Kaki Gunung Soputan

Para Pejuang / Pemerhati Budaya Minaesa-Minahasa Land bersama dengan Tonaas Suku Tonsawang.

Wa'i Lesung i Nawo / Ratu Oki

Lesung ini merupakan sebagai Identitas anak Suku Tonsawang / Toundanouw.

Sumur Abur

Salah satu situs Budaya yang berada di Suku Tonsawang / Toundanouw.

Kamis, 22 Januari 2015

Galeri Foto : Dari Lesung Nawo Oki Sampai Kelewonang

Petualangan para Pemerhati Budaya Toundanouw/Tonsawang dalam rangka mengunjungi Situs Budaya yang berada di sepanjang Bukit Abur Antara Desa Kali Kec. Tombatu dan Desa Ranoketang Atas Kec. Touluaan Kab. Minahasa Tenggara. (Tanggal 5 Juni 2014)







 

Rabu, 21 Januari 2015

Waruga PASELA MANARINGSING

Perjalanan ke Waruga Opo Pasela Manaringsing atau yang dikenal di daerah Toundanouw/Tonsawang dengan sebutan Nawo SELA (15 Januari 2015). Untuk mengetahui cerita singkat mengenai Nawo Sela dapat dibaca disini (Berdasarkan cerita Rakyat Toundanouw/Tonsawang)








Tampak depan dari Jalan Raya


Pemerintahan Zaman Purba (Khususnya di Minahasa) Part.2

Postingan saya saat ini merupakan sambungan dari Postingan terdahulu yang berjudul "Pemerintahan Zaman Purba (Khususnya di Minahasa Part.1), dan bagi yang belum sempat membacanya dapat dilihat disini. Ok.....kita lanjutkan saja....!!!

Tiap-tiap sub-sistim Taranak atau negeri dibantu oleh seorang pemimpin yang disebut KUMARUA yang berfungsi sebagai pembagi kerja dari anggota-anggota atau warga Negeri diberbagai bidang. Dari ketujuh negeri itu terdapat 7 orang pula sebagai kumarua. Para Kumarua ini adalah anak kedua dari Tonaas dan Balian tersebut, sedangkan anak yang ketiga diangkat sebagai UKUNG atau Mahawetik selaku pembantu Negeri dibidang penegakan peraturan negeri yang bersumber dari adat-kebiasaan atau adat-istiadat. Dengan demikian terdapat pula 7 orang Ukung atau Mahawetik diseluruh negeri atau sub-sistim kekerabatan tadi. Tiap-tiap negeri taranak atau sub-sistim kekerabatan ini tetap dalam lingkungan kesatuan Taranak Um Banua dengan satu kesatuan hukum adat.

Dengan demikian, maka dari seluruh kesatuan hukum adat tersebut terdapat 21 orang pemimpin negeri atau sub-sistim kekerabatan yang tetap memegang ketentuan adat istiadat dari dan yang diturunkan oleh pemimpin tertinggi mereka yaitu Balian dan Tonaas. Ke-21 pemimpin tersebut dalam perkembangan kemudian hari dianggap orang-orang yang berpengaruh dan karena kemampuan mereka memimpin negeri taranak, akhirnya mereka tetap dihormati oleh warganya. Mereka mendapat pula keistimewaan-keistimewaan perlakuan dan pembagian-pembagian barang bergerak maupun tidak bergerak dari anggota/warga negeri. Mereka mendapatkan bantuan dari warga negeri seperti pembagian hasil buruan, atau diadakan upacara-upacara poso, juga hasil pertanian seperti padi, dll yang menjadi kewajiban anggota/warga negeri. Golongan pemimpin ini dalam susunan masyarakat disebut "MAHATELU PITU".

Sebagaimana disebutkan pada postingan terdahulu bahwa apabila salah seorang dari Pamatuan, Kumarua dan Ukung tadi meninggal dunia oleh sesuatu sebab, maka jabatannya diganti oleh saudara-saudaranya yang lain. Umumnya saudara-saudara mereka tersebut terakhir ini diserahi kedudukan khusus selaku penjaga kampung atau negeri. Mereka ini disebut BARANEY atau WARANEY yang mirip dengan sebutan LASKAR atau PRAJURIT. Tugas utama para waraney ini adalah menjaga pertahanan kampung atau negeri baik dari serangan musuh ataupun serangan binatang buas yang memasuki kampung. Pemimpin yang dianggap paling kuat dan tidak mudah dikalahkan dari para Baraney atau Waraney disebut TETERUSAN. Diantara Teterusan masih terdapat orang yang lebih hebat dan menjadi kepala dari semua Waraney dan bila kepala ini gagal pada saat-saat terakhir melawan musuh atau binatang buas, dianggap seluruh Baraney/Waraney telah menyerah. Kepala dari semua Teterusan ini disebut "PENOTOHAN". Para Penotohan yang gagah perkasa dan tidak terkalahkan itulah yang biasanya ditunjuk sebagai pengganti Kakak mereka yang meninggal atau cacat seumur hidup menjadi PAMATUAN, UKUNG, atau KUMARUA. Dalam proses perkembangan masyarakat mereka sangat dihormati karena jasa-jasa mereka dalam mempertahankan negeri dari serangan musuh. Walaupun pada mulanya tidak termasuk dalam golongan Mahatelu pitu, mereka kemudian setelah duduk dalam keprintahan karena menggantikan kakak mereka itu, lama-kelamaan dianggap pula termasuk golongan Mahatelu Pitu. Jelasnya merekapun diberikan kedudukan khusus tetapi untuk beberapa waktu kemudian barulah mereka menempati jabatan pemimpin negeri tadi. Tugas utama mereka setiap hari adalah menjaga pertahanan kampung atau negeri dan tidak sebagai pemimpin negeri. Dalam keadaan kekosongan jabatan pemimpin negeri barulah mereka diangkat sebagai pengganti kakak mereka itu.

Golongan masyarakat yang kurang berpengaruh atau yang diperintah disebut "PAHASIOWAN/PASIOWAN TELU". Golongan ini biasanya terdiri dari rakyat yang diperintah, petani, pekerja/tukang dan budak. Karena mereka terdiri dari rakyat biasa dan banyak mereka dianggap sebagai basis utama suatu negeri. Dalam masyarakat Minahasa Zaman Purba, golongan ini lebih banyak dituntut kewajiban daripada haknya, terutama membantu pertahanan negeri dan usaha-usaha pencaharian seperti berburu dan menangkap ikan serta pengabdian lainnya. Disamping jabatan-jabatan tersebut diatas, dalam masyarakat purba Minahasa juga telah dikenal adanya semacam peradilan khusus jika terjadi perselisihan diantara anggota-anggota keluarga dan negeri. Peradilan khusus ini dibentuk berdasarkan kebutuhan dan situasi tertentu tetapi tidak melembaga. Perselisihan-perselisihan ini pada dasarnya disebabkan seperti bertambahnya anggota-anggota/warga yang mengakibatkan penuntutan hak tertentu seperti tanah tempat tinggal atau tanaman yang ditanamkan pada suatu tempat (tanah tertentu), maupun karena salah paham terhadap sesuatu masalah adat-istiadat yang berlaku. Dalam peristiwa terjadi perbantahan ataupun sengketa diantara anggota negeri atau keluarga, ditunjuklah oleh pemimpin negeri beberapa orang yang dianggap paling banyak mengetahui tentang adat-istiadat maupun kebiasaan. Orang-orang yang ditunjuk biasanya tua-tua negeri yang telah berhenti dari jabatan Keprintahan. Mereka ini disebut GUMIGIROT. Dalam melakukan penyelesaian perselisihan mereka dibantu oleh para Ukung sebagaimana disebutkan terdahulu. Umumnya GUMIGIROT diambil dari para Ukung yang sudah Tua dan berhenti dari pekerjaannya, sebab mereka dari semula dianggap mengetahui seluk-beluk adat-istiadat ketika mereka dalam Keprintahan dari Pamatuan atau Kepala Negeri. Apabila suatu perselisihan batas negeri atau pertanian dan lain-lain yang dipersengketakan telah dapat diatasi secara damai, kemudian sidang ini bubar dengan sendirinya. Ia baru akan bersidang lagi, jika terjadi pengaduan atau dimintakan oleh Pamatuan untuk menyelesaikan suatu sengketa. Tetapi sistim ini lama-kelamaan diteruskan setelah perkembangan masyarakat lebih bertambah kompleks di abad-abad kemudian.

Konon, setelah berabad-abad lamanya sistim Keprintahan Masyarakat purba Minahasa itu, maka terjadi suatu pemberontakan terhadap kepala-kepala Um Banua yang dipimpin oleh para Tonaas dan Balian. Pemberontakan terjadi sekitar abad ke-5 dan ke-6 yang dilakukan oleh golongan PASIOWAN TELU. Hal ini bermula dari tindakan-tindakan para Balian dan Tonaas yang terlalu ketat mempertahankan kedudukan mereka dengan tidak memperdulikan nasib kaum PASIOWAN TELU yang bekerja. Para Tonaas dan Balian terus memegang kedudukan dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang ketat seperti ; 
tanah-tanah keturunan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun selama mereka hidup ataupun telah meninggal. Karena Golongan Pasiowan Telu terus bertambah banyak maka kebutuhan akan pertanian maupun tempat tinggal semakin menyempit. Tetapi hal ini tidak dimungkinkan oleh aturan adat kebiasaan, tanpa seisin dari Balian atau Tonaas. Bila mereka mendapat isin dari Balian atau Tonaas, merekapun harus pertama-tama memenuhi kewajiban sebelum mendapatkan keluasan. Bahkan para Balian maupun Tonaas menganggap PASIOWAN TELU sebagai budak dan dalam pandangan mereka dianggap "Rendah".
Sebagai akibat dari perlakuan-perlakuan tadi, golongan Pasiowan Telu menuntut supaya mereka dihargai sebagai manusia sama dengan mereka juga, dan sama dengan ini menuntut diizinkan membagi tanah-tanah adat sehingga mereka lebih bebas menanam tanaman untuk hidup dan kehidupan keluarga mereka dan yang terakhir mereka menuntut jika kedua hal tadi tidak diizinkan, agar sistim pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat autoritas Balian atau Tonaas melainkan harus dipilih dari anggota-anggota masyarakat kaum taranak.

Alkisah, tuntutan mereka itu malah dijawab dengan tindakan-tindakan yang ganas dan lalim, sehingga terjadi pemberontakan dan perlawanan dari kaum PASIOWAN TELU. Mereka mengangkat senjata Purba (Tombak dan Beliung dan apa saja yang mereka dapat gunakan untuk melawan kelaliman sang penguasa). Oleh karena semua orang yang dianggap budak, petani, nelayan dan bahkan beberapa prajurit memihak mereka, maka pemberontakan itu meluas keseluruh negeri dan mengakibatkan perpecahan golongan. Dikatakan, beberapa anggota yang termasuk pada MAHATELU PITU ada yang memihak kepada PASIOWAN TELU, disebabkan lamanya pemberontakan yang tidak habis-habisnya. Beberapa orang MAHATELU PITU yang mencoba meyakinkan pemimpin mereka akan bahaya berlarut-larutnya pertentangan, ternyata malah dipecat dari jabatan, dan mereka lalu bergabung pada golongan Pasiowan Telu. 

Dengan terjadinya pemberontakan ini, maka sebagian dari ketiga golongan tadi melarikan diri atau mengungsi kedaerah-daerah aman. Sebagian pergi mengembara ke pulau-pulau disekitar Minahasa, sebagian kesebelah Utara Gunung Soputan, dan sebagian lagi dari Pasiowan Telu tetap bertahan di daerah asalnya yaitu disekitar Gunung dan Danau di sebelah Selatan Gunung Soputan, yaitu antara daerah Toundanouw (Tonsawang) sampai gunung Wulur Mahatus. Pengungsian itu sebagian melewati pantai timur di daerah Toundanouw yaitu Belang, lalu ke Bentenan dan pulau-pulau disekitar Maluku antara lain Tifore, Majoe dan Loloda. Sebagian lagi mengungsi dengan melalui Pantai Awuran (Amurang) kepulau-pulau di Laut Sulawesi Utara (Manado Tua, Talisey, Bengka, dll). Sebagian lagi ke arah Barat ke Bolaang Mongondow terus kedaerah Tomini dan ke Toli-toli atau Tanteli. Tetapi sebagian besar dari para pengungsi pergi kesebelah Utara Gunung soputan melalui antara Manimporok dan Soputan dan tiba di daerah Kanonang sekarang antara Kawangkoan dan Tumaratas.

Dengan terjadinya pengungsian penduduk tersebut maka orang-orang yang mengungsi kembali lagi mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika pemberontakan terjadi di daerah Wulur Mahatus dan sekitarnya itu, belumlah ada yang disebut sebagai Suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang dan lain-lain sebagainya. Oleh karena perasaan curiga dan takut terhadap yang lain, maka selama pengembaraan mereka kedua kali ini, terjadi pula peperangan-peperangan antar mereka yang bertemu baik secara individual maupun kelompok. Dan di dorong oleh keyakinan atas kepercayaan mereka masing-masing berakibat pembunuhan terhadap siapa yang dicurigainya, ini disebut "MANGAYOW". Tiap-tiap kelompok untuk hidup harus mampu mempertahankan diri dan yang lemah akan tewas. Dari sini kepercayaan lama bangkit kembali untuk maksud pembelaan diri dan perasaan tidak aman selama dalam pengungsian menghantui mereka pula. Bahkan tiap-tiap kelompok berusaha mengembangkan adat-istiadat atau kebiasaan sendiri, sehingga tidak lagi seragam atau satu sebagaimana mereka pada waktu di tanah leluhurnya.

Penyebaran penduduk akibat dari pemberontakan ini, membawa dampak baru dalam tatanan masyarakat purba pula. Terjadi pengelompokan baru menurut kebiasaan mereka sendiri dan sudah tentu baik adat-kebiasaan berkembang menurut keyakinan kelompok ini. Beberapa kelompok yang menyebar masing-masing mengembangkan adat kebiasaan sendiri demikian pula bahasa atau tutur in tanah ataupun logat bahasa bagi kaum keluarga atau rombongan penduduk.

Konon, mereka yang pergi mengembara di pulau-pulau disekitar Minahasa dalam suatu kurun waktu tertentu, kembali datang ke daerahnya. Itulah sebabnya beberapa penulis Barat mengatakan bahwa Suku Tonsawang kemudian masuk dari daerah pantai Kema ke Tonsea, lalu ke Kakas, Tompaso dan akhirnya kembali datang di daerah asalnya Toundanouw disekitar pegunungan Wulur Mahatus, lalu bersatu kembali dengan sisa-sisa penduduk asli. Juga disebutkan Suku Tondano, yang datang ke Tanjung Pulisan lalu menyebar ke pedalaman berasal dari pulau-pulau disekitar Minahasa. Tetapi sebetulnya mereka ini adalah diantara golongan PASIOWAN TELU serta prajurit-prajurit (Waraney-Waraney) yang mengungsi pada waktu terjadi pemberontakan di zaman itu.

Setelah beberapa puluh tahun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain saling perang-perangan, rupanya beberapa Pemimpin Taranak sadar lagi akan perlunya mengusahakan persatuan dan Kesatuan. Dalam abad ke-7, beberapa tokoh tua di Minahasa Utara dan tengah mencoba mengadakan pertemuan untuk membicarakan adat-istiadat, bahasa dan tempat Pahutunan atau pemukiman secara teratur. Konon, pertemuan itu diadakan di Pinabetengan dimana semua kepala-kepala kelompok taranak yang saling bermusuhan itu hadir. Kehadiran mereka dikatakan atas panggilan Sang Burung Manguni yang memberikan tanda kepada masing-masing untuk datang ditempat itu dan melalui tanda burung manguni mereka dinasihatkan untuk melepaskan segala atribut perangnya untuk sementara waktu.

Pertemuan itu dikatakan berhasil dan keputusan para pemimpin kelompok antara lain menerima susunan masyarakat baru dengan penetapan tempat tinggal kaum taranak yang tetap. Dari sini barulah kemudian timbul sebutan Tombulu, Tonsea, Tolour, Tontemboan, Tonsawang, dll. Hal yang sangat pelik dalam pertemuan untuk diselesaikan dikatakan masalah adat-istiadat maupun kebiasaan dan ini pada akhirnya tidak dicapai kata sepakat, kecuali disetujui bahwa masing-masing taranak dapat mengembangkan ketentuan-ketentuan adat-istiadat maupun kebiasaannya masing-masing dengan menghindari kelompok taranak tidak beradat. Walaupun demikian semua yang hadir tetap mengakui dirinya sama-sama berasal dari satu Kasuruan.

Setelah pertemuan di Pinabetengan pada kira-kira abad ke-7, maka berkembanglah kaum taranak baru disuatu daerah pemukiman dengan masing-masing secara bebas mengembangkan adat-istiadat maupun kebiasaannya menurut keinginan pemimpin-pemimpin taranak dan keadaan setempat. Pada hakekatnya semua ketentuan yang tumbuh dalam suatu taranak didasarkan pada kepercayaan yang dianut oleh pemimpin dan masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain baik bahasa maupun adat-kebiasaannya berkembang menurut keinginan pemimpin dan masyarakat setempat dengan berpedoman pada kekuatan supernatural yang disebut Opo, Opok atau Empung. Segala yang menjadi aktivitas manusia didasarkan pada nilai-nilai ideal yang terkandung dalam religi Suku. Apa yang dianggap baik atau buruk segalanya diukur dari kepercayaan yang mereka anut. Karenanya, adat tata kelakuan mereka itu merupakan pedoman yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan mereka di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hampir setiap suku-suku di Minahasa setelah pertemuan di Pinabetengan memiliki adat-istiadat atau kebiasaan yang dalam beberapa hal tertentu mempunyai sedikit perbedaan dengan adat-istiadat atau kebiasaan suku yang lain.

Menurut Prof. C. Van Vollenhoven, suku dan negeri atau desa di Minahasa merupakan suatu persekutuan hukum yang sebagian bersifat territorial dan sebagian bersifat genealogis yaitu Pakasaan, Desa dan Pamili. Pakasaan terjadi dari Walak (Stam) dan berakar kata Asa atau Esa dan berarti Satu. Awalan Pa- dan akhiran -an menunjukkan dalam keadaan, jadi dalam keadaan satu atau kesatuan. Sesungguhnya Pakasaan memang merupakan kesatuan Geografis, Ethnografis, Ekonomis dan Kulturil. Kemudian pada masa Pemerintahan Belanda, Pakasaan berubah menjadi Distrik dan Kepala Pakasaan menjadi Pegawai Pemerintah Belanda dengan sebutan Kepala Distrik atau Hukum Besar. Hampir dimana-mana walak yang dari suku menetap telah menjadi kesatuan hukum adat yang oleh VOC dan Pemerintah Belanda diakui, tetapi kemudian hari derajatnya menjadi sebagian dari Distrik. Istilah Walak sampai tahun 1830 masih berlaku, kemudian diganti Distrik. Tahun 1679 terdapat 23 Walak, tahun 1699 terdapat 24 Walak, tahun 1803-1810 terdapat 27 Walak, tahun 1810-1817 terdapat 26 Walak, dan tahun 1817-1830 terdiri atas Afdeling Manado, dengan beberapa Walak dan 5 Distrik.

Senin, 19 Januari 2015

Pemerintahan Zaman Purba (Khususnya di Minahasa) Part.1

Sebelum Bangsa Barat datang di Tanah Minahasa, telah ada pemerintahan yang diselenggarakan oleh Suku-suku di Tanah Minahasa, yang sangat berhubungan dengan sistim Pemerintahan Purba di Minahasa adalah Kepercayaan dan Adat-Kebiasaan yang dianut oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dan yang diikuti oleh warganya. Untuk menelusuri sistim pemerintahan purba di Minahasa, saya akan mengetengahkan terlebih dahulu mengenai proses pembentukan keluarga hingga kaitan dengan kepercayaan sampai terbentuknya sistim pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar uraian-uraian berikutnya dapat mudah dipahami, karena sumber-sumber yang secara khusus menganalisa sistim pemerintahan purba di Minahasa masih sangat langka. Oleh karena itu, memandang kepada proses pembentukan keluarga dengan kepercayaan manusia Minahasa Purba, barangkali dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana sistim Pemerintahan Purba di Minahasa.

Orang-orang Minahasa pada umumnya mengakui dirinya keturunan Lumimu'ut dan Toar. Kedua insan itu setelah kawin merupakan keluarga inti pertama yang kemudian dianggap sebagai Nenek-Moyang dan menurunkan bangsa Minahasa. Lumimu'ut menurut Prof. Dr. WILKEN adalah seorang "Prinses", namun sebelum Lumimu'ut ditemukan di pantai, telah ada manusia di Minahasa waktu itu yang disebut KAREMA dan Karema-lah yang telah membawa Lumimu'ut ke Gunung Wulur Mahatus dibagian Selatan tanah Minahasa. Ialah yang telah memelihara Lumimu'ut dan menyuruhnya mengembara setelah anaknya Toar akil balik untuk mencari pasangan. Demikian pula, Toar anaknya Lumimu'ut disuruh mengembara untuk mencari pasangan hidupnya. Konon, suatu ketika kedua insan ini bertemu kembali dan oleh Karema mereka dikawinkan sehingga menjadi Suami-Isteri. Dari kedua insan itu kemudian melahirkan anak-anak dan cucu-cicit sampai menjadi kaum keluarga yang besar.

Berdasarkan cerita itu, timbul pertanyaan pula bagaimana mereka hidup pada zaman purba ??? Seperti pada postingan saya terdahulu, manusia purba Minahasa dalam mempertahankan hidup mereka adalah dengan menerima tumbuh-tumbuhan, binatang yang disediakan oleh alam sekitarnya. Sebagaimana sejarah hidup bangsa-bangsa didunia lainnya pada masa primitif, mereka mencari tempat berteduh dan makan disekitar sungai ataupun danau serta pantai. Itulah sebabnya Karema sering ke pantai juga mencari makan tetapi ia beruntung menemukan seorang wanita yang sedang malang, Lumimu'ut. Ia kemudian membawa Lumimu'ut kedaerah dekat sungai Ranoyapo dipegunungan Wulur Mahatus. Sungai Ranoyapo berasal dari kata "RANO i OPO" yang berarti Air tempat minum dan mandi para OPO (Dewa). Disungai ini terdapat ikan maupun udang, Biak (Kolombi). Tempat kedua insan tersebut cukup beralasan secara ilmiah dan setelah Lumimu'ut dan Toar berketurunan maka kaum keluarga/keturunannya juga mencari daerah-daerah yang dapat memberi mata pencaharian. Mereka tersebar di sekitar danau besar di sebelah Utara-Timur pegunungan Wulur Mahatus yaitu didaerah Toundanouw/Tonsawang. Danau itu sebelumnya cukup besar, tetapi setelah dialirkan oleh Tonaas Lelengboto sebagaimana pada postingan saya sebelumnya (klik disini atau disini), kemudian sisa-sisa danau itu tinggal kecil yang kini salah satunya dikenal dengan nama "Danau Bulilin". Disekitar daerah inilah keturunan Toar dan Lumimu'ut bermukim di zaman purba. Jadi mereka pada mulanya hidup dengan berburu dan menangkap ikan serta memakan buah-buahan yang disediakan oleh alam.

Sebagaimana masyarakat purba dibagian-bagian dunia lainnya, maka mereka pun menganut suatu kepercayaan yang sesuai dengan keyakinan dan jalan pikiran mereka. Seperti masyarakat primitif lainnya, mereka percaya bahwa ada yang lebih berkuasa atas hidup dan kehidupan mereka, baik pribadi maupun kelompok. Mereka percaya bila terjadi bencana alam, hujan deras, banjir atau gempa dan segala sesuatu yang menakutkan sehingga mereka tidak tentram adalah disebabkan oleh perbuatan supernatural yang berkuasa. Daya berpikir mereka pada umumnya masih sangat sederhana dan umumnya pengetahuan indra yang lebih memegang peranan, analisa dan berpikir secara mendalam belum berlaku, alam sekitarnya dan manusia masih menyatu, bahkan kehidupan manusia purba lebih dikuasai alam dari manusia menguasai alam. Itulah sebabnya mereka percaya bahwa orang-orang yang meninggal jiwanya tetap berada di dunia dan sewaktu-waktu akan menampakan diri dalam bentuk tanda yang lain dan bersinggah sana digunung atau tempat-tempat tertentu yang kemudian dianggap mereka sebagai keramat. Mereka percaya roh atau jiwa nenek-moyang yang telah meninggal dunia mengawasi tindak tanduk mereka yang masih hidup, karenanya roh atau jiwa nenek-moyang mereka itu bisa mendatangkan bencana kepada hidup dan kehidupan mereka jika tidak dipelihara dengan baik. Oleh karena roh atau jiwa nenek-moyang itu bertempat tinggal diberbagai lokasi tertentu, maka timbul pula sebutan Dewa Gunung, Air, dan lain sebagainya. Kepercayaan akan banyak dewa ini disebut "Polytheisme". Dewa atau roh dan jiwa nenek-moyang itu disebut dalam berbagai bahasa daerah suku di Minahasa seperti Opok, Opo, atau Empung. Kepercayaan terhadap kekuatan Opok, Opo atau Empung itu, melahirkan berbagai bentuk upacara rituil-religi dan adat kebiasaan yang menjadi pedoman hidup bagi tingkah laku manusia purba dalam bergaul, berkeluarga, berkelompok, bermasyarakat serta aspek-aspek kehidupan lainnya seperti berburu, bertani, dan bertempat tinggal. Upacara-upacara berdasarkan kepercayaan mereka melahirkan juga berbagai larangan atau poso seperti poso negeri ataupun poso keluarga dan lain-lain.

Dari uraian singkat diatas, timbul pertanyaan siapakah yang menjadi pemimpin upacara-upacara rituil-religi pada manusia purba Minahasa ??? Jikalau dikatakan tadi Lumimu'ut dan Toar yang pertama menjadi keluarga inti di Minahasa, maka KAREMA-lah yang mula pertama pemimpin upacara rituil-religi, dan dialah yang telah membawa Lumimu'ut dan Toar menjadi suami-isteri dan berdiam di gunung Wulur Mahatus. Atas perintahnyalah, kedua insan itu mengembara untuk berjumpa kembali. Kedua insan itu patuh atas perintahnya dan Dialah yang telah menjadi Dukun Beranak yang membantu melahirkan Toar dari Lumimu'ut. Karema adalah seorang wanita tua yang sudah berpengalaman hidup, dengan belas kasihnyalah Toar menjadi manusia dan ialah yang telah menjadi sumber kebanggaan Sang Nenek Karema telah lama menanti kehadiran seorang Putera. Dari berbagai cerita dikatakan sang Nenek Karema berkali-kali meminta kepada penguasa alam raya agar Lumimu'ut yang sedang hamil ketika dijumpainya dipantai, melahirkan seorang putera. Setelah Lumimu'ut melahirkan bayi laki-laki, sang neneklah yang kemudian memberikan nama pada anaknya Lumimu'ut "TOAR".

Alkisah, Sang Nenek Karema bertanya kepada Lumimu'ut, nama gerangan apa yang hendak diberikan kepada bayi laki-laki ini. Keduanya, terdiam lama, sebab misteri mengisi pikiran kedua insan itu, siapakah Pria yang telah membuat Lumimu'ut hamil/mengandung. Misteri ini tidak terjawab, dan Karema dengan kasih sayang meminta persetujuan Lumimu'ut, baiklah kita berikan namanya saja TOARI. Mengapa Toari, bukan adam dan sebagainya. Konon, Toari berarti manusia yang tidak diketahui asalnya dari siapa. Menurut bahasa Toundanouw (Tonsawang) Tow artinya Orang/Manusia, Ari artinya tidak tahu/tidak diketahui. Dengan kisah itu, dapat diketahui bahwa Karemalah orang yang menjadi pemimpin sekaligus berfungsi sebagai Dukun yang pandai. Dukun yang pandai serta berpengalaman ini dalam berbagai bahasa Suku di Minahasa disebut "WALIAN", dan didaerah Toundanouw (Tonsawang) W ditulis B, jadi "BALIAN". Oleh karena itu Walian bisa berarti Pemimpin tetapi juga dapat disebut Dukun. Dalam masyarakat Purba Minahasa Pemimpin ini dilukiskan sebagai orang yang mengetahui segala seluk beluk keturunan dan kepercayan serta adat istiadat. Ia sangat dipatuhi dan berwibawah.

Pengaruhnya dalam masyarakat purba Minahasa lama-kelamaan menempati kedudukan yang khas. Ia dianggap pemimpin yang mengetahui kemauan para Opo, Opok atau Empung. Sebagai contoh, jika Sang Balian ditanyakan oleh cucu-nya mengapa ia berbuat kebajikan kepada orang lain ??? Jawabannya tidak lain karena suruhan atau perintah Sang Opo, Opok atau Empung. Bagaimana sang Opo atau Empung memberikan kepadanya ??? dijawabnya melalui tanda-tanda berupa mimpi atau bunyi suara burung. Jelasnya apa yang berada dalam pikiran sang Balian adalah kepercayaan yang dianutnya dan dalam penuturan umumnya mereka menceritakan kepada anak atau cucu-cicit atas pengalaman yang pernah mereka lalui/alami. Dengan demikian pengetahuan indra dan pengalaman hidup mereka menjadi sumber pendidikan bagi anak-anak atau cucu-cicitnya, dan bukan pengetahuan analisis sebagaimana manusia pada jaman sekarang. Segala pengalaman hidup mereka tidak dapat dipisahkan dengan apa yang terjadi di dalam lingkungan hidup mereka masa purba. Keterbatasan inilah yang menyebabkan daya pikiran mereka dikuasai alam.

Dengan perkataan lain, alam menguasai pikiran mereka demikian pula segala tingkah-laku mereka dalam berkeluarga, bermasyarakat, bertani maupun bertempat tinggal, dll. Kepercayaan mereka berkembang pula sesuai dengan perkembangan masyarakat dan bilamana pemimpin-pemimpin mereka itu seperti Balian tetap berwibawa dan terus menunjukan kekuatan ilmunya, maka orang-orang disekelilingnya pun ikut serta menganut kepercayaan itu. Jadi sumber pewarisan nilai-nilai kepercayaan itu, juga berasal dari sang pemimpin mereka. Makin kuat dan mampu sang Pemimpin memperlihatkan ilmunya makin patuhlah sang pengikutnya. Tetapi makin pudar kemampuan sang pemimpin, membawa akibat ketidak percayaan pengikutnya. Apabila pemimpin seperti Balian itu tetap mempertahankan ilmu dan kepercayaannya sampai hayatnya, ia kemudian diberikan tempat yang sesuai dengan jabatannya pada waktu kematiannya. Dalam upacara penguburan jenasahnya, diadakan pesta besar dari penduduk dengan berbagai tari-tarian khas. Roh atau jiwanya diberikan tempat berupa rumah jiwa yang disebut dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) "BALOSONG". Kalau ia laki-laki maka rumah jiwa itu disebut "Balosong Tokalasong", dan jika wanita disebut "Balongsong atau Balosong Tokalasing". Lama kelamaan cara penguburan sang Balian menjadi umum pada zaman purba, sehingga semua orang yang percaya atas AGAMA SUKU ditempatkan Balosong tersebut diatas kuburan orang yang telah mati. Umumnya pada zaman purba, Balian/Walian menempati posisi penting atau kedudukan tinggi dalam susunan masyarakat, sebagai pemimpin dan sebagai Dukun.

Dengan bertambah banyaknya kaum keluarga dari satu keturunan manusia Purba Minahasa, kemudian terbentuk taranak-taranak yang bermukim diberbagai tempat. Awalnya adalah keluarga inti, kemudian anak-anak yang telah kawin membentuk pula keluarga inti kedua dan seterusnya menurut banyaknya anak-anak. Dari anak-anak yang telah kawin juga demikian seterusnya sehingga bercucu-cicit. Pada akhirnya mereka membentuk kelompok-kelompok kaum keluarga menurut garis keturunan mereka. Ketika Karema, Lumimu'ut dan Toar masih merupakan keluarga pertama, tampak garis keturunan Matrilineal berlaku pada masa itu. Tetapi jika terjadi kematian sang suami bisa juga terjadi Isterilah yang menjadi Kepala Keluarga. Namun setelah TOAR meninggal mungkin Lumimu'utlah yang menjadi Kepala Keluarga, dan Jika Lumimu'ut yang meninggal lebih dahulu, mungkin Toar-lah yang menjadi Kepala Keluarga. Kiranya cukup beralasan, bahwa setelah pemimpin-pemimpin keluarga inti manusia purba Minahasa itu meninggal dunia, maka terjadi perubahan kepemimpinan dalam keluarga taranak atau keturunan mereka itu. Karenanya menurut penyelidikan J.A.WOROTIKAN seorang bekas kepala Distrik, maka pemerintahan yang tertua di Minahasa Purba bersifat PATRIARCHAAT, yaitu suatu aturan yang memandang ayah sebagai Kepala Keluarga/Rumah tangga atau adanya seorang laki-laki kepala suatu keluarga. Dan tiap-tiap family bersatu disekitar seorang kepala, yang adalah pemimpin atau kepala urusan keagamaan dan hukum (Aturan-aturan adat-istiadat maupun kebiasaan).

Dengan berkembangnya keturunan atau taranak dalam beberapa abad kemudian, maka pemimpin-pemimpin taranak itu menempati posisi penting dalam susunan masyarakat purba Minahasa. Kira-kira pada abad ke-V dan ke-VI, telah terbentuk golongan-golongan masyarakat, mulai dari golongan yang paling berkuasa dan berpengaruh sampai kepada golongan yang kurang berkuasa dan berpengaruh. Golongan yang paling berkuasa terdiri dari kepala-kepala taranak yang juga berfungsi sebagai kepala keluarga dan Balian maupun Tonaas. Menurut cerita, Kaum keluarga atau Taranak keturunan dari Toar dan Lumimu'ut ada sembilan kaum keluarga yang masing-masing dipimpin oleh Balian dan Tonaas. Karena terdapat sembilan kaum taranak yang masing-masing dipimpin oleh Balian dan Tonaas, mereka atau golongan ini disebut "MAKARUA SIOW". Makarua artinya bersama-sama bekerja yaitu Tonaas dan Balian. Kedua orang ini bekerja sama tak terpisahkan satu dengan yang lain, mereka adalah satu. Balian berfungsi selaku pemimpin Agama/kepercayaan dan adat istiadat, sedangkan Tonaas selaku pemimpin taranak baik dalam pencaharian maupun melindungi kaum taranak dari bahaya musuh atau kekuatan luar. Dengan sistim ini maka yang dimaksud dengan MAKARUA SIOW adalah susunan masyarakat yang dipimpin oleh 2 orang Kepala dari 9 Taranak masing-masing, sehingga golongan pemimpin/kepala terdapat 18 orang yaitu BALIAN dan TONAAS. Mereka semuanya satu dalam pemerintahan taranak dengan adat istiadat yang bersumber atau berpangkal tolak dari kepercayaan mereka. Atas kepercayaan dan kemampuan mereka memimpin dan menolong orang-orang lainnya, kemudian mereka dianggap sebagai penjelmaan Opo/Opok atau Empung untuk memimpin taranak dengan sebaik-baiknya.

Dalam cerita tua di daerah Toundanouw (Tonsawang), kesembilan taranak yang dipimpin oleh Balian dan Tonaas itu tidaklah semua menurunkan pengganti-penggantinya. Dikatakan, bahwa dari 18 Pemimpin itu hanyalah 7 orang Balian dan Tonaas yang menurunkan pengganti-pengganti mereka, sedangkan yang lain meninggal sebelum mendapatkan pengganti dan kalaupun ia hidup tidak juga mendapat pengganti. Dengan perkataan lain terdapat Balian dan Tonaas yang tidak mendapatkan keturunan sampai meninggalnya. Sebagai akibat, maka taranak-taranak yang kehilangan pemimpin digabungkan dengan taranak-taranak lainnya dibawah satu kepemimpinan Tonaas dan Balian. Dari ketujuh Balian dan Tonaas itu dikatakan menurunkan beberapa orang anak. Biasanya Balian dan Tonaas mengangkat anak yang tertua, kedua dan ketiga sebagai pemimpin negeri taranak jika mereka telah dewasa dan memahami adat istiadat. Sedangkan anak-anak mereka yang lainnya diserahi kedudukan-kedudukan khusus dalam masyarakat atau menjadi calon pengganti bilamana salah satu dari Kakak mereka itu meninggal dunia atau cacat seumur hidup sehingga tidak dapat memegang jabatannya lagi.

Oleh karena ketujuh taranak itu masing-masing bertambah banyak, maka Balian dan Tonaas itu mengangkat pemimpin negeri taranak dibawah lingkungan taranak Um Banua yang dipimpin oleh Tonaas dan Balian. Taranak Negeri adalah merupakan sub sistem kekerabatan yang lebih kecil dibawah lingkungan Taranak Um Banua. Jika semula anggota-anggota warganya berasal dari satu garis keturunan yang sama, maka taranak negeri ini telah bersifat pluralistis disebabkan datangnya orang-orang lain yang tidak diketahui lagi garis keturunannya. Walaupun demikian, pendatang-pendatang itu diterima oleh kaum taranak dan bahkan dibolehkan kawin dengan penduduk asli sepanjang pendatang baru itu dapat menerima adat istiadat yang dipegang oleh penduduk asli. Pendatang-pendatang itu dikatakan berasal dari pulau seberang lautan. Sub sistem kekerabatan atau negeri itu dipimpin oleh anak yang tertua dari Tonaas atau Balian. Mereka ini kemudian disebut Kepala Negeri atau Kepala Kampung yang dalam bahasa daerah namanya PAMATUAN. Pamatuan juga disebut PAHINDON MATUA, karena mereka adalah diambil dari anak yang tertua dari keturunan Tonaas dan Balian. PAHINDON artinya diambil, sedangkan MATUA adalah Tua, sehingga dapat juga diartikan dituakan oleh kaum kerabat. Oleh karena ketujuh taranak Um Banua terbentuk sub-sistem kekerabatan yang lebih kecil tadi dan dipimpin oleh Pamatuan, maka dari jumlah sub-sistem taranak atau negeri tadi terdapat 7 orang pemimpin/Pamatuan, dibawah naungan pemimpin Taranak Um Banua.

Bersambung to Part.2 ....!!!

Jenis-Jenis Mapalus di Minahasa

Saat ini saya akan memposting tentang jenis-jenis Mapalus yang ada di Minahasa dilihat dari perkembangan Mapalus itu sendiri, dan inilah jenis-jenisnya sebagai berikut :

MAWENGIAN (Wengi=Malam)


Mapalus ini bekerja sampai terbenam matahari dan beranggotakan 40 sampai 100 orang. Didaerah Kakas disebut "MAENDO" (Endo=Hari), yang maksudnya ialah mepalus yang bekerja sepanjang hari. Ada pula dari mapalus ini yang mewajibkan orang mendapat giliran menyediakan makan untuk seluruh orang yang ikut mapalus diwaktu siang hari. Jenis ini disebut "WEWEAN KUMAN (Bean/Wean=Beri, Kuman=Makan). Saat dibentuknya mapalus ini ditunjuklah pemimpin mapalus. Bentuk pimpinan mempunyai bermacam-macam variasi ditiap daerah tetapi pada umumnya komposisinya adalah sebagai berikut :

Seorang Kepala yang bertugas memimpin mapalus yang ditoundano disebut "SUMESUWENG" atau di Romboken disebut "TUA IM PALUS" maksudnya orang yang memperoleh Rua/Bagian giliran. Kalau anggota biasa mendapat "n" giliran, maka Si-Rua-Weteng mendapat 2N giliran. Kelebihan ini diberikan sebagai balasan atas jasanya sebagai pemimpin. Dia bertanggung jawab atas kelancaran jalannya mapalus dan menyelesaikan segala pertikaian yang mungkin timbul selama mapalus berjalan. Seorang Pembagi yang di sebut "MEWETENG" (Weteng=Bagi), yang bertugas membagi pekerjaan atau lauk-pauk, kalau tipe mapalus adalah "Wewean-Kuman". Tugas ini dapat pula dirangkap oleh Tua-im-palus dan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada seorang kepala Tumpuk seperti yang terdapat didaerah romboken, dimana tipe mawean-kuman tidak dikenal lagi. Seorang Kepala Tumpuk mengepalai satu tumpuk. Jumlah tumpuk biasanya 4 tumpuk, yang masing-masing dikepalai oleh Kepala Tumpuk. Seorang Peniup atau "SUMESEMBUNG" (Sembung=Tiup), yang tugasnya adalah membangunkan para anggota mapalus diwaktu fajar, kurang lebih pukul 04.00 pagi untuk berangkat ketempat pekerjaan. Alat yang ditiup adalah kulit kerang yang besar atau  dalam bahasa Toundanouw (tonsawang) disebut "PILO", atau Trompet (Kemudian hari). Selain alat tersebut juga dipergunakan "Tambor" yang pemukulnya disebut TUMETAMBOR. Tugas Tumetambor atau dengan memukul kulintang. Tugas Tumetambor dan pemukulnya dapat juga dirangkap oleh Kepala Tumpuk yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada anggota-anggota lainnya secara bergilir. Pada masa-masa yang lampau tugas ini dilakukan oleh rombongan ORKES MAPALUS yang anggota-anggotanya dibebaskan dari tugas bekerja. Pada tiap berpindah tempat orkes ini juga memainkan lagu-lagu, sedang anggota-anggota mapalus mengikutinya dari belakang dengan berbaris, teristimewa waktu memasuki kampung. Kebiasaan ini malah hilang pada waktu belakangan ini. Di beberapa tempat masih ada mapalus yang mempunyai orkes, tetapi tidak mengikuti lagi bila ke tempat tujuan/pekerjaan. Orkes ini nanti dipakai setelah selesai satu kali mapalus, dimana anggota-anggotanya berpesta untuk penghiburan sambil berdansa/menari.

Selain ada seorang kepala, seorang pembagi, seorang kepala tumpuk dan seorang peniup, masih ada seorang pengawas. Di Toundano disebut "OPPAS", sedang di Remboken disebut "RAKAR". Tugasnya ialah mengawasi pekerjaan para anggota-anggotanya supaya suatu pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak bermalas-malas. Terhadap pelanggaran ini, maka Rakar atau Oppas dapat menjatuhkan hukuman phisik berupa 2 sampai 3 kali cambokan rotan atau lidi. Di Remboken pada saat Matetoolen, para anggota menjalankan suatu upacara semacam sumpah, yang bersama-sama menyatakan taat pada seluruh peraturan mapalus dan rela mendapatkan hukuman atas setiap pelanggaran. Upacara ini tidak dinyatakan dengan kata-kata tetapi dengan memukul si Rakar dua sampai tiga kali pada lengan tangan dihadapan Tua-im-palus dengan cemeti yang kelak akan digunakan dalam menjatuhkan hukuman kepada si pelanggar.

Hukuman ini dalam prakteknya membawa akses yang tidak adil, karena hukuman akan bersifat pembalasan dendam, bila si Rakar memberikan pukulan yang keras kepada pelanggar--maka tiba giliran sipelanggar memberikan pukulan kepada si pelanggar yang lain, biasanya dilakukan pukulan yang lebih keras lagi. Hal ini akan sangat diperhatikan si Rakar atau Oppas hingga tiap pelanggaran sampai yang kecilpun akan dihitung oleh si Rakar atau Oppas. Hukuman dilakukan setelah mapalus selesai bekerja dengan disaksikan oleh semua anggota. Satu hal yang menarik ialah meskipun perbedaan hukuman nyata-nyata sangat berbeda, namun tak seorangpun yang akan mengeluh atau mengajukan sesuatu protes.


Adapun peraturan-peraturan yang mengikat anggota mapalus adalah : harus berada ditempat pekerjaan pada waktu yang telah ditentukan ; dilarang meninggalkan tempat pekerjaan tanpa ijin dari Tua-im-palus ; tiap anggota tidak dibolehkan lengah atau lalai sepanjang jam kerja ; dilarang duduk, berdiri atau bercerita atau pura-pura bekerja ; harus berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang menjadi bagiannya, tanpa bantuan orang lain ; harus selesai bersama-sama dengan anggota-anggota lainnya ; harus melakukan pekerjaannya sesuai dengan keinginan dari yang mendapat giliran pekerjaan ; harus melakukan pekerjaan dengan baik, berkelakuan baik, tidak melanggar norma-norma kesusilaan atau hal-hal yang dapat mengacaukan mapalus ; menjaga citra (nama baik) mapalus.

Sebagai sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan tersebut maka mapalus menetapkan hukuman-hukuman yang berupa hukuman phisik, hukuman yang bersifat psychologis. Hukuman phisik biasanya dengan cambukan seperti diterangkan di atas, dan pada umumnya seperti : berdiri dihujan atau dijemur pada terik matahari. Cara ini sudah tidak terlihat lagi. Di Ratahan, bilamana ada dua orang melakukan pelanggaran, maka kedua orang itu sambil berdiri bertolak-belakang, memikul kayu yang panjangnya kira-kira 30 cm lalu memikul anggota-anggota secara berganti-ganti. Hukuman yang bersifat psycologis biasanya dikenakan dengan menyanyikan lagu sindiran, memberikan giliran terakhir pada yang bersangkutan untuk membela diri pada pertemuan mapalus, tidak mendapatkan pembagian ikan atau lauk pauk pada mapalus tipe Mawean-Kuman, hanya boleh makan lombok dan nasi saja. Bagi wanita yang melanggar hukumannya diberikan kepada "si pelindungnya" bilamana ia seorang gadis yang telah mempunyai pelindung, tetapi bilamana belum yang menanggungnya adalah kepala Tumpuknya.

MAWENANGAN

Type ini lebih kecil jumlah anggotanya dan tidak mempunyai peraturan-peraturan yang kompleks seperti Mawengian. Dalam Mawenangan ini yang turut menjadi anggota paling banyak 10 orang melalui jalan ajak-mengajak antara mereka yang mempunyai kebutuhan pada suatu keadaan. Dalam Mawenangan ini tidak dikenal organisasi pimpinan seperti Mawengian. Hukuman-hukumanpun tidak dikenal, karena seluruhnya ditentukan melalui musyawarah anggota-anggotanya. Setiap yang mendapat giliran, menyediakan makanan siang bagi seluruh anggota. Mapalus ini disebut juga "MASAPUTAN", artinya (Seput-Bungkus, kalau di Toundanouw/Tonsawang MASAWUTAN yang artinya sama dengan itu). Masawutan dimaksudkan adalah membawa makanan ketempat pekerjaan, karena bekerja sepanjang hari dan tidak pulang kerumah.

MASANGA PONTOLAN NIENDO

Caranya seperti pada Mawenangan, tetapi orang hanya bekerja sampai tengah hari, yaitu kira-kira sampai jam 1 Siang (13.00). Disini tidak dikenal pemberian makanan kepada anggota-anggota, kebanyakan anggota-anggotanya adalah anak-anak sekolah, yaitu pada waktu pagi hari berada di sekolah, Sore hari dalam mapalus, untuk membantu orang tua dalam mengerjakan sawah atau ladang. Adakalanya inisiatif datang dari seorang Guru Sekolah yang bersangkutan, terutama Sekolah Menengah atau Sekolah Rakyat kelas V-VI.

Dari uraian tersebut diatas, maka type mapalus yang sebenarnya didaerah-daerah minahasa lainnya (diluar Toundanouw/Tonsawang) adalah type MAWENGIAN tadi. Dalam mapalus ini waktu bekerja diukur dengan teliti dengan mempergunakan jam, biasanya WEKKER atau dulu disebut ERISAN, yaitu suatu alat pengukur waktu yang terdiri dari dua botol yang bersamaan dan yang mulutnya dihubungkan dengan sebuah sumbat yang diberi lobang kecil. Dalam botol yang satu, telah dimasukkan pasir yang halus dan kering, sedang botol yang satunya kosong. Dengan membalikan botol yang berisi pasir, maka turunlah pasir itu berlahan-lahan kebotol yang lainnya dan setelah botol yang di atas telah kosong, dibaliklah pula erisan itu, demikian selanjutnya hingga mendapatkan jumlah yang di inginkan. Setiap anggota mendapat pembagian/giliran pekerjaan menurut waktu yang ditentukan misalnya tiap tiga jam satu orang, kemudian pindah lagi keorang lain yang mendapat pekerjaan tiga jam dan kadang-kadang dalam waktu setengah hari mendapat 3 orang.

GOTONG ROYONG (di Minahasa)

Type ini dapat dilihat dalam membangun rumah, memperbaiki rumah, mengatapi rumah atau memindahkan rumah, mengerjakan jembatan atau jalan umum, menggali parit saluran air umum atau untuk kepentingan satu keluarga. Dalam ketiga bentuk/jenis mapalus seperti diterangkan di atas, dikenal adanya giliran dan bilamana telah selesai pekerjaan dan dibentuk lagi untuk menghadapi pekerjaan yang lain. Sedangkan dalam tipe gotong royong tidaklah dikenal hal seperti tadi. Sebagai contoh, bilamana seorang ingin mengatapi rumahnya, maka bantuan dimintakannya atau yang ditawarkannya kepada orang lain (tetangganya) adalah berupa permintaan tenaga dan atap. Bantuan yang dimintakan ini bersifat suka-rela, tidak dengan paksaan dan juga tidak ditentukan berapa jumlah atap yang dimintakan/diberikan. Jumlahnya terserah kepada keluarga/kerabat yang membantunya. Sebagai akibat, maka bilamana tetangga itu tiba waktunya mengatapi rumahnya, maka orang yang pernah dibantu itu memberikan bantuan materil lebih banyak dari yang diperolehnya, sehingga kadang-kadang tidak masuk akal. Tetapi hal ini merupakan balasannya atas bantuan tetangga yang ikhlas bukan paksaan. Sedangkan dalam hal mengerjakan jembatan pada umumnya orang-orang yang ikut serta dalam pekerjaan itu bersifat suka-rela karena kepentingan mereka tertolong dengan perbaikan atau pembuatan jembatan tersebut. Dengan kata lain dalam contoh terakhir ini, motivasi utama karena kepentingan bersama anggota masyarakat bukan kepentingan sendiri. Mengerjakan parit saluran air atau kali/sungai juga berdasarkan asas suka-rela, karena merasa bahwa parit yang kotor atau tertimbun pasir atau tanah akan menyusahkan mereka yaitu pertanian, maupun merusak tanaman jika terjadi banjir. dalam soal yang satu ini, kesadaran bersama adalah faktor yang utama. Dengan contoh-contoh di atas, maka gotong royong seperti tadi, tidaklah dapat digolongkan dalam tipe mapalus. Tetapi karena perkembangan masyarakat dan pengaruh dari lain daerah, orang-orang seringkali menyamakan mapalus tadi dengan gotong royong, padahal gotong royong dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa merupakan suatu sistim pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kakurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitet produksi bercocok tanam di sawah. Untuk melanjutkan keterangan ini, saya akan paparkan apa yang dianalisa oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat seorang ahli Anthropologi Budaya Indonesia sebagai berikut;

Dalam bukunya Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan halaman 59, menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, konsep gotong royong yang kita nilai tinggi itu merupakan suatu konsep yang erat bersangkut paut dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agraris. Istilahnya, istilah Jawa, tetapi rupa-rupanya tidak amat tua. Maha guru itu pernah bertanya kepada Ahli Bahasa Jawa Kuno dan Texikograf ulung kita, Prof. Zoetmulder, tentang soal itu. Beliau berkata bahwa dalam seluruh kesusastraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (Kekawin, Kidung dsb) sudah pasti tidak ada istilahnya. Rupa-rupanya juga dalam kesusastraan Jawa Baru (Babad, Serat dsb) istilah itu tidak ada. Tidak adanya suatu istilah dalam kesusastraan, tentu belum berarti bahwa dalam kenyataan bahasa sehari-hari antara rakyat di desa-desa, istilah itu juga tidak ada. Hanya saja dari mana di Jawa istilah itu berasal, tidak jelas lagi. Di berbagai daerah di Jawa ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Istilah gotong royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang Hukum Adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian (Terutama di Jawa Timur) oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen.

Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistim pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitet produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu seorang petani meminta dengan adat sopan santun yang sudah tetap beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya, misalnya dalam hal mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru (Memperbaiki saluran-saluran air dan pematang-pematang, menyangkul, membajak dan menggarau, dsb). Petani tuan rumah hanya harus menyediakan makan siang tiap hari kepada teman-temannya yang datang membantu itu, selama pekerjaannya berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuannya. Dengan demikian, sistem gotong royong sebagai suatu sistem pengerahan tenaga seperti itu, amat cocok dan fleksible untuk tehnik bercocok tanam yang bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu unsur uang belum masuk ekonomi pedesaan. Tenaga tambahan dapat dikerahkan bilamana perlu, dan segera dibubarkan lagi bila pekerjaan selesai. Di desa-desa di Jawa, kerjasama tolong-menolong dalam bercocok tanam seperti itu biasanya dilakukan antara para petani yang memiliki bidang-bidang sawah yang berdekatan letaknya.

Dengan masuknya uang menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi pedesaan, yang dibeberapa daerah di Jawa sudah mulai dalam abad ke-19 yang lalu, tetapi dibeberapa daerah lain mungkin baru setengah abad yang lalu, maka sistem pengerahan tenaga seperti itu mulai dianggap menjadi kurang praktis. Memang seorang ahli pertanian Belanda yang pernah bekerja didaerah BLITAR di Jawa timur bernama H. Van der Kolf, menulis dalam tahun 1920, bahwa di daerah pedesaan di Blitar itu banyak petani mulai meninggalkan ADAT GOTONG ROYONG dalam produksi pertanian, dan menganggap lebih praktis untuk menyewa saja buruh tani yang diberi upah berupa uang....."

Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan bahwa ia sendiri pernah mengadakan penelitian yang khusus mengenai aktivitet-aktivitet gotong royong di beberapa desa di Jawa Tengah bagian Selatan (Kebumen, Karangayar) dalam tahun 1958 dan 1959. Di desa-desa  didaerah itu gotong royong disebut "SAMBATAN" dan memang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, istilah Sambatan itu berasal dari kata "SAMBAT", artinya Minta bantuan. Menarik adalah disini persamaan dengan istilah dalam bahasa Jerman "Bitarbeit" artinya "Pekerjaan bantuan yang diminta" (dari kata bitten=minta) untuk aktivitet-gotong royong seperti itu juga, yang kira-kira setengah abad yang lalu masih juga dilakukan didaerah pedesaan dijerman. Dikemukakannya juga, bahwa waktu ia mengadakan penelitian didaerah Karanganyar-Kebumen itu, juga sudah ada anggapan bahwa menyewa buruh tani dengan upah uang itu adalah jauh lebih praktis daripada menyambat orang tetangga dengan sopan-santun adat dan dengan kewajiban menjamu yang amat merepotkan. Memang daerah Karanganyar-Kebumen merupakan salah satu daerah yang paling padat di Jawa, maka buruh tani disana sangat rendah. Adat sambatan, walaupun oleh sebagian besar dari para petani didaerah Karanganyar-Kebumen sudah dianggap kurang praktis, toh masih dilakukan oleh suatu bagian cukup besar dari para petani disana sekitar tahun 1959 itu. Adapun istilah gotong royong baru saja dikenal para petani disana ialah waktu itu baru di introduksi 3-4 tahun sebelumnya waktu berlangsungnya kampanye pemilihan umum disitu.

Sabtu, 17 Januari 2015

Pengertian Mapalus atau Maando

Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita telah banyak mendengar kata MAPALUS atau dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) biasa disebut dengan MAANDO. Untuk lebih jelasnya tentang mapalus atau Maando, ada baiknya kita mengetahui dahulu arti dari Mapalus. MAPALUS berasal dari kata "Palus" yang artinya "Tuang" atau "Curah". Mapalus merupakan suatu cara kerjasama antar manusia untuk memenuhi kebutuhan sesama atau warga/anggota dalam usaha mengolah tanah pertanian pada suatu saat yang tidak mungkin dicapai dengan kemampuan tenaga sendiri, tanpa bantuan orang lain. Dasar pokok daripada mapalus adalah daya guna dan hasil guna yaitu bahwa dengan bekerjasama dengan orang lain dapat dicapai hasil yang memuaskan. Di daerah Toundanouw (Tonsawang) dikenal dengan istilah "Pekaandoan" yang artinya bekerja sama-sama, serentak tanpa memikirkan untung rugi tetapi secara ikhlas menyumbangkan tenaganya agar suatu pekerjaan besar atau kecil selesai tepat pada waktunya. Dari istilah pekaandoan itu kemudian muncul istilah MAANDO, yang artinya sama tetapi cara maupun motivasinya agak berbeda dengan PEKAANDOAN yang sebenarnya.

Pekerjaan yang dilakukan oleh mapalus mungkin dapat pula dikerjakan oleh seorang petani sendiri, tetapi selain pekerjaan itu sangat menjemukan, maka hasilnya tidak akan memuaskan pula. Dengan berminggu-minggu petani itu akan bekerja sendiri dan setelah ia selesai dengan pekerjaan terakhir, maka bagian yang dikerjakan mula-mula telah rimbun kembali dengan rumput sehingga tidak memberikan pemandangan yang harmonis dan menyenangkan. Dengan sistim mapalus maka kekurangan-kekurangan seperti ini dapat diatasi, karena dalam mapalus terdapat faktor-faktor yang dapat menghilangkan kejemuan dan kelesuan bekerja. Orang-orang yang bekerja berdamping-dampingan dapat bekerja sambil menyanyi bersambut-sambutan dan lebih daripada itu didalam mapalus terdapat peraturan yang keras yang tidak menghendaki kemalasan dan kelengahan.

Berdasarkan hal-hal di atas, mudahlah dimengerti betapa besar daya guna dan hasil guna dengan mapalus. Apa yang dikerjakan oleh seorang petani dalam satu bulan, dapat dikerjakan dengan mapalus dalam waktu 2-3 jam kerja bersama 50 orang. Asal-Mula MAPALUS dimulai pada waktu orang-orang minahasa dahulu belum mengenal "Pasini", yaitu pada saat "Kalakeran". Menjadi adat kebiasaan dalam masa nenekmoyang dahulu kala, dimana tanah keturunan keluarga tidak dibagi-bagi walapun nenek-tete telah mempunyai keturunan yang besar sekalipun. Oleh karena tanah-tanah Kalakeran itu umumnya besar dan luas maka menurut adat kebiasaan, anak-anak keturunannya secara berganti-ganti dapat mengerjakan tanah tersebut mulai dari anak yang tertua sampai yang terbungsu dan seterusnya. Oleh karena dirasakan bekerja sendiri-sendiri kurang berhasil guna lagi pula berhari-hari bahkan bebulan-bulan, maka antara sesama anggota keluarga menyepakati bekerja secara bersama dan hasilnyapun dibagi bersama menurut jumlah keluarga masing-masing. Hal ini terjadi pada jaman dahulu di daerah Toundanouw (Tombatu) yang disebut dengan Pekaandoan tadi dalam wujud yang lebih nyata. Semula bersifat membantu tanpa mengharapkan untung atau rugi dan serentak, tetapi akibat perkembangan masyarakat dan pengalaman mereka, maka hasil dari pinekaandoan tadi dibagi secara sama-rata menurut keadaan anggota keluarga. Kalau seseorang yang membantu belum mempunyai tanggungan, maka ia mendapat pembagian hasil pertanian menurut keadaannya, tetapi kalau ia telah mempunyai tanggungan, biasanya mendapat pembagian sesuai dengan keadaan tanggungannya.

Pada saat hak milik yang disebut "Pasini" mulai dikenal, maka istilah Pekaandoan tadi menjadi "Maando", karena lebih bersifat membantu orang lain untuk mengerjakan ladang atau sawah sehingga yang bersangkutan mendapat keringanan beban tenaga dan waktu menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu sistim maando lebih bersifat kekerabatan tetapi tidak spontan, artinya perlu diorganisir oleh seseorang yang dalam bahasa Toundanou (Tonsawang) disebut "PAHALASEN", yang diikuti bersama, juga seorang pengkordiner atau pemimpin kerja. Oleh karena pemukiman penduduk lama kelamaan terpisah-pisah dan makin jauh dari satu tempat ke tempat yang lain, lalu timbul mapalus yang bersifat teritorial. Pasini mulai dikenal ketika orang-orang mulai menanam tanaman bertahun ditanah Kalakeran. Oleh karena ini bertentangan dengan adat-kebiasaan, maka seringkali timbul perbantahan antar anggota keluarga dan baru pada jaman pemerintahan Belanda, tanah kalakeran itu dibagi-bagi menjadi "pasini" dari anggota-anggota keluarga menurut silsilah atau keturunan yang sah.

Adat Istiadat Suku Toundanouw/Tonsawang Part.2

Pada postingan saya sebelumnya yaitu mengenai adat istiadat Suku Toundanouw, dimana berisikan tentang Kalakeran dan Perkawinan bagi yang belum membacanya klik aja disini, namun saat ini saya akan melanjutkan adat istiadat yang ada disuku Toundanouw (Tonsawang). Ok....Lanjutkan membacanya...!!!

KEHAMILAN DAN PEMBERIAN NAMA

Pada waktu Agama Kristen belum dipeluk oleh penduduk didaerah ini, maka selama masa kehamilan dari seorang isteri, maka suami harus mentaati bermacam-macam ketentuan berupa larangan. Larangan-larangan ini disebut dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) "Indies" yaitu tidak boleh mengolok-olok orang atau memaki sesama manusia atau mengumpat, tidak boleh berjalan dibawah tali jemuran pakaian, tidak boleh tidur dengan tangan ditumpangkan diatas kepala, tidak boleh duduk atau berdiri didepan pintu, tidak boleh membuat simpul tali atau benang, tidak boleh bertengkar, tidak boleh menakut-nakuti isteri, tidak boleh memakan buah pisang yang berpasangan (dalam bahasa Toundanouw/Tonsawang disebut "SEWANG"), tidak boleh membunuh binatang, dll.

Bilamana waktu telah mendekati kelahiran bayi, sang suami dan isteri harus memenuhi kewajiban antara lain semua pintu, jendela, peti pakaian, lemari dibuka tidak dalam keadaan tertutup, dan sang suami harus berada ditempat, tidak boleh pergi jauh-jauh misalnya kekebun, tetapi siap menanti kedatangan bayinya. menurut kebiasaan dimasa lampau, dengan mematuhi indies dan kewajiban tersebut, diharapkan bayi yang lahir maupun sang isteri hidup dengan keadaan segar-sehat tanpa rintangan atau halangan. Sang suami setelah mendapatkan bayinya wajib menengoknya dan memberi tahu apa nama sang bayi pada waktu tali pusarnya dipotong.

PEMBERIAN NAMA

Jika bayi yang lahir itu dipotong tali pusarnya oleh Dukun beranak (Balian)-Bidan pengertian sekarang-, dengan sembilu dari bambu kecil yang tajam (disebut "Teteba"), pada saat itulah diberikan nama kepada sang bayi menurut pilihan orang tuanya. Nama yang diberikan ini disebut "Ngalan be worog i pused" dan setiap nama yang diberikan mengandung arti dan harapan dari orang tuanya dimasa depan. Anak yang masih kecil (bayi) laki-laki disebut "AMBE", sedang nama bagi bayi perempuan disebut "NENE".

Pada waktu sekarang, larangan-larangan seperti tersebut diatas sudah tidak lagi dipatuhi secara penuh, karena perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Tetapi mengenai sebutan atau nama bayi masih tetap berlaku. Dalam pemberian nama pada waktu pemotongan tali pusar, sudah agak longgar dan biasanya nama diberikan pada waktu bayi dibaptiskan/penyerahan. Umumnya dengan perkembangan jaman, nama-nama yang diberikan bersumber dari Nama Dotu atau Kakek-Nenek, Nama-nama dari Alkitab, atau meniru nama-nama orang besar, Tokoh-tokoh masyarakat, Pemerintah, gereja dan nama-nama terkenal didunia barat/artis. Dewasa ini semakin jarang orang-orang tua di Toundanouw (Tonsawang) memberikan nama kepada anaknya dari nama Dotu atau Kakek-Nenek atau para pahlawan-pahlawan masa dahulu. Padahal nama-nama asli diwaktu lampau tidak kalah baiknya dengan nama-nama sekarang.

PENGAKUAN DAN PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

Pada jaman dahulu, apabila seorang wanita mengandung tetapi tidak ada seorang pria yang mengakui dia sebagai isterinya atau mengakui kehamilan yang terjadi akibat hubungan antar keduanya, maka anak yang lahir kemudian biasanya memakai nama keluarga pihak wanita. Adakalanya keluarga dari pihak wanita mencoba membujuk sang wanita untuk memberitahukan siapa yang menyebabkan kehamilan dirinya dan bilamana diketahui maka diusahakan untuk mendekati pria tersebut lalu ditanyakan apakah ia bermaksud mencelakakan sang wanita itu. Bilamana dalam pendekatan sang pria menyatakan hendak mengakui anaknya saja yang lahir, maka sang pria memberitahukan kepada pihak keluarga wanita bahwa walaupun ia tidak akan mengawini wanita itu, namun ia hendak mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya. Maka selama anak itu ditangan siwanita, ia harus mengirimkan atau mengongkosi anak tersebut sampai tiba saatnya ia berumah tangga.

Tetapi ada kalanya, sang wanita menolak tindakan sang pria yang hanya menyatakan kehendak dan berbuat demikian, sehingga anak tersebut dalam pemeliharaan sang wanita sampai dewasa atau berumah tangga. Dalam hal seperti ini, maka anak tersebut tetap menggunakan nama sang keluarga wanita dan mencoba untuk tidak memberitahukan siapa ayahnya yang sebenarnya. Walaupun pengakuan anak yang lahir diluar nikah ini jarang terjadi, namun ada kalanya, sepasang suami isteri yang tidak mendapatkan keturunan mengambil anak tersebut melalui persetujuan dari sang wanita atau Ibu daripada anak tadi. Bilamana sepasang suami isteri mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri, maka nama anak itu diberikan nama menurut nama keluarga dari pihak suami yang mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri. Ini membawa akibat bahwa dalam pembahagian warisan, anak yang diakui itu akan mewarisi semua harta peninggalan dari kedua suami-isteri atau ayah-ibunya itu. Oleh karena cara ini menimbulkan protes dari pihak keluarga pria dan wanita yang mengakui anak itu, terutama dalam soal warisan, akhirnya pengakuan anak seperti itu ditiadakan sampai sekarang ini.

Di Toundanouw baik jaman dahulu sampai sekarang juga masih berlaku mengangkat anak atau adopsi. Bagi orang-orang Toundanouw (Tonsawang) hal mengangkat anak disebut dengan "TINAKENG A KANOMBAL" yang artinya "Tinakeng"=angkat, "A Kanombal" artinya diatas kulit pelepah pembungkus batang pinang. Pada waktu seorang atau sepasang suami-isteri yang telah lama tidak mendapat keturunan mungkin oleh karena mandul akibat sakit masa lampau, mengangkat anak, maka biasanya ia mengangkat anak yang disebut Bayi. bayi tersebut sebelum lahir telah dimintakannya kepada sepasang suami-isteri melalui musyawarah. Bilamana si suami-isteri akan mengandung dan melahirkan seorang bayi, dimintakannya untuk menjadi anaknya sendiri. Jika hal ini disetujui oleh sang isteri dan suami yang memiliki bayi tersebut, maka pada waktu bayi lahir maka pada saat itu juga ia dibawa dengan kanombal kerumah sang suami-isteri yang mengangkatnya. Oleh karena itu cara pengangkatan anak yang demikian itu disebut "Tinakeng a kanombal" atau disebut juga "PINEBATA", artinya diangkat menjadi anaknya sendiri secara sah atau resmi.

Anak yang diangkat atau Pinebata/Tinakeng a Kanombal itu diberi nama menurut suami-isteri yang mengangkatnya dan ia memelihara anak itu sampai besar hingga berumah tangga tetap diakui sebagai anaknya sendiri. Dengan ini ia berhak memperoleh warisan dari Ibu-Bapanya yang mengangkatnya sebagai anak. Warisan yang didapatkannya bersifat abadi artinya menerima semua harta peninggalan dari ayah-ibu pengangkatnya. Pengangkatan anak ini menurut L.ADAM adalah adopsi yang sejati di Minahasa dan memang hanya terdapat didaerah Tonsawang. Adakalanya yang mengadopsi bayi tersebut mereka yang telah mempunyai anak laki-laki tetapi tidak mempunyai anak perempuan, dan juga mempunyai anak perempuan tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. Namun pengangkatan anak seperti itu juga dilakukan menurut tata-cara tersebut diatas. Selama bayi tersebut dalam pemeliharaan si pengangkat, maka orang tuanya (Ibunya yang sebenarnya) datang menyusui sang bayi sampai ia lepas menyusu. Sebagai imbalan atas pemberian bayinya itu, maka si pengangkat anak (Bayi) tersebut biasanya memberikan tanah atau kebun pece (sawah) kepada keluarga si pemberi bayi yang menjadi haknya sampai selama-lamanya.

Walaupun hal yang terakhir ini sangat jarang terjadi didaerah Toundanouw (Tonsawang), namun ada kalanya orang tua yang merasa simpati kepada satu keluarga yang tidak seketurunan dengannya mengangkat anak orang lain dengan istilah dalam bahasa setempat (Toundanouw/Tonsawang) "PINANGUAAN/PINEPANGUAAN", memberitahukan telah mengangkat (anak). Sebagai contoh bilamana seorang tua bersimpati kepada seorang anak dari keluarga lain ia datang mengatakan kepada Ibu-Bapak sang anak bahwa anaknya ia ingin angkat sebagai anaknya sendiri. Bilamana disetujui oleh Ibu-Bapak tersebut, maka anak itu dianggap telah mempunyai Bapa dan Ibu angkat. Cara inilah yang disebut "PINANGUAAN". Anak tersebut tidak tinggal dirumah keluarga yang mengangkat tetapi tetap dirumah keluarganya sendiri. Namun demikian sewaktu-waktu anak itu dapat pergi kerumah keluarga yang mengangkat tetapi tidak terus bertempat tinggal disana. Anak yang diangkat biasanya kira-kira berumur 7 tahun sampai 12 tahun. Si pengangkat anak ini biasanya memberikan tanah atau sawah kepada anak angkatnya sebagai bukti simpatinya yang jujur atau ikhlas.

Rabu, 14 Januari 2015

Hutang Amerika Terhadap Indonesia

Ternyata Amerika Memiliki Hutang 57 Ribu Ton Emas Kepada Indonesia ....!!!



"The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva pada 14 November 1963 


Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia. 


Perjanjian "The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963 


Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai "salah satu" harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Umat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk, agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini. 


Perjanjian itu bernama "Green Hilton Memorial Agreement Geneva". Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). 


Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri. 


Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapa pun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tahu siapa yang menyimpan hingga kini.


Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Paus sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. 


Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut menanda tangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. 


Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara. Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar Amerika. 


Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia. 

Asal Mula Perjanjian "Green Hilton Memorial Agreement" 


Setelah masa perang dunia berakhir, negara-negara timur dan barat yang terlibat perang mulai membangun kembali infrastrukturnya. Akan tetapi, dampak yang telah diberikan oleh perang tersebut bukan secara materi saja tetapi juga secara psikologis luar biasa besarnya. Pergolakan sosial dan keagamaan terjadi dimana-mana. Orang-orang ketakutan perang ini akan terjadi lagi. Pemerintah negara-negara barat yang banyak terlibat pada perang dunia berusaha menenangkan rakyatnya, dengan mengatakan bahwa rakyat akan segera memasuki era industri dan teknologi yang lebih baik. Para bankir Yahudi mengetahui bahwa negara-negara timur di Asia masih banyak menyimpan cadangan emas. Emas tersebut akan di jadikan sebagai kolateral untuk mencetak uang yang lebih banyak yang akan digunakan untuk mengembangkan industri serta menguasai teknologi. Karena teknologi Informasi sedang menanti di zaman akan datang. 


Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di Dunia) mengunjungi Indonesia. Melalui pertemuan dengan Presiden Soekarno, mereka mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan dan pencegahan terjadinya kembali perang dunia yang baru saja terjadi dan menghancurkan semua negara yang terlibat, setiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral Emas yang dimiliki oleh setiap negara untuk program-program kemanusiaan. Dan semua negara menyetujui hal tersebut, termasuk Indonesia. Akhirnya terjadilah kesepakatan bahwa emas-emas milik negara-negara timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan. Sebagai pertukarannya, negara-negara Asia tersebut menerima Obligasi dan Sertifikat Emas sebagai tanda kepemilikan. Beberapa negara yang terlibat diantaranya Indonesia, Cina dan Philippina. Pada masa itu, pengaruh Soekarno sebagai pemimpin dunia timur sangat besar, hingga Amerika merasa khawatir ketika Soekarno begitu dekat dengan Moskow dan Beijing yang notabene adalah musuh Amerika. 


Namun beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai menyadari bahwa kesepakatan antara negara-negara timur dengan barat (Bankir-Bankir Yahudi dan lembaga keuangan dunia) tidak di jalankan sebagaimana mestinya. Soekarno mencium persekongkolan busuk yang dilakukan para Bankir Yahudi tersebut yang merupakan bagian dari Freemasonry. 


Tidak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan mengunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara timur telah di tipu oleh Bankir International. 


Akhirnya Pada tahun 1963, Soekarno membatalkan perjanjian dengan para Bankir Yahudi tersebut dan mengalihkan hak kelola emas-emas tersebut kepada Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy (JFK). Ketika itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat dalam perang dunia. Presiden JFK menginginkan negara mencetak uang tanpa utang. 


Karena kekuasaan dan tanggung jawab Federal Reserve bukan pada pemerintah Amerika melainkan di kuasai oleh swasta yang notabene nya bankir Yahudi. Jadi apabila pemerintah Amerika ingin mencetak uang, maka pemerintah harus meminjam kepada para bankir yahudi tersebut dengan bunga yang tinggi sebagai kolateral. Pemerintah Amerika kemudian melobi Presiden Soekarno agar emas-emas yang tadinya dijadikan kolateral oleh bankir Yahudi di alihkan ke Amerika. Presiden Kennedy bersedia meyakinkan Soekarno untuk membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani. Setelah dilakukan MOU sebagai tanda persetujuan, maka dibentuklah Green Hilton Memorial Agreement di Jenewa (Swiss) yang ditandatangani Soekarno dan John F.Kennedy. Melalui perjanjian itu pemerintah Amerika mengakui Emas batangan milik bangsa Indonesia sebesar lebih dari 57.000 ton dalam kemasan 17 Paket emas. 


Melalui perjanjian ini Soekarno sebagai pemegang mandat terpercaya akan melakukan reposisi terhadap kolateral emas tersebut, kemudian digunakan ke dalam sistem perbankan untuk menciptakan Fractional Reserve Banking terhadap dolar Amerika. Perjanjian ini difasilitasi oleh Threepartheid Gold Commision dan melalui perjanjian ini pula kekuasaan terhadap emas tersebut berpindah tangan ke pemerintah Amerika. Dari kesepakatan tersebut, dikeluarkanlah Executive Order bernomor 11110, di tandatangani oleh Presiden JFK yang memberi kuasa penuh kepada Departemen Keuangan untuk mengambil alih hak menerbitkan mata uang dari Federal Reserve. Apa yang pernah di lakukan oleh Franklin, Lincoln, dan beberapa presiden lainnya, agar Amerika terlepas dari belenggu sistem kredit bankir Yahudi juga diterapkan oleh presiden JFK. salah satu kuasa yang diberikan kepada Departemen keuangan adalah menerbitkan sertifikat uang perak atas koin perak sehingga pemerintah bisa menerbitkan dolar tanpa utang lagi kepada Bank Sentral (Federal Reserve).


Tidak lama berselang setelah penandatanganan Green Hilton Memorial Agreement tersebut, presiden Kennedy di tembak mati oleh Lee Harvey Oswald. Setelah kematian Kennedy, tangan-tangan gelap bankir Yahudi memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu juga tidak pernah efektif, hingga saat Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde baru yang didalangi oleh CIA yang kemudian mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sampai pada saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurus aset-aset tersebut hingga meninggal dunia. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan, yang berkaitan dengan Green Hilton Memorial Agreement tersebut adalah sebuah buku bersandi yang menyembunyikan ratusan akun dan sub-akun yang digunakan untuk menyimpan emas, yang terproteksi oleh sistem rahasia di Federal Reserve bernama The Black screen. Buku itu disebut Buku Maklumat atau The Book of codes. Buku tersebut banyak di buru oleh kalangan Lembaga Keuangan Dunia, Para sesepuh Mason, para petinggi politik Amerika dan Inteligen serta yang lainnya. Keberadaan buku tersebut mengancam eksistensi Lembaga keuangan barat yang berjaya selama ini.
Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang disepakati antara JFK dan Presiden Soekarno melalui Green Hilton Agreement. 


Padahal mereka telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak setiap dollar. 


Hal yang sama terjadi pada bangsa China dan Philipina. Karena itulah pada awal tahun 2000-an China mulai menggugat di pengadilan Distrik New York. Gugatan yang bernilai triliunan dollar Amerika Serikat ini telah mengguncang lembaga-lembaga keuangan di Amerika dan Eropa. Namun gugatan tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa dan belum menunjukkan hasilnya. Memang gugatan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran yang tinggi, karena bukan saja berhadapan dengan negara besar seperti Amerika, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan Yahudi bahkan kabarnya ada kepentingan dengan Vatikan. Akankah Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Cina yang menggugat atas hak-hak emas rakyat Indonesia yang bernilai Ribuan Trilyun Dollar… (bisa untuk membayar utang Indonesia dan membuat negri ini makmur dan sejahtera), mudah-mudahan aja dapat diperjuangkan oleh generasi penerus.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More