Pendaratan Inggris di Indonesia
Jakarta, 15 September 1945. Tentara Inggris mendarat di pelabuhan Tanjung Priok dengan pimpinan Laksamana Muda W R Patterson dari Fifth Royal Cruiser Squadon dengan kapal HMS Cumberland. Seminggu sebelumnya beberapa perwira intelijen Inggris pimpinan Mayor Greenhalgh mendarat dengan payung terjun di lapangan terbang Kemayoran. Greenhalgh langsung menghubungi Jendral Nagano, panglima pasukan Angkatan Darat Jepang di Jawa untuk menyampaikan mengenai rencana pendaratan pihak Sekutu. Untuk itu Nagano sepakat untuk membantu melakukan pengamanan dan penertiban agar tidak terjadi konflik dalam proses pendaratan Sekutu di Jakarta. Dengan kedatangan Patterson, tentara Inggris segera menduduki beberapa bagian penting di Jakarta. Tugas resmi mereka ialah menjaga keamanan, melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan mereka negerinya, serta melepaskan tahanan militer dan sipil orang-orang Sekutu dari kamp-kamp tawanan Jepang.
Kedatangan Sekutu yang lebih awal telah menghalangi pemuda Jakarta untuk medapatkan senjata-senjata Jepang dengan jumlah yang diharapkan, baik melalui perundingan-perundingan maupun dengan ancaman serangan massa. Berlanjut dengan kedatangan jumlah pasukan tempur lebih besar lagi pada 28 September. Batalyon “Seaforth Highlanders” berkekuatan 500 pelaut dan marinir Inggris hari itu mendarat di Jakarta. Pendaratan ini kemudian di ikuti oleh kesatuan-kesatuan dari divisi ke-5, ke-23 dan ke-26 India yang dipimpin perwira-perwira Inggris dibeberapa kota di Jawa dan Sumatra. Karena keterbatasan tenaga kekuatan hingga pihak SEAC menempatkan kesatuan-kesatuan ini pada posisi strategis di Jakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang dan Medan. Yang juga mendapat perhatian khusus adalah Bandung dan daerah Parung dekat Bogor dengan tujuan utama melucuti senjata-senjata milik pasukan Jepang.
Sedangkan di wilayah Timur Indonesia dilakukan oleh pasukan Australia yang sejak awal 1945 telah berada di Papua Barat dan mendirikan markas di Morotai. Pada bulan Mei, kesatuan dari Divisi kesembilan merebut pulau minyak, Tarakan, sedangkan Divisi ketujuh menduduki Balikpapan pada bulan Juli. Ketika perang berakhir, pasukan Australia di Indonesia Timur berjumlah 50.000 prajurit melucuti militer Jepang dari Indonesia Timur hingga Kalimantan. Masing-masing: Kupang (11 September), Banjarmasin (17 September), Makassar (21 September), Ambon (22 September), Manado (2 Oktober) dan Pontianak (16 Oktober).
Belanda ikut membonceng
Pada pendaratan SEAC di Tanjung Priok ikut pula van der Plas, bekas gubernur Belanda di Jawa-Timur semasa Hindia-Belanda. Setelah berada di Jakarta, ia langsung mencari hubungan dengan pemuka-pemuka Indonesia yang dikenalinya dengan maksud untuk berpihak pada Belanda. Kehadiran pasukan Belanda yang membonceng Sekutu dan giat melakukan aksi provokasi dan agresi menimbulkan berbagai konflik di Jakarta. Kontak fisik dan perkelahian bersenjata terjadi hampir setiap hari.
Pada 27 September 1945 Van der Plas dipanggil oleh Laksamana Mountbatten di Singapura untuk mengadakan pembicaraan. Pada pertemuan itu, hadir pula Menteri Pertahanan Inggris, Lawson. Sebelumnya perwira-perwira intelijen Sekutu yang sedang bertugas dibawah pimpinan Letnan Kolonel Van der Post, telah menasehati pada Mountbatten agar Sekutu mengadakan pembicaraan dengan pihak Republik, terutama Soekarno-Hatta tanpa mempersoalkan pengakuan siapa yang memegang pemerintahan secara sah di Indonesia.
Pada pembicaraan itu memaksa Van der Plas membatalkan pihak Belanda menangkap Soekarno-Hatta dengan bantuan Laksamana Patterson. Selain itu Van der Plas juga gagal membujuk dan menarik kaum intelektual Indonesia berpihak pada Belanda.
Suatu peristiwa di akhir September 1945 terjadi ketika Van der Plas mengadakan pertemuan dengan para pejuang gerakan bawah tanah anti-Jepang di kediaman nyonya Sujono, isteri mendiang RAA Soejono yang meninggal di London pada 5 Januari 1943. Tetapi sebelum pertemuan dimulai, rumah nyonya Sujono diserbu para pemuda dan mahasiswa, antara lain Soebianto, Soeroto Koento, Bagdja Nitiwirja, Islam Salim dan beberapa mahasiswa kedokteran. Rencana pertemuan itu diketahui oleh Soebadio dan diteruskan kepada para pemuda dan mahasiswa tersebut, sehingga dengan penyerbuan itu pertemuan gagal dan Van der Plas tak berani melanjutkan. Terhadap Indonesia, Inggris juga prihatin dan imbauan serius. Laksamana Patterson menugaskan Let-kol Laurence van der Post untuk menyampaikan kepada Soekarno-Hatta keprihatinannya terhadap keamanan dan ketertiban di Jakarta. Adanya kekacauan akan mempengaruhi citra yang baik terhadap dunia luar, sehingga Indonesia akan kehilangan simpati dunia.
Mulanya Laksamana Mountbatten tidak ingin mengikut sertakan pasukan Belanda pada pendaratan di Jawa dan Sumatra untuk mencegah konflik dengan dengan barisan Republik yang dapat mengacaukan keadaan. Tetapi Van Mook berjanji akan menemui pemimpin-pemimpin republik –walau pemerintah Den Haag melarang van Mook melakukannya.
Untuk itu SEAC mengikut sertakan satu batalyon NICA terdiri dari turunan Ambon, Menado, Indo dan sejumlah kecil orang Belanda yang menetap di Indonesia. Tetapi batalyon ini pun ditarik Mountbatten karena kedapatan tidak mengikuti disiplin aturan Inggris di Indonesia. Untuk itu Mountbatten mengeluarkan surat perintah menarik semua pasukan Belanda pada 17 Oktober 1945 dan di tempatkan di Semenanjung Malaya.
Kebijakan Mountbatten dikecam oleh Belanda, tetapi Mountbatten tidak ingin mengambil risiko, karena Belanda di benci oleh penduduk. Selain dilandasi oleh militansi nasionalisme, kebencian juga terjadi karena Belanda di masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tidak gigih membela, bahkan terlalu mudah menyerah ketika diserbu oleh Jepang tanpa perlawanan. Sebaliknya, pihak Belanda tidak senang terhadap Inggris ketika Jendral Philip Christison di wawancara Kantor Berita “Reuters” di Singapura yang mengatakan tidak mengganggu pemerintahan Republik Indonesia yang sudah terbentuk, baik di luar maupun wilayah pendudukan pasukan Inggris.
Pada 29 September Jendral Christison mengatakan: "Pasukan Inggris dan India-Inggris tak ingin terlibat dalam konflik politik intern antara Belanda dengan Indonesia. Kami juga ingin tidak mengenyampingkan kedaulatan pemerintahan Indonesia yang sudah terbentuk. Untuk itu Pasukan Inggris tidak menyertakan pasukan Belanda." Pernyataan ini dilakukan pihak SEAC karena pemimpin-pemimpin Indonesia menolak kehadiran pasukan-pasukan Belanda." Dalam pernyataan itu, Jendral Christison mengatakan bahwa ia merencanakan akan mempertemukan pihak Belanda dengan Indonesia dalam suatu pertemuan khusus.
Pernyataan Christison yang menjadi berita utama media cetak dan siaran radio menimbulkan reaksi keras pemerintahan Den Haag. Pihak pemerintah Belanda menolak gagasan Christison, karena bila itu terjadi, berarti mengakui "pemerintahan boneka Jepang."
Pada 30 September, van Mook mengirim kawat kepada Laksamana Louis Mountbatten mempertanyakan mengenai pernyataan Christison. Untuk meredakan keadaan, Mountbatten menyuruh Christison meralat dengan pernyataan baru. Isi ralat itu mengatakan: A). SEAC hanya mengakui pemerintahan NEI; B). Pasukan Belanda tidak di ikut sertakan karena belum siap, dan boleh ikut bila sudah terkumpul; C). Panglima AFNEI (Christison) akan menempatkan perwakilannya di Batavia dan D). Perwakilan Belanda di Batavia, Van der Plas mengatakan kepada SEAC akan menemui pemimpin-pemimpin Indonesia.
Mulanya Christison membantah keterangannya dan mengatakan bahwa wartawan “Reuters” itu salah mengutip. Yang benar menurutnya adalah bahwa ia tidak meminta pemerintah Indonesia melayani pasukannya sebagai tamu dan mengatakan bahwa Inggris tidak ingin mencampuri politik di Indonesia. Keadaan berbalik ketika Christison dengan resmi meralat ucapannya hingga menguntungkan posisi Belanda menggunakan SEAC menyudutkan Indonesia. Juga memungkinkan bagi Letnan-Gubernur Jendral H J van Mook sebagai kepala pemerintahan NEI berada di Jakarta yang tiba pada 2 Oktober dari Brisbane. Bahkan Laksamana Helfrich dan Jendral van Oyen sebagai perwira-perwira tinggi KNIL tiba di Jakarta pada 1 Oktober bersama sejumlah perwira staf mendirikan Markas Gabungan militer Belanda.
Helfrich bertindak sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Wilayah Timur, van Oyen menjadi Panglima AD, Laksamana Muda P. Koenraad Helfrich sebagai Panglima Angkatan Laut, Mayor Jendral J H Uhl sebagai Kepala Staf KNIL, Kapten Laut J J Willinge menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, Mayor Jendral W Schilling sebagai Panglima Jawa Barat dan Kolonel Hein Spoor menjabat Direktur NEFIS. Belanda mencurigai Inggris telah berpihak pada Republik. Hal ini timbul ketika van Mook meneliti catatan kalangan media yang meliput Christison 29 September 1945 lalu. Ia mendapati ucapan Christison salah kutip dan mengadu kepada Logemann di Den Haag.
Pada 1 Oktober 1945, Soekarno-Hatta mengirim pesan kepada Panglima SEAC. Pesan itu berbunyi: "Kita tidak meminta Pasukan Sekutu mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Yang kami inginkan, hormatilah kami sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki pemerintahan. Sekarang ini bangsa Indonesia berada dalam posisi mempertahankan kemerdekaan, sementara Belanda melakukan aksi propaganda melalui Radio Australia yang mengancam kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali berkuasa.”
Pesan itu menanggapi pernyataan NICA yang disiarkan melalui Radio Australia yang mengancam akan menindak para pelaku terhadap bekas jajahan yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda yang ingin dikuasai kembali.
Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mengemukakan bila ingin menenteramkan keadaan, pihak SEAC secara psikologis harus memahami aspirasi rakyat Indonesia yang akan mempertahankan kemerdekaannya. Pernyataan NICA yang dikaitkan dengan pendaratan SEAC menimbulkan kecurigaan kalangan pemimpin-pemimpin Republik. Pendaratan itu berarti memberi peluang pasukan Belanda memasuki wilayah Indonesia untuk berkuasa kembali. Soekarno-Hatta memperingatkan: "Untuk menenteramkan keadaan, jangan menghalangi aspirasi rakyat bila tidak ingin menerima konsekwensinya."
Pendaratan pasukan sekutu di sambut dingin oleh pemuka-pemuka Republik dan masyarakat setempat. Sekalipun Pasukan Inggris dan India bebas berkeliaran di kota, tetapi tidak demikian dengan pasukan NICA Belanda yang menjadi mangsa perkelahian dari kalangan pemuda yang membenci Belanda. Padahal pendaratan baru berlangsung tiga hari, tetapi pasukan Belanda hanya berada di pelabuhan Tanjung Priok dan di pangkalan militer Cillitan (kini Halim Perdana Kusumah) di jaga ketat agar tidak menjadi korban hantaman kalangan "ekstrimis" seperti yang di alami pasukan sekutu bekas tawanan Jepang yang telah bebas, tetapi menjadi korban pengeroyokan perkelahian jalanan. Pernyataan pihak NICA ingin melakukan alih pemerintah melalui siaran Radio Australia ternyata menjadi sumber ketegangan bagi pasukan sekutu sejak mengadakan pendaratan pada minggu pertama di Jawa dan Sumatra. Disamping itu, pengucilan terhadap Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta oleh sekutu dan tidak dihormatinya Indonesia sebagai bangsa juga menjadi penyebab hingga Sekutu tidak merasa aman.
Suasana ketegangan dilaporkan Jendral Phillip Christison kepada Panglima SEAC, Laksamana Louis Mountbatten pada 4 Oktober 1945. Christison mengatakan: "Setelah cetusan proklamasi kemerdekaan, situasi Indonesia sudah berubah. Bahkan tentara Jepang tidak dapat mengendalikan. (pemerimtah) Belanda boleh bersikap reaktif, tetapi pasukan kami di lapangan yang berhadapan langsung dengan semangat militansi tinggi dari pemuda. Hal ini sangat membahayakan bagi keselamatan pasukan sekutu dan pengungsi-pengungsi awam bekas tawanan Jepang.”
Pada bagian lain Christison menggaris bawahi: "Sebaiknya van Mook pergi ke Negeri Belanda dan menjelaskan kepada pemerintah Den Haag mengenai situasi dan perkembangan sebenarnya dan bersikap realistis untuk menerima kenyataan, bahwa cetusan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah murni dan sama sekali tidak didukung Jepang. Harus di akui bahwa yang memimpin sekarang adalah pemerintahan Soekarno. Kenyataan ini mengejutkan orang-orang (pasukan) Belanda sendiri, hingga sukar bagi kami menghadapi mereka ini yang ibarat burung onta menyembunyikan kepala di pasir karena tidak mau melihat kenyataan. Sebaiknya pihak pemerintah Belanda memberi arahan kepada van Mook agar Belanda merubah sikap terhadap Indonesia. Masih ada kesempatan bila (pemerintah) mau mengakui kenyataan ini. Dengan demikian akan menempatkannya berjiwa besar di mata dunia internasional. Selain meningkatkan citra Belanda dengan mau mengakui kedaulatan pada bekas jajahannya juga terjalin hubungan dan kerja-sama yang baik dengan bangsa Indonesia."
Sebelumnya, himbuan agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia juga disampaikan oleh Laksamana Mountbatten dalam suratnya tanggal 28 September kepada van Mook. Lagi pula perubahan sikap kerajaan Belanda terhadap bekas jajahannya, Hindia-Belanda sudah disampaikan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidato radio 6 Desember 1942 masa peperangan di tempat pengasingan. Pada pidato itu, Ratu menjanjikan setelah usai perang, pihaknya akan membentuk system persekemamuran terhadap Indonesia, Suriname dan Curacao. Dua terakhir ini adalah jajahan Belanda di Hindia Barat. Mountbatten berpendapat, sebaiknya pidato Ratu mengenai Wilhelmina kemerdekaan terhadap bekas jajahannya disebar luaskan di Indonesia.
Mountbatten mengatakan: "Andaikan masyarakat memperoleh penjelasan kearah perbaikan yang dilakukan pemerintah Belanda; Andaikan (pemerintah Belanda) menyadari, akan sia-sia saja membendung perjuangan kemerdekaan, dan sebaiknya secara bertahap mewujudkan perdamaian; Andaikan keberadaan mereka di akui untuk menentukan nasib sendiri, mereka dengan sepenuh hati akan membuka diri dan dengan tangan terbuka menjalin hubungan kerja-sama, yang dengan begitu akan mengakhiri kemelut di Indonesia, seperti halnya (yang di lakukan Inggris di Burma)."
Tetapi himbauan Mountbatten maupun Christison mengenai masa depan Indonesia tidak ditanggapi pemerintahan Schermerhorn. Sedangkan Mountbatten mengkwatirkan akan mempengaruhi usaha SEAC melakukan untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan menyelamatkan sekitar 100.000 prajurit sekutu bekas tahanan Jepang di kamp-kamp tawanan di Jawa dan Sumatra yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada 28 September Mountbatten menyarankan Van der Plas agar menghubungi van Mook untuk mau menemui pemimpin-pemimpin Indonesia termasuk Soekarno. Saran Mountbatten diketahui Perdana Menteri Schermerhorn dan langsung memveto. Ia melarang van Mook melakukan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia, karena akan memberi peluang konsesi. Menurut Schermerhorn, perundingan dapat dilakukan bila pemimpin-pemimpin Indonesia mau mengakui bahwa Indonesia berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda yang berhak menertibkan keadaan. Untuk memperoleh kekuasaan di Indonesia, pemerintahan Schermerhorn mendesak Panglima SEAC menangkap Bung Karno dan beberapa anggota kabinet lainnya dengan tuduhan sebagai "Penjahat Perang" dan harus ditahan di kapal perang, dengan demikian akan menggusur pemerintahan republik
Reaksi Dwi-tunggal Soekarno-Hatta
Jakarta, 1 Oktober 1945. Hari itu, Soekarno-Hatta mengirim surat bersama kepada Laksamana Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk wilayah Timur Jauh (Supreme Commander of the Far Eastern Region) di Kolombo meminta perhatian bersangkutan tentang perkembangan di Indonesia sejak 1942. Surat ini memuat penilaian tentang masa yang dihadapi, dan oleh sebab itu baik juga bila dirujuk secara agak rinci. Proklamasi Kemerdekaan serta perkembangan sesudahnya, kata kedua pemimpin negara baru ini, telah memantapkan kedudukan Republik Indonesia di dalam negeri.
Surat tersebut juga meminta perhatian Sekutu tentang psikologi bangsa Indonesia yang ingin merdeka dean ingin mempertahankannya, serta di pihak lain keinginan pihak Belanda untuk kembali berkuasa. “Kami tidak meminta tentara Sekutu untuk mengakui Republik Indonesia. Kami hanya meminta Anda untuk mengakui kenyataan, yaitu bahwa bagi perasaan rakyat suatu Tepublik Indonesia dengan pemerintahnya telah berdiri. Seluruh pegawai pemerintah serta semua penduduk (Indonesia) siap sedia dalam membantu Tentara Sekutu untuk untuk menjaga ketertiban umum asalkan mereka (penduduk) tidak dilukai perasaannya.” (Dari Dokumentasi Mohammad Hatta).
Yang dimaksud dengan “melukai perasaan,” bila tentara Sekutu tak menghargai hasrat bangsa Indonesia ingin hidup merdeka. pengertian itu bersifat politik. Surat itu menekankan peranan KNIP sebagai lembaga demokrasi yang menjamin ketertiban umum. Surat ini juga berisi kekecewaan Soekarno-Hatta sehubungan dengan siaran radio Belanda yang dipancarkan dari Australia yang mengatakan bahwa pihak NICA akan mengambil alih pemerintahan di Indonesia. “Dengan ini,” sambung surat ini, “timbul kecurigaan rakyat bahwa Belanda ingin kembali sebagai rezim penjajah. Bangsa Indonesia bukannya membenci bangsa Belanda, melainkan membenci pejajah.”
Menurut Soekarno-Hatta, siaran radio itu telah menimbulkan sikap sombong orang-orang Indo. Mereka berbuat sejalan dengan sikap ini. Disamping itu tersiar pula kabar bahwa orang-orang Indo ini akan membunuh para pemimpin Indonesia. Dengan berangsur-angsur banyak orang-orang Indo dipersenjatai Belanda dan melakukan aksi terror siberbagai tempat yang diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Semua ini, kata Dwi-Tunggal telah menimbulkan kegelisahan di kalangan pemuda. Soekarno-Hatta juga menekankan dengan tegas menolak kedatangan tentara Belanda serta pengibaran bendera Belanda di Indonesia. Isi surat itu juga meminta perhatian keadaan keuangan karena kedatangan Tentara Sekutu beredar dua macam uang: uang Jepang dan uang yang dikeluarkan oleh Javasche Bank (Bank Sirkulasi Hindia-Belanda, cikal bakal Bank Indonesia).
Pada 8 Oktober, Hatta mengirim suatu memorandum kepada Brigadir-Jendral R C M King, komandan Sekutu di Jakarta. Ia merujuk pada pembicaraan antara Tentara Sekutu dengan Presiden Soekarno “baru-baru ini” dan menekankan bahwa ketidak tertiban telah muncul karena tindakan yang dilancarkan oleh orang-orang, apalagi orang Indo, berupa perampokan. Hatta mengemukakan bahwa tindakan serdadu dan marinir Belanda lebih jauh lagi: kendaraan polisi Indonesia dan beberapa pejabat Republik “disita dengan todongan tommy-gun.” Wakil Presiden ini menuntut Tentara Sekutu agar mengembalikan kendaraan-kendaraan tersebut. Hatta menutup suat ini dengan suatu saran: Dapatkah saya juga menyarankan –oleh karena Anda telah menghimbau orang-orang Indonesia untuk membantu dalam menjaga huku dan ketertiban- agar anda memberitahu kami tentang tindakan apapun yang Anda akan ambil dalam hubungan dengan usaha menjaga keteteraman umum ini?”
Suatu pernyataan bersama dari pihak Sekutu dengan Presiden Soekarno tentang hal ini, kata Hatta, ataupun pengeluaran pernyataan secara sendiri-sendiri tetapi pada waktu yang sama, akan membantu menghilangkan keresahan dan akan membuat kerja kita mudah dan menyenangkan. Mungkin karena Brigadir Jendral King mengatakan kepada Hatta (dalam suratnya tanggal 9 Oktober 1945) bahwa surat Hatta telah diteruskan kepada atasannya. Hatta menulis lagi surat tersebut kepada “atasan” tadi, Letnan Jendral Sir Philip Christison. Dalam surat ini Hatta mengemukakan kekecewaannya karena pernyataan Christison bahwa tentara Belanda tidak akan turut mendarat bersama tentara Sekutu, ternyata tidak benar. Sebaliknya yang terjadi, mereka benar-benar mendarat. Menurut Hatta, malah NICA mempergunakan bekas tahanan perang sebagai tentara –dan puluhan ribu tentara Belanda, menurut siaran radio akan datang dari Inggris, Amerika serta negeri Belanda sendiri.
Hatta menunjuk pada pernyatan Christison sebelumnya tentang netralitas Sekutu dalam soal politik di Indonesia. Tetapi tanpa perlindungan tentara Inggris, Hatta kecam, “tak seorang serdadu Belandapun boleh mendarat di Jawa.”
Hatta juga mengemukakan bahwa tentara Belanda itu telah bertindak dengan kekerasan terhadap orang Indonesia, tampaknya dengan perlindungan Inggris. Hattapun mengatakan: “Saya sungguh-sungguh meminta, agar Anda memberitahukan kami apa sesungguhnya sikap Anda dalam hal ini. Apakah kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsa tertentu di dunia ini?”
Menurut Hatta, pernah tiga hari sebelum ia mengirim surat tersebut, ribuan orang dari luar Jakarta memasuki kota untuk menentang kedatangan tentara Belanda. “Saya sendiri harus pergi ke Bekasi untuk menenteramkan rakyat dan membubarkan mereka, Dan yakinlah bahwa usaha ini sangkat riskan,” kata Hatta.
Hatta menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukan gejala yang ditimbulkan oleh Jepang. Ia akui bahwa pendapat tentang cara pemerintahan negeri di Indonesia tidak satu, namun semuanya menghendaki Indonesia merdeka. Hatta juga mengakui betapa pendudukan Jepang telah menimbulkan kerusakan, tetapi dengan pendudukan itu kemampuan perjuangan serta disiplin telah meningkat. Ia menyebutkan setengah juta orang Indonesia telah terlatih dalam kesatuan-kesatuan PETA, Heiho, dan badan bersenjata lain seperti pembantu polisi. Menurut Hatta, orang-orang Belanda yang telah absen empat tahun dari Indonesia sudah tidak mengenal perubahan negeri ini. Hatta menunjuk pada begitu banyaknya orang-orang penjaja barang dan tukang becak yang menolak melayani orang Belanda dan Indo. Ia menambahkan kemungkinan pemogokan oleh para pegawai Indonesia di kantor kantor bila perang dengan Belanda pecah. Hatta mengemukakan betapa di desa desa demokrasi berjalan, dan bahwa juga dalam negara Republik Indonesia demokrasi akan ditegakkan. Oleh sebab itu ia menuntut dari pihak pemerintah Inggris untuk “memperjelas posisi mereka tentang perjuangan Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.”
Untuk menghindarkan pertumpahan darah, Hatta mengemukakan agar: (1) Tidak ada lagi tentara Belanda yang datang ke Indonesia; (2) Semua tentara Belanda keluar dari Indonesia, dan tidak beroperasi dibawah tentara Sekutu; (3) NICA non aktif; (4) Mengakui de facto pemerintah Republik Indonesia; (5) Tentara Sekutu tanpa serdadu Belanda membatasi kegiatan mereka pada maksud ganda semula: membebaskan, merawat dan mengevakuasi tahanan perang Sekutu, serta melucuti senjata Jepang.
Pada surat Hatta kepada Christison itu dilampirkan juga pernyataan Soekarno-Hatta yang lebih ditujukan kedalam. Dikemukakan bahwa pihak Republik Indonesia tidak memberi komentar tentang berbagai siaran Belanda (termasuk protes Belanda kepada pemerintah Inggris di London terhadap pernyataan Christison mengenai maksud ganda tersebut diatas), karena Indonesia “percaya benar-benar pada kekuatan sendiri.” Pernyataan itu juga mengantisipasi perjuangan masa panjang, sungguhpun harapan juga diberikan pada sidang konferensi perdamaian yang akan diadakan.
Hatta juga berkomentar tentang Letnan Gubernur-Jendral Humbertus van Mook yang selama perang Pasifik bermukim di Australia. Hatta menilai bahwa, “van Mook, walau lahir di Indonesia (Semarang), tetapi sama sekali tidak faham akan negeri ini. Ia di Indonesia, tetapi tidak (bagian) daripadanya,” kata Hatta.
Hatta menuduh bahwa Belanda telah menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dan kini melalui van Mook menawarkan otonomi untuk Indonesia. Padahal Indonesia sudah merdeka, tegasnya. Mengenai persekemakmuran antara Indonesia dengan Belanda yang juga ditawarkan oleh van Mook, Hatta berkomentar: “Mengapa kami harus menekukkan lutut kami kepada orang asing?? Van Mook dalam rangka ini merujuk keterangan pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 yang memang menawarkan perubahan status bagi Indonesia sesudah perang berakhir.”
Dalam rangka ini Hatta berharap “terwujudnya sistem persekemakmuran (Commonwealth) antara Belanda, Indonesia, Suriname, Curacao dengan sepenuhnya bergantung pada diri masing-masing dan kebebasan bertindak untuk diri masing-masing mengenai masalah dalam negeri, tetapi dengan kesediaan untuk saling membantu.”
Hatta menilai bahwa Ratu Wilhelmina memang mempunyai maksud baik, tetapi: “Ia tentu ingin mempertahankan luas kerajaannya. Hanya saja sama pula kesungguhan keinginan rakyat Indonesia untuk hidup merdeka, bebas dari bentuk apapun dari dominasi asing. Keinginan merdeka ini sesuai dengan detak jantung sejarah bangsa-bangsa, dan sesuai dengan semua bangsa pada saatnya, mengatur persoalan mereka sendiri.”
Hatta mengecam van Mook dengan NICA-nya mempersenjatai kembali bekas orang-orang tahanan perang, dengan pesawat udara “hilir-mudik” antara Australia-Indonesia yang mengangkut senjata; dengan terror yang dilancarkan di Indonesia oleh pihak Belanda, terror yang “dekat dengan Fasisme dan Naziisme.”
Hatta mengingatkan bahwa revolusi Indonesia bukanlah perang antara ras, melainkan berdasar ideologi cita-cita yang “bersendikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang bertujuan suatu persaudaraan bangsa-bangsa se-dunia.” Akhirnya, Hatta menegaskan hasratnya agar masalah Indonesia diselesaikan dengan damai. Tetapi ini hanya mungkin, katanya, bila disertai perasaan yang bebas dari permusuhan.
Pada pertengahan bulan Oktober, situasi di Jakarta kian tegang, pasukan sekutu Inggris mulai di teror oleh intimidasi oleh pasukan Belanda. Bahkan pasukan Belanda sering melakukan aksi "trigger-happy" menteror, tetapi mengkambing hitamkan para pemuda republik sebagai pelaku.
Untuk memperoleh jaminan dalam melakukan tugas SEAC, Mountbatten mengutus penasehat politiknya, Maberly E Dening yang juga mewakili pemerintahan PM Clement Attlee dan Menteri Luar Negeri Ernest Bevin dari Inggris ke Jakarta guna menemui Soekarno-Hatta. Dening tiba di Jakarta pada 20 Oktober di dampingi Konsul-Jendral HFC Walsh menemui dwi-tunggal Soekarno Hatta. Pada pertemuan itu Soekarno-Hatta dengan tegas menolak kehadiran pasukan Belanda: "Kami tak keberatan dengan Inggris atau Amerika. Tetapi sama sekali tidak dengan Belanda, karena kami sudah lama mengenal cara Belanda (melakukan kolonialisme)." Misi Dening gagal total untuk mempengaruhi Soekarno-Hatta agar memberi izin Belanda di ikut sertakan dalam misi SEAC.
Sementara Duta Besar Inggris di Belanda, Neville Bland menemui Perdana Menteri Willem Schermerhorn dan berusaha mendesak agar meluweskan sikap terhadap Soekarno untuk mencegah timbulnya konflik berdarah kedua belah pihak di Indonesia, tetapi Schermerhorn menjawab bahwa konflik ini tidak mudah diatasi karena akan menimbulkan kemelut didalam negeri mengancam posisi pemerintahan Partij van den Arbeid dibawah kepemimpinannya. Schermerhorn dihadapkan pada publik yang mempertanyakan mengenai nasib dan keselamatan warga-warga Belanda di Indonesia yang menderita sejak pendudukan Jepang dan kini terancam oleh tindakan emosional kalangan "ekstrimis" anti-Belanda. Usulan Bland menjadi pembahasan dalam sidang Kabinet pada sore harinya tetap menolak van Mook menemui Soekarno.Berita penolakan pihak kabinet Belanda terhadap Bung Karno diperoleh Konsul Jendral Walsh di Jakarta dengan sedih.
Ia sempat mengecam keputusan ini dengan ucapan: "Pihak Den Haag benar-benar tidak mau memahami situasi dan sama sekali tidak memikirkan nasib pasukan Inggris dan Belanda yang belum berpengalaman melakukan misi RAPWI. Belanda masih saja ingin menguasai (Indonesia)."
Tidak tercapainya penyelesaian Den Haag dengan Jakarta hingga konflik antara sekutu dengan para pemuda pendukung kemerdekaan RI tidak terhindar. Konflik berdarah terjadi di Surabaya antara pasukan Inggris dengan Tentara Keamanan Rakyat pada 10 November merupakan salah satu peristiwa dahsyat di antara pertikaian lainnya di Indonesia.
Masuknya RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees -Badan Pembebas Tahanan-tahanan Perang), sempat menjadi bahan ejekan. Misalnya Willy Pesik, pemuka Badan Perjuangan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jakarta, menyebutnya (Rescue all pretty women immediately), karena dinilai tidak menjalankan fungsinya karena Inggris tidak dapat mengendalikan keonaran yang dilakukan pasukan Belanda untuk meraih supremasinya di Jawa.
Dilain pihak, pimpinan Republik Indonesia belum dapat mengatasi berbagai ekses karena bentuk pemerintahan masih baru merdeka. Faktor ini hingga melemahkan posisinya untuk mengawasi badan Sosial RAPWI disalah gnakan oleh Belanda dengan memasukkan agen-agennya di Indonesia. Pegawai-pegawai NICA dan tentara KNIL dimasukkan sebagai pekerja-pekerja Rapwi, sehingga masuk dengan leluasa. Pemerintah Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Tanjung Priok (pelabuhan) dan pangkalan udara militer di Cililitan seluruhnya berada di bawah kekuasaan sekutu hingga Belanda dengan kekuatan KNIL bebas masuk dan segera membentuk pemerintahan administrasi NICA yang berperan sebagai pendukung kekuasaan.
Jendral Christison naik pitam karena pasukan Belanda sering melanggar aturan disiplin hingga melarang mereka bertugas dan ditempatkan sebagai cadangan. Tindakan ini kemudian diperkuat dengan instruksi Mountbatten pada 17 Oktober menarik semua personal pasukan Belanda keluar Jawa dan ditempatkan di Malaya. Bahkan Christison juga tidak menyenangi Jendral van Oyen yang dikecam karena tak memperlihatkan sikap kerja-sama dan tak dapat mengendalikan pasukan-pasukan Belanda hingga memperbesar api kemelut di Jawa. Bahkan Inggris menjadi korban dari pertikaian antara Belanda yang berusaha berkuasa kembali, menghadapi para laskar Rakyat mempertahankan proklamasi hingga Indonesia dilanda Revolusi Perang Kemerdekaan. Dampak buruk juga dilakukan serdadu-serdadu turunan Indonesia yang pada permulaan perang dunia II dibawa Belanda mengungsi ke Australia, yang umumnya turunan Ambon, Manado dan orang-orang Indonesia Timur lainnya turut datang kembali. Setiba di Indonesia, yang pertama mereka lakukan mencari keluarga yang ditinggalkan. Kedatangan mereka menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan tetangga masyarakat kampung yang berada dalam kondisi sosial-ekonomi parah masa Jepang. Umumnya orang-orang Minahasa dan Ambon, fasih berbahasa Belanda dan mudah menyesuaikan pola Barat, Tetapi kalangan ekstrim fanatik di jadikan bukti, bahwa turunan suku Minahasa dan Ambon berusaha memulihkan penjajahan di Indonesia hingga diganggu. Tidak terkecuali asrama-asrama di Tanjung Oost dan Tanjung West. Dengan cara itulah mereka hendak melampiaskan kepengecutannya, karena itulah mereka menuduh wanita-wanita dan anak-anak, merampok barang-barang yang mereka miliki, sekalipun yang dimiliki hanya sedikit saja, sekedar menunjukkan "kesetiaan" pada Kemerdekaan.
Rapwi yang berpakaian Sekutu menolong tahanan perang. Tetapi disalah gunakan oleh Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan menggunakan RAPWI sebagai batu loncatan kekuasaan Belanda di Indonesia. Berbagai tempat-tempat strategis yang dikuasai sekutu mulanya berkibar bendera Palang Merah, berganti dengan bendera Merah Putih Biru. Jendral Christison tak senang, karena akan memancing konfrontasi dengan pemuda. Sedang Inggris tak ingin di libatkan dalam konfrontasi politik antara Belanda dengan Republik
Foto: Jepang menyerah: .Di Jakarta, Letnan Jenderal Yuichiro Nagono, Panglima Angkatan Bersenjata Jepang di Indonesia menyerah pada sekutu, kepada Mayor Jenderal D.C. Hawthorn , Jendral Yuichiro juga menyerahkan samurainya pada 14 November 1945 . Pendaratan pasukan Sekutu Inggris di Jakarta. Parade Show of Force Inggris di Jakarta.
Sumber : Harry Kawilarang
0 komentar:
Posting Komentar