukan Rangers dari Afrika-Selatan yang digunakan Belanda dalam perang Aceh di tarik oleh pemerintah Afrika-Selatan. Karena pasukan ini yang ahli dalam perang hutan, akan diterjunkan dalam Perang Boer yang sedang berkecamuk di Afrika-Selatan. Untuk mengganti posisi pasukan Rangers Afrika-Selatan ini hingga pihak KNIL menggunakan orang-orang Minahasa yang di rekrut dari berbagai pelosok daerah Minahasa. 

Mereka ini datang secara bertahap di datangkan dan mulanya menempati daerah Subang, yang waktu itu menjadi “training ground” untuk mendidik pasukan khusus menjadi Komando Rangers. Lagi pula Bandung waktu itu sudah menjadi Markas Besar KNIL. Yang tidak dapat dikesampingkan, sebagai “student center,” dari Bandung juga muncul pemikiran-pemikiran nasionalisme kebangsaan. Soekarno yang juga alumnus ITB menjadi menonjol dengan penampilan nasionalisme pertengahan 1920’an. Sejak itupun nasionalisme kebangsaan menyebar luas di kalangan intelektual, mahasiswa dan pelajar Bandung dan sekitarnya.
Termasuk pula kalangan masyarakat Kawanua yang bermukim dan menyatu dengan masyarakat Parahiyangan. Melalui pendidikan hingga mereka mengenal nasionalisme yang berjuang melawan keterbelakangan dan kemiskinan. Melalui pendidikan mereka meperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan hak azasi berbangsa. Dr. GSSJ Ratu Langie mendirikan perusahaan asuransi dengan nama Indonesia di Bandung pada 1925.
Setelah pasca proklamasi kemerdekaan di Jakarta dan dibentuknya badan Perjuangan KRIS, mendapat sambutan positif kalangan pemuda-pemuda turunan Kawanua di Bandung. Anti Kolonialisme Belanda yang menyulut di kota Bandung sempat pula membawa penderitaan bagi masyarakat Kawanua menjadi korban cercaan sebagai “anjing Belanda” dan sering dianiyaya.


Selama masa penjajahan Jepang, kaum nasionalis menanamkan rasa nasionalisme, terutama dalam jiwa para pemuda. Dengan berbagai cara, dan melalui gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Tentara) yang diketuai Bung Karno atau melalui "Paguyuban Pasundan" yang diketuai Otto Iskandar Dinata, generasi muda menyadari akan kebangsaannya dan rela berkorban demi kemerdekaannya. Gema Cetusan proklamasi kemerdekaan di Jakarta bergaung di Bandung, dan para pemuda segera menyusun, membangun dan menyatakan barisan-barisan perjuangan bersama rakyat, untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik Indonesia.


Untuk itu Arie Lasut dan Bert Warokka membentuk KRIS Bandung dan bergabung denan badan perjuangan APIS Bandung untuk menyelamatkan orang-orang Belanda. Mereka berhasil menyelamatkan Philip Tangkau, Arie Krikhoff Pangemanan dan Mangundap yang sempat di tahan dan nyaris dibunuh oleh pemuda-pemuda militant. KRIS Bandung giat menyelamatkan keluarga-keluarga Kawanua lainnya di pinggir kota Bandung, dan ditampung di bekas Hotel Schomper di seberang markas KRIS Bandung, jalan Naripan.


Sebelumnya, Arie Lasut, yang waktu itu menjabat kepala Jawatan Geologi, bersama Bert Warokka, bersama 20 pemuda Kawanua lainnya di Bandung Utara, memelopori pembentukan Angkatan Muda Sulawesi (AMS) Bandung. Organisasi ini di cetuskan mereka dari hasil pertemuan yang berlangsung di gedung Jawatan Geologi di Wilhelmina boulevard (kini Jalan Diponegoro), dipimpin oleh Arie Lasut.


Keanggotaan diperluas dengan masuknya pemuda-pemuda dari kota Bandung Selatan. Namun AMS sebagai organisasi mengatasi permasalahan masyarakat Kawanua di Bandung dirasakan terlalu kecil, sementara banyak pula organisasi kawanua berkembang di Bandung dengan tujuan serupa untuk membantu keluarga Kawanua dan berpartispasi aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa.


Di akhir bulan September, Arie bersama Bert menemui Daan Palar, yang di kenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat Kawanua di Bandung.
Palar setuju dengan maksud dan tujuan ini dan menghubungi para pemuda dari Minahasa Shokay –kelompok pemuka masyarakat Minahasa Bandung. Mereka ini antara lain adalah F. Nayoan, P A Lantang dan Dondo Kambey yang juga mendukung usaha ini. Palar juga menghubungi Mangundap (Onder Officier KNIL) untuk membantu dan merangkul kalangan Kawanua eks KNIL, karena Palar dibesarkan dilingkungan KNIL. Selain itu pihak AMS juga mendekati API (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS) Bandung. Ternyata terdapat persamaan garis pandang.


KRIS Bandung Didirikan
Pertemuan untuk mendirikan wadah perjuangan Sulawesi berlangsung di rumah Ir. Herling Laoh di Jalan Cimanuk. Di antara yang hadir, terdapat Ben Tumbelaka, Anwar Sonda, Arie Lasut, Bert Warokka, Lantang, Daan Palar dan Guus Mapaliey. Rapat itu memutuskan untuk melanjutkan pertemuan guna membentuk seksi propaganda dan peneranganbagi masyarakat Sulwesi, khususnya orang-orang Manado. Untuk itu, Ben Tumbelaka di tunjuk sebagai ketua panitya panyelenggara.


Sasaran pokok adalah memberi penjelasan perjuangan revolusi dan cita-cita mempertahankan proklamsi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat Minahasa di Bandung.


Waktu itu di Bandung tersiar kabar telah terbentuk organisasi kepemudaan, Angkatan Pemuda Indonesia (API) pimpinan Chaerul Saleh.


Pertemuan pemuda-pemuda Sulawesi Bandung pimpinan Tumbelaka dilakukan pada 6 Oktober 1945 di gedung Bumiputera, Jalan Lengkong Besar no. 6 Bandung. Pada malam itu acara dipenuhi tak hanya orang-orang Minahasa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, juga masyarakat Sangir-Talaud, Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Sulawesi Selatan.


Pertemuan itu bersifat konsolidasi dan memperkenalkan sesama pengurus dari masing-masing kelompok ethnis. Kemudian dilanjutkan pada 10 Oktober 1945 pukul 18.00 di gedung Loge (Loge gebouw) –kini Wastukencana. Pertemuan paripurna itu sepakat meresmikan Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS Bandung.


Untuk itu organisasi kepemudaan AMS melebur dan bergabung dengan APIS. APIS kemudian mencetuskan pernyataan solidatiras masyarakat Sulawesi Bandung memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu dari Jakarta, organisasi KRIS mengutus Alex Wenas dan Njong Umbas dengan maksud untuk mendirikan KRIS Bandung. Kedua mereka ini baru tahu bahwa APIS sudah berdiri.


Hal itu memudahkan mereka dan menghubungi Arie Lasut dan pengurus APIS di kantor Geologi Bandung, tempat Arie Lasut. Pertemuan terbatas di pimpin oleh Arie Lasut selaku tuan rumah didampingi Daan Palar dan lain-lain bersama utusan-utusan KRIS Jakarta, sepakat untuk segera mewujudkan organisasi KRIS cabang Bandung. Pada tanggal 8 Nopember 1945 dilakukan rapat anggota APIS di pendopo kabupaten Bandung.


Hari itu di bentuk Badan Perjuangan KRIS Bandung menggantikan APIS dengan susunan pengurus sebagai berikut:

  • Ketua : Daan P. Palar
  • Wakil ketua : Daeng Mohammad Untung
  • Sekretaris : Gustaaf A. Mapaliey
  • Bendahara : P.A. Lantang
  • Bagian Sosial : Anwar Sonda + Leon Makaliwey
  • Bagian Pemuda
  • (Pertahanan) : Arie Lasut & Joenoes Dumais
  • Penasehat : Ir. Herling Laoh + Ben Tumbelaka
Semua anggota pengurus diperkenalkan kepada hadirin yang menyambut dan menyetujuinya secara aklamasi. Dalam rapat itu menetapkan rumah di Jl. Naripan 6, bekas hotel "du Pavillon" (belakang gudang DENIS) sebagai markas KRIS cabang Bandung. Tidak lama kemudian pengurus mengadakan rapat umum di markas KRIS Jl. Naripan 6.

Didorong oleh rasa senasib dan seperjuangan, orang-orang asal Sulawesi di Bandung berbondong-bondong datang dan menghadiri rapat untuk mendapatkan pengarahan dari para pemuda-pemuda kawanua. Banyaknya pengunjung di luar perhitungan pengurus, sehingga banyak hadirin berdiri di luar gedung, di dekat jendela-jendela dan pintu. Mereka ingin mendapat penjelasan, pengarahan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam perjuangan bangsa itu.


Dalam rapat umum itu diresmikan berdirinya KRIS cabang Bandung, sebagai badan gabungan dari semua organisasi perjuangan kaum Sulawesi, yang terdiri dari seksi sosial dan seksi pertaha¬nan. Seksi sosial dipimpin Ny. Gunawati Wisynu Yuda dan Ny. Marietje Mapaliey-Mantik. Malam itu seksi pemuda, pimpinan Arie Lasut, mengumumkan akan membentuk pasukan tempur. Untuk itu dilakukan pendaftaran sukarelawan sebagai anggota pasu¬kan KRIS. Pada hari itu 92 orang menda¬ftarkan diri.


Pada waktu bersamaan kantor H G Rorimpandey (Gerard) di Jalan Tamblong 38, yang menghadap gang Coorde (kini Jalan Jaksa) ditetapkan sebagai markas pasukan KRIS Bandung.


KRIS Bandung di Tengah Kancah Perjuangan Fisik
Pasukan tempur (bersenjata) yang disusun seksi pertahanan KRIS, diberi nama "Pasukan KRIS Bandung". Pimpinannya dipercayakan kepada Yoenoes Dumais dengan H G Rorimpandey (Gerard) sebagai kepala staf. Anggota-anggotanya: Gerson Rambitan, Joost Dendeng, John Posumah, Papudi, Marundu, Endey, Cr. Karundeng, Yus Kawureng, Hans Losung, S A Kansil, Frans M Posumah, Joost Waworoentoe, Pua, Ben Sumampouw, Sam W G Awuy, Herto Katuuk, Josef A Warouw (Lole), Jootje Machmud Katili, Gustaaf H. Mantik, John Y Tumbelaka, Willy Rondonoewoe, Bert Mamuaja, Wim Muaya, Eddy Montung, Boy F Muntu, Jan P Sarapil, Fred Kodongan dll. Pasukan KRIS segera mengambil bagian dalam berbagai kegiatan bersenjata bersa¬ma organisasi pemuda Bandung lainnya. Pada bulan Nopember 1945, di bawah pimpinan Arudji Kartawinata (Panglima Divisi III TKR) seluruh kekuatan rakyat Bandung dihim¬pun untuk menggempur dan mengusir Inggris dan Belanda yang dengan dalih membebaskan tawanan-tawanan perang datang ke Bandung pada bulan Oktober 1945.


Pada 24 Nopember 1945 dengan serempak aliran listrik di seluruh kota Bandung dipadamkan. Pada saat itulah kekuatan rakyat melancarkan serangan terhadap posisi tentara Inggris/Sekutu yang berpusat di Bandung Utara, di Hotel Preanger dan Hotel Savoy Homan di bagian Selatan. Malam itu pasukan KRIS bergerak dalam dua kelompok ke arah Hotel Preanger hanya beberapa puluh meter dari markas Tamblong, dengan tujuan utama membentuk dan memilih pimpinan.


Sebagai pemimpin-pemimpin kelompok ditunjuk Gerson Rambitan dan Joost Dendeng, kedua mereka ini bekas tentara KNIL. Dengan persenjataan seadanya terdiri dari beberapa pucuk senapan panjang, beberapa pistol (mauser otomatis, buldog, dan sebagainya), beberapa granat tangan dan "bambu runcing", kelompok-kelompok pasukan KRIS menyerang kedudukan pertahanan Inggris, yaitu sarang-sarang mitraliur serta pos-pos penjagaan sekutu. Serangan umum itu segera disambut dan dibalas tentara Inggris dengan gencarnya.


Pada 26 Nopember 1945, di pagi hari markas pasukan KRIS Bandung dikepung tentara Inggris dan di berondong dengan berbagai jenis peluru yang dimuntahkan dari atas kendaraan "Bren-carrier" lapis baja. Wim Tumbelaka dan Lole Warouw yang pada waktu itu harus mengambil alih penjagaan markas dari Frans Posumah dan Kansil tidak lagi dapat memasuki gedung. Setelah pasukan Inggris meninggalkan tempat itu mereka memasuki gedung dan mendapatkan semua ruangan telah kosong, sedang di lantai banyak darah berceceran.


Pagi hari tu telah gugur sebagai pejuang Frans Posumah dan S.A. Kansil. Kedua pejuang tersebut merupakan tumbal pasukan KRIS yang pertama dalam perjuangan Kemerdekaan di Bandung. Menghadapi serbuan tentara Inggris yang berjumlah besar, pasukan KRIS tak dapat bertahan lama dan terpaksa meninggalkan markas melalui lubang yang telah dibuat sebelumnya pada tembok di belakang gedung. Seluruh pasukan berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh dan berkum¬pul kembali di sekitar gang Saat. Kedua korban, yang mereka bawa serta, diserahkan kepada pos PMI setempat, yang kemudian mengangkutnya ke RS Cicendo di mana kedua jenazah diserahkan kepada sekretaris KRIS Bandung, G.A. Mapaliey untuk diurus pemakamannya. Dengan kendaraan yang disediakan TKR, kedua jenazah itu diangkut dan dikuburkan di tempat penguburan Pandu dalam upacara agama Kristen Protestan yang sederhana, dipimpin Runtunewe.

Pada saat itu hanya beberapa teman seperjuangan yang dapat hadir, antara lain, suami istri Mapaliey-Mantik, Yootje M. Katili dan Nona Mangindaan, wanita pejuang yang bergabung dengan Polisi Tentara Bandung. Setelah pasukan KRIS berhasil meloloskan diri dari kepungan sekutu di markas KRIS, Gang Coorde, Yoenoes Dumais memutuskan memindahkan pasukan ke selatan. Bersama dia turut mundur H G Rorimpandey, Papudi, Joost Dendeng, Hans Losung, Cr. Karundeng, Jus Kawurang, dan lain-lain.

Kelompok ini untuk sementara mendirikan markasnya di Jalan Pangarang, dekat Jalan Lengkong Besar. Namun tentara Inggris melanjutkan aksi dan terus menggempur laskar pejuang KRIS. Di sana mereka disertai pasukan pejuang Repulik lainnya mengalami gempuran dan pemboman dari udara dan darat oleh tentara gabungan Inggris/NICA, yang berhasil menerobos sampai ke bagian selatan kota Bandung. Di samping itu para pejuang menghadapi ujian berat, akibat banjir besar kali Cikapundung, yang dengan ganas melanda daerah yang harus mereka lalui. Keesokan harinya kelompok pasukan KRIS pindah lagi ke kampung Sindangpalaj dan kemudian menuju Buahbatu.


Di gang Damai pasukan KRIS Bandung menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi yang bersimpati dan kagum terhadap perlawanan yang dilakukan pasukan KRIS walau dengan persenjataan seadanya, tetapi berani menghadapi pasukan gabungan Inggris/NICA dengan kelengkapan senjata yang lebih modern. Daya tarik ini hingga pemuda-pemuda non-Sulawesi ikut bergabung dan berjuang bahu-membahu bersama pemuda-pemuda KRIS. Di antaranya terdapat Ben Wattimena (Ambon), Adolf Roos alias Suwardi (Indo-Belanda), dan lain-lain. Sebagai hasilnya, pasukan KRIS Bandung semakin banyak menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi (Sunda, Jawa) menjadi anggota, karena mereka sadar akan keharusan kesatuan dan persatuan dalam kemerdekaan.

Laskar Wanita KRIS di Bandung
Waktu itu di Cibangkong terdapat sekelompok wanita Kawanua yang ikut berjuang dalam barisan Srikandi setempat di bawah pimpinan Ny. Palohon. Mereka bergabung dengan pasukan KRIS Bandung di bawah pimpinan Nn. Bertha Woengow membentuk pasukan Palang Merah KRIS. Di masa-masa mendatang mereka membuktikan jasa-jasanya yang sangat besar sebagai pejuang di daerah-daerah pertempuran sebagai prajurit kesehatan di garis depan. Pada waktu itu berlangsung perundingan antara Sekutu dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia, dipimpin oleh Menteri Penerangan RI, Mr. Amir Syarifuddin, di Bandung, yang mencapai persetujuan sementara tentang penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu dengan wilayah RI, yaitu jalan kereta api membagi Bandung dalam wilayah utara dan selatan. Pasukan KRIS Bandung bertugas menjaga dan mempertahankan daerah selatan sepanjang rel kereta api dan jalan raya dari Cikudapateuh ke timur sampai perbatasan Cicadas.


Tugas ini dilak¬sanakan dengan menempatkan pos-pos pengamat (kawal depan) di tempat-tempat strategis untuk mengamati tempat-tempat pertahanan tentara Inggris, antara lain pos penjagaan Inggris di sisi utara rel kereta api pada persilangan Jalan Kosambi-Jalan Raya Timur-Jalan stasiun Cikudapateuh.

Di samping itu secara teratur diadakan patroli di sepanjangl rel bagian selatan. Sementara itu pasukan KRIS Bandung berusaha mengadakan kontak dan hubungan baik dengan serdadu-serdadu India (Gurkha dan Sikh) yang bertugas di pos penjagaan Inggris terdepan.


Maksudnya mempengaruhi mereka agar dapat memahami dan memaklumi tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan penjaja¬han, supaya mereka mau memihak pada RI atau sekurang-kuragnnya tidak menghalangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Usaha itu cukup membawa hasil. Beberapa orang serdadu India menyeberang menjadi anggota TKR dan sampai akhir revolusi mereka berjuang bahu membahu dengan pejuang KRIS.


Pada 3 Desember tentara Sekutu mengadakan serangan terhadap stasiun kereta api dan Balai Besar Kereta Api yang dikuasai AMKA (Angkatan Muda Kereta Api). Mereka bergerak dengan mengerahkan kendaraan lapis baja dengan artileri. Serangan mereka mendapat perlawanan gigih dari para pejuang, hingga terjadi pertempuran sengit yang meminta banyak korban. Anggota-anggota pasukan KRIS Bandung turut melibatkan diri dalam pertempuran, yang dikenal dengan sebutan "pertempuran viaduct".
Banyak korban yang jatuh pada pihak pejuang, dan pada akhirnya serangan Inggris dapat dipatahkan.


Pada 6 Desember 1945, menjelang pagi subuh, tentara Inggris yang berkedudukan di Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger bergerak dengan mengerahkan kendaraan-kendaraan lapis baja ke arah Jalan Lengkong Besar dengan dalih hendak membebaskan orang-orang Belanda (Indo) yang ditahan di jalan Tumdorp dan Ciateul. Mereka harus melintasi rintangan-rintangan jalan yang telah dipasang para pejuang. Di samping itu di mulai dari jalan Cikawao, mereka terus-menerus diserang kesatuan-kesatuan TKR dan barisan laskar dan pejuang, termasuk di dalamnya anggota-anggota pasukan KRIS yang membela Kemerdekaan.
Pertempuran hidup atau mati berlangsung sepanjang hari. Pada tengah hari tentara Inggris mengerahkan pesawat-pesawat udara jenis pembom (B-25) dan mustang dan gencar membom dengan bom api dan menghujani tembakan dari udara di daerah Lengkong dan sekitarnya, tetapi para pejuang tetap melawan dengan gigih. Tetapi pertempuran sehari suntuh berlangsung sengit dan korban berjatuhan pada kedua belah pihak harus membayarnya dengan jiwa orang-orangnya.


Pada 16 Desember 1945, di markas KRIS, gang Deme Cibangkong, diadakan reorganisasi dalam badan perjuangan KRIS dan mengevaluasi hasil kegiatan perjuangan dan membagi pengalaman-pengalaman Belajar dari kekalahan, berlatih dalam pertempuran.


Semenjak markas KRIS di Jalan Tamblong ditinggalkan pada bulan November 1945, kelompok pasukan KRIS yang pertama tidak lengkap lagi. Ketika tentara Inggris menyerbu markas Tamblong, hanya sebagian, pasukan, yaitu yang giliran jaga, berada di markas, sedangkan yang lain bertugas pada siang hari belum hadir. Waktu itu pimpinan membagi anggota-anggota dalam beberapa kelompok untuk secara bergiliran bertugas siaga di markas. Pihak tentara Sekutu ketika terus memburu pasukan KRIS dan pejuang-pejuang lainnya. Semua tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang diserang dan digeledah, sehingga para pejuang harus berpindah-pindah tempat dan terdesak ke luar kota. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mudah bagi kelompok-kelompok pasukan KRIS yang terpencar mengada¬kan kontak dengan induk pasukannya. Untuk sementara mereka bergabung dengan pasukan-pasukan terdekat menghadapi serangan-serangan musuh.


Akibat penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu (Inggris) dan Republik pada bulan Desember 1945, Inggris menghentikan aksi-aksi operasinya ke selatan. Hal ini membuat pertempuran mereda dan situasi menjadi agak tenang. Dalam penyelidikan/ peninjauan ke daerah kampung Cibangkong yang baru dibebaskan (yang termasuk daerah Selatan) oleh pejuang gabungan. Di gang Deme pasukan KRIS mendapati dua buah rumah dalam keadaan kosong. Rumah-rumah itu segera mereka tempati dan kemudian menjadi markas baru pasukan KRIS Bandung.


Di tempat ini dilakukan konsolidasi pasukan KRIS. Anggota-anggota yang sudah sempat terpencar dicari untuk dikumpulkan kembali. Baik kelompok maupun seorang demi seorang mereka ditemukan dengan gembira kembali lagi. Tetapi ada juga yang tidak muncul untuk bergabung kembali dengan pasukan KRIS. Ada juga anggota yang sewaktu terjadi kekacauan oleh pertempuran, bergabung dengan KRIS, kembali ke induk pasukannya seperti Papudi, menjadi Kapten di TKR Batalion II (Soemarsono) dan Yus Kawureng, Cr. Karundeng, Marundu dan Endey, masing-masing menjadi Letnan di Batalion II yang sama. Lundert Losung (Netje) dan Marcel Mohammad, siswa Sekolah Teknik Tinggi, sudah lebih dulu mengundurkan diri, sewaktu pasukan masih bermarkas di Jalan Tamblong, mereka berangkat ke Jawa Tengah (Yogya). Di sana Losung bergabung dengan Tentara Pelajar dan kemudian di dalam suatu pertempuran melawan Belanda di Karanganyar, daerah Kertoardjo-Gombong, dia gugur sebagai bunga bangsa. Marcel Mohamad di kemudian hari kembali juga ke Bandung dan bergabung kembali setelah memasuki Resimen Pelopor.

Di samping itu di gang Damai muncul muka-muka baru, yaitu mereka yang ingin bergabung dalam pasukan KRIS Bandung yang tinggal di sekitar daerah itu, antara lain Yoost Assa dan Gerrit Teuru. Di antara orang-orang baru itu terdapat seorang pemuda remaja berusia 15 tahun, Jopie Tulis, yang juga ingin bergabung dengan pasukan. Dia membawa sebuah senapan Steyr.


Sebelum itu Jopie Tulis telah menjadi anggota BKR di tempat kediamannya di Sukadja¬di, Bandung Utara. Pada suatu malam, bersama-sama kawan-kawannya dari BKR, mereka berhasil mendapatkan senjata dari gudang senjata dan mesiu tentara Jepang dekat villa Isola (sekarang IKIP Bandung), yang pada siang harinya telah diledakkan. Beberapa hari setelah bergabung dengan pasukan KRIS, anak muda itu pergi menjemput ibu dan adik-adiknya yang masih di Bandung Utara. Dia ditahan pasukan Inggris dan diserahkan kepada NICA untuk pemeriksaan lebih lanjut.


Oleh sekelompok pemuda Belanda/Indo, yang kedengarannya bernama van Goven dan Yansen, dia "diperiksa" dan dipukuli sampai babak belur. Tetapi nasibnya masih baik. Beberapa hari kemudian dia mendapat peluang melarikan diri. Dia harus melalui pos-pos penjagaan tentara Inggris dan Jepang. Dengan tabah dan ulet dia dapat melalui semua rintangan dan selamat tiba di selatan, di markas gang Deme, sekalipun dengan punggung yang terluka, penuh bilur-bilur bekas cambukan.


Pada suatu hari seorang bekas "instrumentenmaker" angkatan udara KNIL, Talumukir, ditahan oleh salah satu pasukan pejuang. Pasukan KRIS diminta membantunya. Hal itu disetujui, tetapi sebelumnya dia harus membuktikan kesungguhan berpihak pada Republik. Untuk itu bertugas membongkar sebuah gudang barang RAPWI/NICA yang terda¬pat di daerah Utara, dekat lapangan terbang Andir. Dengan bantuan dan kawalan Lole Warouw, Wim Tumbelaka dan Gustaaf Mantik, Talumukir berhasil membawa lari satu peti besar berisi bahan-bahan distrib¬usi NICA, yang kemudian diserahkan pada pasukan KRIS. Dia diteri¬ma menjadi anggota pasukan dan ditugaskan memimpin sebuah regu sekaligus bertindak sebagai instruktur/pelatih.


Hampir pada waktu bersamaan, keluarga Andries Luntungan dengan anaknya, John Luntungan, berhasil diamankan pasukan KRIS dari kediamannya di sebuah tempat terpencil, yang mendapat ancaman dari pemuda-pemuda rakyat.


Andries Luntungan, bekas ajudant onder officier angkatan udara KNIL, dalam pasukan KRIS diangkat menjadi instruktur. Di samping bertugas dalam rangka perjuangan bersenja¬ta, pasukan KRIS Bandung turut berperan dalam berbagai kegiatan serta usaha, sejak APIS didirikan sudah merupakan program kerja para pejuang Sulawesi Bandung, antara lain: 



  1. Menghapus prasangka umum, bahwa orang-orang Ambon dan Manado dengan sendirinya merupakan golongan pro Belanda dan dengan demikian menganggap dan memperlakukan mereka sebagai kaki tangan musuh;
  2. Membantu menampung keluarga-keluarga asal Sulawesi di Bandung yang mengalami kesusahan dan bahaya, karena harta benda dan jiwanya terancam. Dan sehubungan dengan itu mengadakan hubungan dengan semua orang Sulawesi, khususnya di daerah Priangan;
  3. Melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dan memperlancar usaha-usaha tersebut, yang secara langsung atau tidak langsung turut menunjang perjuangan bangsa, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Dalam waktu singkat pasukan KRIS Bandung sudah dikenal dan dihormati, khususnya oleh barisan-barisan perjuangan lainnya. Oleh masyarakat banyak mereka disegani, sedang oleh musuh dibenci dan ditakuti. Hal ini berdampak positif yang sekaligus menambah beban moral dalam tanggung jawab terhadap perjuangan Bangsa, tidak hanya di Bandung, tetapi kepada semua pasukan KRIS di Jawa.

Dalam pada itu pasukan KRIS sudah membina kerjasama yang baik dengan badan-badan perjuangan lainnya, TKR dan barisan-barisan kelaskaran, dan dengan sendirinya dengan Markas Daerah Perjuangan Priangan, yang kemudian dikenal dengan sebutan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan atau MPPP di bawah pimpinan Aruji Kartawinata. Dalam usaha-usaha tersebut peranan Arie Lasut sangat menentukan.


Sekalipun tak seluruh program dapatdilaksanakan oleh seksi pertahanan dengan baik, untuk itu selalu diadakan kerjasama yang baik dengan KRIS umum/sosial di bawah pimpinan Daeng Moh. Untung dengan G A Mapaliey.


Lain usaha yang perlu juga disebut ialah usaha yang dilaksa¬nakan Guus Mapaliey dalam hal pencarian dan pemberian informasi mengenai gerakan pihak Inggris. Hal itu dia dapat lakukan, karena pada waktu itu dia masih bertahan tinggal di Jalan Westhoff, Bandung Utara, berseberangan jalan dengan daerah yang ditempati tentara Inggris, yang umumnya terdiri dari serdadu-serdadu Sikh dan Gurkha. Dengan demikian dia dapat menjalin hubungan baik dengan mereka. Pada mulanya beberapa serdadu India datang berkunjung ke rumahnya.


Dengan mereka ia dapat mengadakan percakapan tentang sifat-sifat nasionalisme yang bertitik tolak pada buku tentang Mahatma Gandhi, pemimpin besar perjuangan kemerdekaan dan gerakan swadeshi di India. Dengan menarik persamaan-persamaan dengan perjuangan bangsa India, maka perjuangan Indonesia menjadi hidup bagi orang-orang India tersebut, sehingga lambat laun mereka bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu tergambar dengan kerelaan mereka memberi berbagai informasi kepada Mapaliey tentang operasi yang akan dilancarkan tentara Inggris, sehingga berdasarkan keterangan itu KRIS dapat melakukan persiapan, dan memberitahukan rencana Inggris kepada pasukan/barisan melalui Soegiharto.

Soegiharto waktu itu menjadi opsir penghubung TKR atau langsung kepada pasukan Sukanda Bratamenggala, khususnya mengenai gerakan yang menyangkut daerah pertahanan utara Bandung. Beberapa kali sudah terbukti, bahwa informasi itu dapat menghindarkan pasukan dan rakyat dari malapetaka


Foto-foto: Bandung lautan api... Laskar bekumpul sebelum melakukan aksi gerilya. Pasukan Sekutu SEAC memasuki kota. Latihan menembak.
Sumber : Harry Kawilarang

 

Usaha Belanda Menggusur Dominasi Inggris di Indonesia


Pendaratan Inggris di Indonesia
Foto Harry Kawilarang. Jakarta, 15 September 1945. Tentara Inggris mendarat di pelabuhan Tanjung Priok dengan pimpinan Laksamana Muda W R Patterson dari Fifth Royal Cruiser Squadon dengan kapal HMS Cumberland. Seminggu sebelumnya beberapa perwira intelijen Inggris pimpinan Mayor Greenhalgh mendarat dengan payung terjun di lapangan terbang Kemayoran. Greenhalgh langsung menghubungi Jendral Nagano, panglima pasukan Angkatan Darat Jepang di Jawa untuk menyampaikan mengenai rencana pendaratan pihak Sekutu. Untuk itu Nagano sepakat untuk membantu melakukan pengamanan dan penertiban agar tidak terjadi konflik dalam proses pendaratan Sekutu di Jakarta. Dengan kedatangan Patterson, tentara Inggris segera menduduki beberapa bagian penting di Jakarta. Tugas resmi mereka ialah menjaga keamanan, melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan mereka negerinya, serta melepaskan tahanan militer dan sipil orang-orang Sekutu dari kamp-kamp tawanan Jepang.

Kedatangan Sekutu yang lebih awal telah menghalangi pemuda Jakarta untuk medapatkan senjata-senjata Jepang dengan jumlah yang diharapkan, baik melalui perundingan-perundingan maupun dengan ancaman serangan massa. Berlanjut dengan kedatangan jumlah pasukan tempur lebih besar lagi pada 28 September. Batalyon “Seaforth Highlanders” berkekuatan 500 pelaut dan marinir Inggris hari itu mendarat di Jakarta. Pendaratan ini kemudian di ikuti oleh kesatuan-kesatuan dari divisi ke-5, ke-23 dan ke-26 India yang dipimpin perwira-perwira Inggris dibeberapa kota di Jawa dan Sumatra. Karena keterbatasan tenaga kekuatan hingga pihak SEAC menempatkan kesatuan-kesatuan ini pada posisi strategis di Jakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang dan Medan. Yang juga mendapat perhatian khusus adalah Bandung dan daerah Parung dekat Bogor dengan tujuan utama melucuti senjata-senjata milik pasukan Jepang.

Sedangkan di wilayah Timur Indonesia dilakukan oleh pasukan Australia yang sejak awal 1945 telah berada di Papua Barat dan mendirikan markas di Morotai. Pada bulan Mei, kesatuan dari Divisi kesembilan merebut pulau minyak, Tarakan, sedangkan Divisi ketujuh menduduki Balikpapan pada bulan Juli. Ketika perang berakhir, pasukan Australia di Indonesia Timur berjumlah 50.000 prajurit melucuti militer Jepang dari Indonesia Timur hingga Kalimantan. Masing-masing: Kupang (11 September), Banjarmasin (17 September), Makassar (21 September), Ambon (22 September), Manado (2 Oktober) dan Pontianak (16 Oktober).


Belanda ikut membonceng
Pada pendaratan SEAC di Tanjung Priok ikut pula van der Plas, bekas gubernur Belanda di Jawa-Timur semasa Hindia-Belanda. Setelah berada di Jakarta, ia langsung mencari hubungan dengan pemuka-pemuka Indonesia yang dikenalinya dengan maksud untuk berpihak pada Belanda. Kehadiran pasukan Belanda yang membonceng Sekutu dan giat melakukan aksi provokasi dan agresi menimbulkan berbagai konflik di Jakarta. Kontak fisik dan perkelahian bersenjata terjadi hampir setiap hari.


Pada 27 September 1945 Van der Plas dipanggil oleh Laksamana Mountbatten di Singapura untuk mengadakan pembicaraan. Pada pertemuan itu, hadir pula Menteri Pertahanan Inggris, Lawson. Sebelumnya perwira-perwira intelijen Sekutu yang sedang bertugas dibawah pimpinan Letnan Kolonel Van der Post, telah menasehati pada Mountbatten agar Sekutu mengadakan pembicaraan dengan pihak Republik, terutama Soekarno-Hatta tanpa mempersoalkan pengakuan siapa yang memegang pemerintahan secara sah di Indonesia.


Pada pembicaraan itu memaksa Van der Plas membatalkan pihak Belanda menangkap Soekarno-Hatta dengan bantuan Laksamana Patterson. Selain itu Van der Plas juga gagal membujuk dan menarik kaum intelektual Indonesia berpihak pada Belanda.


Suatu peristiwa di akhir September 1945 terjadi ketika Van der Plas mengadakan pertemuan dengan para pejuang gerakan bawah tanah anti-Jepang di kediaman nyonya Sujono, isteri mendiang RAA Soejono yang meninggal di London pada 5 Januari 1943. Tetapi sebelum pertemuan dimulai, rumah nyonya Sujono diserbu para pemuda dan mahasiswa, antara lain Soebianto, Soeroto Koento, Bagdja Nitiwirja, Islam Salim dan beberapa mahasiswa kedokteran. Rencana pertemuan itu diketahui oleh Soebadio dan diteruskan kepada para pemuda dan mahasiswa tersebut, sehingga dengan penyerbuan itu pertemuan gagal dan Van der Plas tak berani melanjutkan. Terhadap Indonesia, Inggris juga prihatin dan imbauan serius. Laksamana Patterson menugaskan Let-kol Laurence van der Post untuk menyampaikan kepada Soekarno-Hatta keprihatinannya terhadap keamanan dan ketertiban di Jakarta. Adanya kekacauan akan mempengaruhi citra yang baik terhadap dunia luar, sehingga Indonesia akan kehilangan simpati dunia.


Mulanya Laksamana Mountbatten tidak ingin mengikut sertakan pasukan Belanda pada pendaratan di Jawa dan Sumatra untuk mencegah konflik dengan dengan barisan Republik yang dapat mengacaukan keadaan. Tetapi Van Mook berjanji akan menemui pemimpin-pemimpin republik –walau pemerintah Den Haag melarang van Mook melakukannya.
Untuk itu SEAC mengikut sertakan satu batalyon NICA terdiri dari turunan Ambon, Menado, Indo dan sejumlah kecil orang Belanda yang menetap di Indonesia. Tetapi batalyon ini pun ditarik Mountbatten karena kedapatan tidak mengikuti disiplin aturan Inggris di Indonesia. Untuk itu Mountbatten mengeluarkan surat perintah menarik semua pasukan Belanda pada 17 Oktober 1945 dan di tempatkan di Semenanjung Malaya.


Kebijakan Mountbatten dikecam oleh Belanda, tetapi Mountbatten tidak ingin mengambil risiko, karena Belanda di benci oleh penduduk. Selain dilandasi oleh militansi nasionalisme, kebencian juga terjadi karena Belanda di masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tidak gigih membela, bahkan terlalu mudah menyerah ketika diserbu oleh Jepang tanpa perlawanan. Sebaliknya, pihak Belanda tidak senang terhadap Inggris ketika Jendral Philip Christison di wawancara Kantor Berita “Reuters” di Singapura yang mengatakan tidak mengganggu pemerintahan Republik Indonesia yang sudah terbentuk, baik di luar maupun wilayah pendudukan pasukan Inggris.


Pada 29 September Jendral Christison mengatakan: "Pasukan Inggris dan India-Inggris tak ingin terlibat dalam konflik politik intern antara Belanda dengan Indonesia. Kami juga ingin tidak mengenyampingkan kedaulatan pemerintahan Indonesia yang sudah terbentuk. Untuk itu Pasukan Inggris tidak menyertakan pasukan Belanda." Pernyataan ini dilakukan pihak SEAC karena pemimpin-pemimpin Indonesia menolak kehadiran pasukan-pasukan Belanda." Dalam pernyataan itu, Jendral Christison mengatakan bahwa ia merencanakan akan mempertemukan pihak Belanda dengan Indonesia dalam suatu pertemuan khusus.


Pernyataan Christison yang menjadi berita utama media cetak dan siaran radio menimbulkan reaksi keras pemerintahan Den Haag. Pihak pemerintah Belanda menolak gagasan Christison, karena bila itu terjadi, berarti mengakui "pemerintahan boneka Jepang." 


Pada 30 September, van Mook mengirim kawat kepada Laksamana Louis Mountbatten mempertanyakan mengenai pernyataan Christison. Untuk meredakan keadaan, Mountbatten menyuruh Christison meralat dengan pernyataan baru. Isi ralat itu mengatakan: A). SEAC hanya mengakui pemerintahan NEI; B). Pasukan Belanda tidak di ikut sertakan karena belum siap, dan boleh ikut bila sudah terkumpul; C). Panglima AFNEI (Christison) akan menempatkan perwakilannya di Batavia dan D). Perwakilan Belanda di Batavia, Van der Plas mengatakan kepada SEAC akan menemui pemimpin-pemimpin Indonesia.


Mulanya Christison membantah keterangannya dan mengatakan bahwa wartawan “Reuters” itu salah mengutip. Yang benar menurutnya adalah bahwa ia tidak meminta pemerintah Indonesia melayani pasukannya sebagai tamu dan mengatakan bahwa Inggris tidak ingin mencampuri politik di Indonesia. Keadaan berbalik ketika Christison dengan resmi meralat ucapannya hingga menguntungkan posisi Belanda menggunakan SEAC menyudutkan Indonesia. Juga memungkinkan bagi Letnan-Gubernur Jendral H J van Mook sebagai kepala pemerintahan NEI berada di Jakarta yang tiba pada 2 Oktober dari Brisbane. Bahkan Laksamana Helfrich dan Jendral van Oyen sebagai perwira-perwira tinggi KNIL tiba di Jakarta pada 1 Oktober bersama sejumlah perwira staf mendirikan Markas Gabungan militer Belanda.


Helfrich bertindak sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Wilayah Timur, van Oyen menjadi Panglima AD, Laksamana Muda P. Koenraad Helfrich sebagai Panglima Angkatan Laut, Mayor Jendral J H Uhl sebagai Kepala Staf KNIL, Kapten Laut J J Willinge menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, Mayor Jendral W Schilling sebagai Panglima Jawa Barat dan Kolonel Hein Spoor menjabat Direktur NEFIS. Belanda mencurigai Inggris telah berpihak pada Republik. Hal ini timbul ketika van Mook meneliti catatan kalangan media yang meliput Christison 29 September 1945 lalu. Ia mendapati ucapan Christison salah kutip dan mengadu kepada Logemann di Den Haag.

Pada 1 Oktober 1945, Soekarno-Hatta mengirim pesan kepada Panglima SEAC. Pesan itu berbunyi: "Kita tidak meminta Pasukan Sekutu mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Yang kami inginkan, hormatilah kami sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki pemerintahan. Sekarang ini bangsa Indonesia berada dalam posisi mempertahankan kemerdekaan, sementara Belanda melakukan aksi propaganda melalui Radio Australia yang mengancam kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali berkuasa.”


Pesan itu menanggapi pernyataan NICA yang disiarkan melalui Radio Australia yang mengancam akan menindak para pelaku terhadap bekas jajahan yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda yang ingin dikuasai kembali.


Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mengemukakan bila ingin menenteramkan keadaan, pihak SEAC secara psikologis harus memahami aspirasi rakyat Indonesia yang akan mempertahankan kemerdekaannya. Pernyataan NICA yang dikaitkan dengan pendaratan SEAC menimbulkan kecurigaan kalangan pemimpin-pemimpin Republik. Pendaratan itu berarti memberi peluang pasukan Belanda memasuki wilayah Indonesia untuk berkuasa kembali. Soekarno-Hatta memperingatkan: "Untuk menenteramkan keadaan, jangan menghalangi aspirasi rakyat bila tidak ingin menerima konsekwensinya."


Pendaratan pasukan sekutu di sambut dingin oleh pemuka-pemuka Republik dan masyarakat setempat. Sekalipun Pasukan Inggris dan India bebas berkeliaran di kota, tetapi tidak demikian dengan pasukan NICA Belanda yang menjadi mangsa perkelahian dari kalangan pemuda yang membenci Belanda. Padahal pendaratan baru berlangsung tiga hari, tetapi pasukan Belanda hanya berada di pelabuhan Tanjung Priok dan di pangkalan militer Cillitan (kini Halim Perdana Kusumah) di jaga ketat agar tidak menjadi korban hantaman kalangan "ekstrimis" seperti yang di alami pasukan sekutu bekas tawanan Jepang yang telah bebas, tetapi menjadi korban pengeroyokan perkelahian jalanan. Pernyataan pihak NICA ingin melakukan alih pemerintah melalui siaran Radio Australia ternyata menjadi sumber ketegangan bagi pasukan sekutu sejak mengadakan pendaratan pada minggu pertama di Jawa dan Sumatra. Disamping itu, pengucilan terhadap Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta oleh sekutu dan tidak dihormatinya Indonesia sebagai bangsa juga menjadi penyebab hingga Sekutu tidak merasa aman.


Suasana ketegangan dilaporkan Jendral Phillip Christison kepada Panglima SEAC, Laksamana Louis Mountbatten pada 4 Oktober 1945. Christison mengatakan: "Setelah cetusan proklamasi kemerdekaan, situasi Indonesia sudah berubah. Bahkan tentara Jepang tidak dapat mengendalikan. (pemerimtah) Belanda boleh bersikap reaktif, tetapi pasukan kami di lapangan yang berhadapan langsung dengan semangat militansi tinggi dari pemuda. Hal ini sangat membahayakan bagi keselamatan pasukan sekutu dan pengungsi-pengungsi awam bekas tawanan Jepang.”


Pada bagian lain Christison menggaris bawahi: "Sebaiknya van Mook pergi ke Negeri Belanda dan menjelaskan kepada pemerintah Den Haag mengenai situasi dan perkembangan sebenarnya dan bersikap realistis untuk menerima kenyataan, bahwa cetusan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah murni dan sama sekali tidak didukung Jepang. Harus di akui bahwa yang memimpin sekarang adalah pemerintahan Soekarno. Kenyataan ini mengejutkan orang-orang (pasukan) Belanda sendiri, hingga sukar bagi kami menghadapi mereka ini yang ibarat burung onta menyembunyikan kepala di pasir karena tidak mau melihat kenyataan. Sebaiknya pihak pemerintah Belanda memberi arahan kepada van Mook agar Belanda merubah sikap terhadap Indonesia. Masih ada kesempatan bila (pemerintah) mau mengakui kenyataan ini. Dengan demikian akan menempatkannya berjiwa besar di mata dunia internasional. Selain meningkatkan citra Belanda dengan mau mengakui kedaulatan pada bekas jajahannya juga terjalin hubungan dan kerja-sama yang baik dengan bangsa Indonesia."


Sebelumnya, himbuan agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia juga disampaikan oleh Laksamana Mountbatten dalam suratnya tanggal 28 September kepada van Mook. Lagi pula perubahan sikap kerajaan Belanda terhadap bekas jajahannya, Hindia-Belanda sudah disampaikan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidato radio 6 Desember 1942 masa peperangan di tempat pengasingan. Pada pidato itu, Ratu menjanjikan setelah usai perang, pihaknya akan membentuk system persekemamuran terhadap Indonesia, Suriname dan Curacao. Dua terakhir ini adalah jajahan Belanda di Hindia Barat. Mountbatten berpendapat, sebaiknya pidato Ratu mengenai Wilhelmina kemerdekaan terhadap bekas jajahannya disebar luaskan di Indonesia.


Mountbatten mengatakan: "Andaikan masyarakat memperoleh penjelasan kearah perbaikan yang dilakukan pemerintah Belanda; Andaikan (pemerintah Belanda) menyadari, akan sia-sia saja membendung perjuangan kemerdekaan, dan sebaiknya secara bertahap mewujudkan perdamaian; Andaikan keberadaan mereka di akui untuk menentukan nasib sendiri, mereka dengan sepenuh hati akan membuka diri dan dengan tangan terbuka menjalin hubungan kerja-sama, yang dengan begitu akan mengakhiri kemelut di Indonesia, seperti halnya (yang di lakukan Inggris di Burma)."


Tetapi himbauan Mountbatten maupun Christison mengenai masa depan Indonesia tidak ditanggapi pemerintahan Schermerhorn. Sedangkan Mountbatten mengkwatirkan akan mempengaruhi usaha SEAC melakukan untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan menyelamatkan sekitar 100.000 prajurit sekutu bekas tahanan Jepang di kamp-kamp tawanan di Jawa dan Sumatra yang menjadi tanggung jawabnya.


Pada 28 September Mountbatten menyarankan Van der Plas agar menghubungi van Mook untuk mau menemui pemimpin-pemimpin Indonesia termasuk Soekarno. Saran Mountbatten diketahui Perdana Menteri Schermerhorn dan langsung memveto. Ia melarang van Mook melakukan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia, karena akan memberi peluang konsesi. Menurut Schermerhorn, perundingan dapat dilakukan bila pemimpin-pemimpin Indonesia mau mengakui bahwa Indonesia berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda yang berhak menertibkan keadaan. Untuk memperoleh kekuasaan di Indonesia, pemerintahan Schermerhorn mendesak Panglima SEAC menangkap Bung Karno dan beberapa anggota kabinet lainnya dengan tuduhan sebagai "Penjahat Perang" dan harus ditahan di kapal perang, dengan demikian akan menggusur pemerintahan republik


Reaksi Dwi-tunggal Soekarno-Hatta
Jakarta, 1 Oktober 1945. Hari itu, Soekarno-Hatta mengirim surat bersama kepada Laksamana Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk wilayah Timur Jauh (Supreme Commander of the Far Eastern Region) di Kolombo meminta perhatian bersangkutan tentang perkembangan di Indonesia sejak 1942. Surat ini memuat penilaian tentang masa yang dihadapi, dan oleh sebab itu baik juga bila dirujuk secara agak rinci. Proklamasi Kemerdekaan serta perkembangan sesudahnya, kata kedua pemimpin negara baru ini, telah memantapkan kedudukan Republik Indonesia di dalam negeri.

Surat tersebut juga meminta perhatian Sekutu tentang psikologi bangsa Indonesia yang ingin merdeka dean ingin mempertahankannya, serta di pihak lain keinginan pihak Belanda untuk kembali berkuasa. “Kami tidak meminta tentara Sekutu untuk mengakui Republik Indonesia. Kami hanya meminta Anda untuk mengakui kenyataan, yaitu bahwa bagi perasaan rakyat suatu Tepublik Indonesia dengan pemerintahnya telah berdiri. Seluruh pegawai pemerintah serta semua penduduk (Indonesia) siap sedia dalam membantu Tentara Sekutu untuk untuk menjaga ketertiban umum asalkan mereka (penduduk) tidak dilukai perasaannya.” (Dari Dokumentasi Mohammad Hatta).


Yang dimaksud dengan “melukai perasaan,” bila tentara Sekutu tak menghargai hasrat bangsa Indonesia ingin hidup merdeka. pengertian itu bersifat politik. Surat itu menekankan peranan KNIP sebagai lembaga demokrasi yang menjamin ketertiban umum. Surat ini juga berisi kekecewaan Soekarno-Hatta sehubungan dengan siaran radio Belanda yang dipancarkan dari Australia yang mengatakan bahwa pihak NICA akan mengambil alih pemerintahan di Indonesia. “Dengan ini,” sambung surat ini, “timbul kecurigaan rakyat bahwa Belanda ingin kembali sebagai rezim penjajah. Bangsa Indonesia bukannya membenci bangsa Belanda, melainkan membenci pejajah.”


Menurut Soekarno-Hatta, siaran radio itu telah menimbulkan sikap sombong orang-orang Indo. Mereka berbuat sejalan dengan sikap ini. Disamping itu tersiar pula kabar bahwa orang-orang Indo ini akan membunuh para pemimpin Indonesia. Dengan berangsur-angsur banyak orang-orang Indo dipersenjatai Belanda dan melakukan aksi terror siberbagai tempat yang diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Semua ini, kata Dwi-Tunggal telah menimbulkan kegelisahan di kalangan pemuda. Soekarno-Hatta juga menekankan dengan tegas menolak kedatangan tentara Belanda serta pengibaran bendera Belanda di Indonesia. Isi surat itu juga meminta perhatian keadaan keuangan karena kedatangan Tentara Sekutu beredar dua macam uang: uang Jepang dan uang yang dikeluarkan oleh Javasche Bank (Bank Sirkulasi Hindia-Belanda, cikal bakal Bank Indonesia).


Pada 8 Oktober, Hatta mengirim suatu memorandum kepada Brigadir-Jendral R C M King, komandan Sekutu di Jakarta. Ia merujuk pada pembicaraan antara Tentara Sekutu dengan Presiden Soekarno “baru-baru ini” dan menekankan bahwa ketidak tertiban telah muncul karena tindakan yang dilancarkan oleh orang-orang, apalagi orang Indo, berupa perampokan. Hatta mengemukakan bahwa tindakan serdadu dan marinir Belanda lebih jauh lagi: kendaraan polisi Indonesia dan beberapa pejabat Republik “disita dengan todongan tommy-gun.” Wakil Presiden ini menuntut Tentara Sekutu agar mengembalikan kendaraan-kendaraan tersebut. Hatta menutup suat ini dengan suatu saran: Dapatkah saya juga menyarankan –oleh karena Anda telah menghimbau orang-orang Indonesia untuk membantu dalam menjaga huku dan ketertiban- agar anda memberitahu kami tentang tindakan apapun yang Anda akan ambil dalam hubungan dengan usaha menjaga keteteraman umum ini?”


Suatu pernyataan bersama dari pihak Sekutu dengan Presiden Soekarno tentang hal ini, kata Hatta, ataupun pengeluaran pernyataan secara sendiri-sendiri tetapi pada waktu yang sama, akan membantu menghilangkan keresahan dan akan membuat kerja kita mudah dan menyenangkan. Mungkin karena Brigadir Jendral King mengatakan kepada Hatta (dalam suratnya tanggal 9 Oktober 1945) bahwa surat Hatta telah diteruskan kepada atasannya. Hatta menulis lagi surat tersebut kepada “atasan” tadi, Letnan Jendral Sir Philip Christison. Dalam surat ini Hatta mengemukakan kekecewaannya karena pernyataan Christison bahwa tentara Belanda tidak akan turut mendarat bersama tentara Sekutu, ternyata tidak benar. Sebaliknya yang terjadi, mereka benar-benar mendarat. Menurut Hatta, malah NICA mempergunakan bekas tahanan perang sebagai tentara –dan puluhan ribu tentara Belanda, menurut siaran radio akan datang dari Inggris, Amerika serta negeri Belanda sendiri.


Hatta menunjuk pada pernyatan Christison sebelumnya tentang netralitas Sekutu dalam soal politik di Indonesia. Tetapi tanpa perlindungan tentara Inggris, Hatta kecam, “tak seorang serdadu Belandapun boleh mendarat di Jawa.”


Hatta juga mengemukakan bahwa tentara Belanda itu telah bertindak dengan kekerasan terhadap orang Indonesia, tampaknya dengan perlindungan Inggris. Hattapun mengatakan: “Saya sungguh-sungguh meminta, agar Anda memberitahukan kami apa sesungguhnya sikap Anda dalam hal ini. Apakah kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsa tertentu di dunia ini?”
Menurut Hatta, pernah tiga hari sebelum ia mengirim surat tersebut, ribuan orang dari luar Jakarta memasuki kota untuk menentang kedatangan tentara Belanda. “Saya sendiri harus pergi ke Bekasi untuk menenteramkan rakyat dan membubarkan mereka, Dan yakinlah bahwa usaha ini sangkat riskan,” kata Hatta.


Hatta menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukan gejala yang ditimbulkan oleh Jepang. Ia akui bahwa pendapat tentang cara pemerintahan negeri di Indonesia tidak satu, namun semuanya menghendaki Indonesia merdeka. Hatta juga mengakui betapa pendudukan Jepang telah menimbulkan kerusakan, tetapi dengan pendudukan itu kemampuan perjuangan serta disiplin telah meningkat. Ia menyebutkan setengah juta orang Indonesia telah terlatih dalam kesatuan-kesatuan PETA, Heiho, dan badan bersenjata lain seperti pembantu polisi. Menurut Hatta, orang-orang Belanda yang telah absen empat tahun dari Indonesia sudah tidak mengenal perubahan negeri ini. Hatta menunjuk pada begitu banyaknya orang-orang penjaja barang dan tukang becak yang menolak melayani orang Belanda dan Indo. Ia menambahkan kemungkinan pemogokan oleh para pegawai Indonesia di kantor kantor bila perang dengan Belanda pecah. Hatta mengemukakan betapa di desa desa demokrasi berjalan, dan bahwa juga dalam negara Republik Indonesia demokrasi akan ditegakkan. Oleh sebab itu ia menuntut dari pihak pemerintah Inggris untuk “memperjelas posisi mereka tentang perjuangan Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.”


Untuk menghindarkan pertumpahan darah, Hatta mengemukakan agar: (1) Tidak ada lagi tentara Belanda yang datang ke Indonesia; (2) Semua tentara Belanda keluar dari Indonesia, dan tidak beroperasi dibawah tentara Sekutu; (3) NICA non aktif; (4) Mengakui de facto pemerintah Republik Indonesia; (5) Tentara Sekutu tanpa serdadu Belanda membatasi kegiatan mereka pada maksud ganda semula: membebaskan, merawat dan mengevakuasi tahanan perang Sekutu, serta melucuti senjata Jepang.


Pada surat Hatta kepada Christison itu dilampirkan juga pernyataan Soekarno-Hatta yang lebih ditujukan kedalam. Dikemukakan bahwa pihak Republik Indonesia tidak memberi komentar tentang berbagai siaran Belanda (termasuk protes Belanda kepada pemerintah Inggris di London terhadap pernyataan Christison mengenai maksud ganda tersebut diatas), karena Indonesia “percaya benar-benar pada kekuatan sendiri.” Pernyataan itu juga mengantisipasi perjuangan masa panjang, sungguhpun harapan juga diberikan pada sidang konferensi perdamaian yang akan diadakan.


Hatta juga berkomentar tentang Letnan Gubernur-Jendral Humbertus van Mook yang selama perang Pasifik bermukim di Australia. Hatta menilai bahwa, “van Mook, walau lahir di Indonesia (Semarang), tetapi sama sekali tidak faham akan negeri ini. Ia di Indonesia, tetapi tidak (bagian) daripadanya,” kata Hatta.


Hatta menuduh bahwa Belanda telah menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dan kini melalui van Mook menawarkan otonomi untuk Indonesia. Padahal Indonesia sudah merdeka, tegasnya. Mengenai persekemakmuran antara Indonesia dengan Belanda yang juga ditawarkan oleh van Mook, Hatta berkomentar: “Mengapa kami harus menekukkan lutut kami kepada orang asing?? Van Mook dalam rangka ini merujuk keterangan pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 yang memang menawarkan perubahan status bagi Indonesia sesudah perang berakhir.”


Dalam rangka ini Hatta berharap “terwujudnya sistem persekemakmuran (Commonwealth) antara Belanda, Indonesia, Suriname, Curacao dengan sepenuhnya bergantung pada diri masing-masing dan kebebasan bertindak untuk diri masing-masing mengenai masalah dalam negeri, tetapi dengan kesediaan untuk saling membantu.”


Hatta menilai bahwa Ratu Wilhelmina memang mempunyai maksud baik, tetapi: “Ia tentu ingin mempertahankan luas kerajaannya. Hanya saja sama pula kesungguhan keinginan rakyat Indonesia untuk hidup merdeka, bebas dari bentuk apapun dari dominasi asing. Keinginan merdeka ini sesuai dengan detak jantung sejarah bangsa-bangsa, dan sesuai dengan semua bangsa pada saatnya, mengatur persoalan mereka sendiri.”


Hatta mengecam van Mook dengan NICA-nya mempersenjatai kembali bekas orang-orang tahanan perang, dengan pesawat udara “hilir-mudik” antara Australia-Indonesia yang mengangkut senjata; dengan terror yang dilancarkan di Indonesia oleh pihak Belanda, terror yang “dekat dengan Fasisme dan Naziisme.”


Hatta mengingatkan bahwa revolusi Indonesia bukanlah perang antara ras, melainkan berdasar ideologi cita-cita yang “bersendikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang bertujuan suatu persaudaraan bangsa-bangsa se-dunia.” Akhirnya, Hatta menegaskan hasratnya agar masalah Indonesia diselesaikan dengan damai. Tetapi ini hanya mungkin, katanya, bila disertai perasaan yang bebas dari permusuhan.


Pada pertengahan bulan Oktober, situasi di Jakarta kian tegang, pasukan sekutu Inggris mulai di teror oleh intimidasi oleh pasukan Belanda. Bahkan pasukan Belanda sering melakukan aksi "trigger-happy" menteror, tetapi mengkambing hitamkan para pemuda republik sebagai pelaku.


Untuk memperoleh jaminan dalam melakukan tugas SEAC, Mountbatten mengutus penasehat politiknya, Maberly E Dening yang juga mewakili pemerintahan PM Clement Attlee dan Menteri Luar Negeri Ernest Bevin dari Inggris ke Jakarta guna menemui Soekarno-Hatta. Dening tiba di Jakarta pada 20 Oktober di dampingi Konsul-Jendral HFC Walsh menemui dwi-tunggal Soekarno Hatta. Pada pertemuan itu Soekarno-Hatta dengan tegas menolak kehadiran pasukan Belanda: "Kami tak keberatan dengan Inggris atau Amerika. Tetapi sama sekali tidak dengan Belanda, karena kami sudah lama mengenal cara Belanda (melakukan kolonialisme)." Misi Dening gagal total untuk mempengaruhi Soekarno-Hatta agar memberi izin Belanda di ikut sertakan dalam misi SEAC.


Sementara Duta Besar Inggris di Belanda, Neville Bland menemui Perdana Menteri Willem Schermerhorn dan berusaha mendesak agar meluweskan sikap terhadap Soekarno untuk mencegah timbulnya konflik berdarah kedua belah pihak di Indonesia, tetapi Schermerhorn menjawab bahwa konflik ini tidak mudah diatasi karena akan menimbulkan kemelut didalam negeri mengancam posisi pemerintahan Partij van den Arbeid dibawah kepemimpinannya. Schermerhorn dihadapkan pada publik yang mempertanyakan mengenai nasib dan keselamatan warga-warga Belanda di Indonesia yang menderita sejak pendudukan Jepang dan kini terancam oleh tindakan emosional kalangan "ekstrimis" anti-Belanda. Usulan Bland menjadi pembahasan dalam sidang Kabinet pada sore harinya tetap menolak van Mook menemui Soekarno.Berita penolakan pihak kabinet Belanda terhadap Bung Karno diperoleh Konsul Jendral Walsh di Jakarta dengan sedih.


Ia sempat mengecam keputusan ini dengan ucapan: "Pihak Den Haag benar-benar tidak mau memahami situasi dan sama sekali tidak memikirkan nasib pasukan Inggris dan Belanda yang belum berpengalaman melakukan misi RAPWI. Belanda masih saja ingin menguasai (Indonesia)." 


Tidak tercapainya penyelesaian Den Haag dengan Jakarta hingga konflik antara sekutu dengan para pemuda pendukung kemerdekaan RI tidak terhindar. Konflik berdarah terjadi di Surabaya antara pasukan Inggris dengan Tentara Keamanan Rakyat pada 10 November merupakan salah satu peristiwa dahsyat di antara pertikaian lainnya di Indonesia.
Masuknya RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees -Badan Pembebas Tahanan-tahanan Perang), sempat menjadi bahan ejekan. Misalnya Willy Pesik, pemuka Badan Perjuangan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jakarta, menyebutnya (Rescue all pretty women immediately), karena dinilai tidak menjalankan fungsinya karena Inggris tidak dapat mengendalikan keonaran yang dilakukan pasukan Belanda untuk meraih supremasinya di Jawa.


Dilain pihak, pimpinan Republik Indonesia belum dapat mengatasi berbagai ekses karena bentuk pemerintahan masih baru merdeka. Faktor ini hingga melemahkan posisinya untuk mengawasi badan Sosial RAPWI disalah gnakan oleh Belanda dengan memasukkan agen-agennya di Indonesia. Pegawai-pegawai NICA dan tentara KNIL dimasukkan sebagai pekerja-pekerja Rapwi, sehingga masuk dengan leluasa. Pemerintah Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Tanjung Priok (pelabuhan) dan pangkalan udara militer di Cililitan seluruhnya berada di bawah kekuasaan sekutu hingga Belanda dengan kekuatan KNIL bebas masuk dan segera membentuk pemerintahan administrasi NICA yang berperan sebagai pendukung kekuasaan.


Jendral Christison naik pitam karena pasukan Belanda sering melanggar aturan disiplin hingga melarang mereka bertugas dan ditempatkan sebagai cadangan. Tindakan ini kemudian diperkuat dengan instruksi Mountbatten pada 17 Oktober menarik semua personal pasukan Belanda keluar Jawa dan ditempatkan di Malaya. Bahkan Christison juga tidak menyenangi Jendral van Oyen yang dikecam karena tak memperlihatkan sikap kerja-sama dan tak dapat mengendalikan pasukan-pasukan Belanda hingga memperbesar api kemelut di Jawa. Bahkan Inggris menjadi korban dari pertikaian antara Belanda yang berusaha berkuasa kembali, menghadapi para laskar Rakyat mempertahankan proklamasi hingga Indonesia dilanda Revolusi Perang Kemerdekaan. Dampak buruk juga dilakukan serdadu-serdadu turunan Indonesia yang pada permulaan perang dunia II dibawa Belanda mengungsi ke Australia, yang umumnya turunan Ambon, Manado dan orang-orang Indonesia Timur lainnya turut datang kembali. Setiba di Indonesia, yang pertama mereka lakukan mencari keluarga yang ditinggalkan. Kedatangan mereka menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan tetangga masyarakat kampung yang berada dalam kondisi sosial-ekonomi parah masa Jepang. Umumnya orang-orang Minahasa dan Ambon, fasih berbahasa Belanda dan mudah menyesuaikan pola Barat, Tetapi kalangan ekstrim fanatik di jadikan bukti, bahwa turunan suku Minahasa dan Ambon berusaha memulihkan penjajahan di Indonesia hingga diganggu. Tidak terkecuali asrama-asrama di Tanjung Oost dan Tanjung West. Dengan cara itulah mereka hendak melampiaskan kepengecutannya, karena itulah mereka menuduh wanita-wanita dan anak-anak, merampok barang-barang yang mereka miliki, sekalipun yang dimiliki hanya sedikit saja, sekedar menunjukkan "kesetiaan" pada Kemerdekaan.


Rapwi yang berpakaian Sekutu menolong tahanan perang. Tetapi disalah gunakan oleh Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan menggunakan RAPWI sebagai batu loncatan kekuasaan Belanda di Indonesia. Berbagai tempat-tempat strategis yang dikuasai sekutu mulanya berkibar bendera Palang Merah, berganti dengan bendera Merah Putih Biru. Jendral Christison tak senang, karena akan memancing konfrontasi dengan pemuda. Sedang Inggris tak ingin di libatkan dalam konfrontasi politik antara Belanda dengan Republik


Foto: Jepang menyerah: .Di Jakarta, Letnan Jenderal Yuichiro Nagono, Panglima Angkatan Bersenjata Jepang di Indonesia menyerah pada sekutu, kepada Mayor Jenderal D.C. Hawthorn , Jendral Yuichiro juga menyerahkan samurainya pada 14 November 1945 . Pendaratan pasukan Sekutu Inggris di Jakarta. Parade Show of Force Inggris di Jakarta.

Sumber : Harry Kawilarang
 

Senin, 22 Juni 2015

Hal Yang Harus di Perhatikan Saat Mengunjungi Pantai

Dalam Postingan saya kali ini akan membagikan salah satu kebiasaan orang Tua yang ada di Suku Tonsawang/Toundanouw yang berhubungan dengan berliburan / bersantai bersama keluarga di Pantai (Pante). Namun hal yang akan saya uraikan ini hanyalah merupakan gambaran saja, bagi yang mau coba ...... silahkan saja dan yang tidak mau ngak apa-apa juga.

Biasanya saat hendak bersantai bersama keluarga di pantai tidak lepas dengan mengikut sertakan anak-anak, baik yang masih bayi maupun Balita. Namun seringkali terjadi saat hendak pulang dari bersantai, Anak-anak yang diikut sertakan tadi tiba-tiba menangis, dan setibanya dirumah seringkali sakit panas. Dan hal ini bila di Daerah Suku Tonsawang adalah hal yang tidak lasim lagi atau bisa dikatakan sudah biasa bagi setiap orang tua yang lalai menerapkan nasehat orang tua mengenai "Hal-hal yang harus diperhatikan saat mengunjungi pantai".

Bagi Sebagian besar masyarakat Suku Tonsawang/Toundanouw masih saja mengunakan cara lama bila selesai mengunjungi pantai dengan membawa serta anak-anak kecil, yaitu : Pada saat hendak pulang, biasanya nama-anak-anak dipanggil dahulu dengan mengatakan "Mari pulang". Dapat saya contohkan seperti ini : Misalnya anak yang kita bawa serta bernama Samson.... Ucapan yang harus dikalimatkan seperti ini ; "Samson mari pulang" (dengan memanggil nama samson berkali-kali Minimal 3 x). Dari penuturan salah satu Orang Tua mengatakan bahwa "Bila anak-anak dibawa kepantai maka mahluk astral yang berada dipantai seringkali senang bermain dengan anak kecil, jadi saat hendak pulang dan namanya tidak dipanggil, hal tersebut dipercaya bahwa jiwa anak tersebut masih berada dipantai " dan dapat menyebabkan anak-anak sakit panas, dll.

Itulah salah satu kebiasaan lama Orang Tua yang berada di Suku Toundanouw/Tonsawang, dan hal ini masih saja dipercayai, namun hal ini tergantung dari pembaca sendiri apakah ingin dipercaya atau tidak, karena tujuan postingan saya hanyalah mengupas kebiasaan-kebiasaan Orang-Orang Tua Jaman Dahulu di Daerah Suku Toundanouw/Tonsawang.

Selasa, 16 Juni 2015

Pall Beach

Pall Beach atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Sulawesi Utara dengan Pante Pall adalah tempat yang sangat indah pemandangannya dimana pantai tersebut memiliki pasir putih serta ramai dikunjungi disaat hari libur bahkan dihari-hari biasa (Hari Kerja). Pantai Pall ini terletak di Desa Marinsow Kec.Likupang. Pantai ini sering sekali bermunculan di status facebook maupun BBM, sehingga membuat orang yang melihat foto-foto pantai pall ini di status Facebook/BBM, membuat suatu rasa penasaran bila tidak menginjakkan kaki dipantai tersebut.

Bila yang belum pernah mengunjungi Pantai Pall ini, dan memiliki kerinduan untuk berkunjung sangatlah baik mengetahui dahulu bagaimana keadaan dilokasi pantai tersebut. Dan saat ini saya akan menceritakan pengalaman saya mengunjungi pantai ini, semoga saja pengalamanku ini menjadi suatu masukan bagi pengunjung yang ingin bersantai dipantai ini. Saat saya bersama keluarga mengunjungi Pantai Pall ini kondisi cuaca waktu itu hujan, dan saat hendak memasuki jalan menuju pantai tersebut saya harus melewati Pos yang dijaga oleh orang yang menagih iuran masuk ke Pantai Pall, dan saat hendak masuk saya harus membayar Rp.10.000 karena saat itu saya membawa mobil, dan setelah melewati jalan yang bergelombang akhirnya saya dan keluarga tiba dipantai Pall, dan pada saat itu hujan masih turun dengan pelan, dengan melihat begitu banyak tenda yang dibangun disekitar pantai, maka dengan senangnya saya dan keluarga langsung berteduh. Tak lama kemudian datang seorang Ibu yang berusia sekitar 40-an, menawarkan Pisang Goreng dengan harga sepiring Rp. 15.000,- selanjutnya saya memesan 2 (dua) piring dan segelas Kopi Panas yang dibandrol dengan harga Rp. 5000/gelas. Sambil menikmati indahnya pantai, anak-anakku tersayang mulai mengajak mandi dipantai, sekitar 2 jam menikmati air laut sambil mengabadikan kegiatan keluargaku tersebut melalui foto bareng, selfie, dll. Selanjutnya saya mengajak anak-anak untuk ganti pakaian, namun sebelumnya saya harus membeli air bersih untuk dipakai membilas, dan air tersebut dijual dengan harga Rp.5000/ember. setelah selesai dan hendak pulang, tiba-tiba datang Ibu yang tadi meminta uang tambahan untuk membayar tenda yang saya gunakan tadi untuk berteduh, dan dalam pikiran saya berkata ah kirain gratis ternyata dibayar juga. Kemudian sang Pemilik tenda tersebut meminta uang sebesar Rp.50.000,- dan tanpa tawar menawar saya langsung memberikan uang tersebut.

Dari pengalaman saya tersebut diatas, maka saya menyarankan agar bila hendak berkunjung ke pantai tersebut jangan lupa membawa uang lebih, karena uang sangat dibutuhkan di pantai tersebut. Semoga saja Lokasi Pantai Pall ini semakin diperhatikan sehingga dapat menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai.






Selasa, 09 Juni 2015

Galeri Foto ; Lesung Batu di Desa Silian

Lesung batu kali ini saya temukan di Desa Silian Satu Kec.Silian Raya Kab.Minahasa Tenggara, saat ditemukan kondisi lesung sudah pecah/terbelah dua dan memprihatinkan karena berada di halam belakang rumah penduduk serta didekat Sumur Tua dan WC yang sudah tidak dipakai. Menurut cerita tuan tanah lokasi lesung ini, menuturkan bahwa "pada saat dilakukan acara dirumah dan hendak memasak, maka lesung ini dijadikan alas untuk memasak "Pakey", dan sementara memasak lesung batu ini langsung pecah / terbelah dua". Adapun cerita lain tentang lesung ini menurut Tua-tua bahwa " Lesung Batu ini memiliki hubungan dengan Lesung yang berada di Perkebunan Balao Kec.Touluaan Kab.Minahasa Tenggara atau bisa dilihat di sini. Kedua pemilik (Nawo/Dotu) lesung tersebut adalah suami istri, yang di Desa Silian Satu adalah (Istri) dan yang di Perkebunan Balao adalah (Suami)".







 

Selasa, 02 Juni 2015

Situs Budaya Ratu Buaya

Pada postingan saat ini adalah tentang suatu batu yang berbentuk buaya atau sejenis Mahahama yang dikenal dengan Ratu buaya. Lokasi Situs berada di Desa Tombatu Tiga Jaga IV Kec. Tombatu tepatnya di Toule'beng. Menurut cerita Orang Tua bahwa dulunya batu ini berada diatas bukit dan bukit ini satu dengan bukit yang berada di Kawah hingga di PLN yang berada di Desa Kuyanga, namun pada tahun 1932 bukit yang ada di Toule'beng jatuh kebawah/masuk kedalam (tertanam) atau dalam bahasa Tonsawang dikenal dengan Behawawag, dan tanda dari masuknya bukit ini yaitu dapat dilihat dari jalan raya antara Jembatan Lolumbo dan Jembatan Kawah, bila diperhatikan dengan baik maka akan kelihatan jalannya bergelombang atau menurun.

Pada gambar dibawah ini adalah keadaan situs pada waktu ditemukan, dan pada tanggal 02 Juni 2015 sekitar jam 08.00 wita telah diadakan penggalian disekitar situs dan dalam kegiatan penggalian tersebut dihadiri oleh Hukum Tua Tombatu Tiga, Tokoh Adat, Disparbud Mitra, Pemerhati Budaya Tonsawang serta Pemilik Tanah lokasi situs. Meskipun belum maksimal penggalian tersebut namun sudah kelihatan ada kepedulian dari masyarakat mengenai situs-situs budaya yang ada di Suku Toundanouw/Tonsawang.




Opa dan Omaku Tersayang

Ini merupakan tempat peristirahatan terakhir dari kedua orang tua ayah saya, Oma dan Opaku ini adalah sosok yang memiliki andil dalam sejarah penyebaran Injil di daerah Suku Tonsawang lebih khusus dalam penyebaran ajaran GPdI.















Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More