Kaki Gunung Soputan

Para Pejuang / Pemerhati Budaya Minaesa-Minahasa Land bersama dengan Tonaas Suku Tonsawang.

Wa'i Lesung i Nawo / Ratu Oki

Lesung ini merupakan sebagai Identitas anak Suku Tonsawang / Toundanouw.

Sumur Abur

Salah satu situs Budaya yang berada di Suku Tonsawang / Toundanouw.

Selasa, 30 Desember 2014

Pendapat Umum Tentang Asal Usul Orang-orang Minahasa Part 3

Lanjutan dari Part 2..... Ok langsung aja...!!!


Adapun kepercayaan pada masa Pra sejarah sebenarnya tidaklah berbeda dengan kepercayaan pada masa bercocok tanam yakni kepercayaan yang berintikan penghormatan dan pemujaan Roh Leluhur. Usaha untuk tetap memelihara hubungan dengan mereka yang telah meninggal dunia, merupakan ciri khusus dari upacara-upacara kepercayaan ini. Jika terdapat perbedaan dengan upacara bercocok tanam, hal itu hanyalah dalam bentuk lahir saja. Kemakmuran yang semakin besar mungkin menyebabkan upacara-upacara itu menjadi lebih mewah dan lebih rumit. Benda-benda upacara yang digunakan lebih banyak dan lebih indah terbuat dari perunggu. Selain hal-hal tersebut diatas besar pula kemungkinan terjadi perluasan upacara. Jika pada masa bercocok tanam hubungan antara penghuni daerah pegunungan dengan daerah pantai masih sangat jarang, maka dengan meningkatnya perdagangan pada zaman perundagian (masa akhir prasejarah di indonesia.menurut R.P.Soejono), hubungan demikian tentu lebih sering terjadi. bahkan kemungkinan bahwa ada masyarakat yang terjadi dari penduduk daerah pesisir dan penduduk daerah pegunungan. Walupun antara kedua kelompok dalam masyarakat ini tentunya masih terdapat beberapa perbedaan, tetapi karena merasa dirinya bagian dari satu masyarakat, banyak pula nilai-nilai dan norma-norma yang diakui bersama. Maka upacara-upacara yang pada umumnya dilakukan dipegunungan didaerah pedalaman, juga disertai penduduk daerah pesisir. Demikian pula sebaliknya, sebagai bangsa yang telah lama biasa mengarungi lautan, maka lautanpun pasti memegang peranan penting dalam kepercayaan masa itu. Disamping upacara-upacara Pemujaan Leluhur yang dilakukan ditempat-tempat berundak batu, juga ada upacara-upacara dilaut. Baik upacara yang berhubungan dengan kehidupan nelayan maupun upacara yang berhubungan dengan pelayaran.
Kepercayaan pada masa pra sejarah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti masih dapat kita lihat pada masyarakat sederhana di zaman sekarang, maka pengaturan masyarakat di dasarkan pada kepercayaan setiap tindakan atau peristiwa penting selalu didahului atau disertai upacara untuk mohon restu pada Roh para leluhur. Juga dalam menghukum suatu pelanggaran terhadap aturan masyarakat Roh para leluhur diminta menjadi saksi. Perhubungan dengan para leluhur dilakukan perantaraan orang-orang tertentu, mereka adalah orang-orang yang penting kedudukannya dalam masyarakat. (Hal ini akan saya diuraikan dalam postingan saya selanjutnya).

Akan tetapi sebelum saya memposting lebih lanjut tentang kepercayaan Nenek Moyang orang-orang Minahasa Purba, barang kali ada gunanya untuk mendahului tentang uraian konsep kebudayaan khususnya konsep kepercayaan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, karena hal ini ada kaitannya dengan kehidupan suku-suku di Minahasa. Dari cara orang menguburkan mayat, para sejarawan purba menarik kesimpulan bahwa pada masa itu orang sudah mempunyai anggapan tertentu mengenai kematian, dan sehubungan dengan hal itu juga mengenai apa yang terjadi dengan seseorang setelah ia mati.

Sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan, sebelum masa perundagian sebagaimana disebutkan diatas, orang mempunyai anggapan bahwa "hidup" tidak berhenti setelah seseorang mati. Orang yang mati dianggap pergi kesuatu tempat lain, keadaan tempat tersebut dianggap lebih baik dari pada dunia ini. selain itu, orang percaya bahwa orang didunia masih dapat dihubungi oleh mereka yang telah berada didunia lain. Bahkan jika yang meninggal itu orang yang berpengaruh atau orang yang ber"ilmu", maka harus diusahakan agar ia masih sudih berhubungan dengan dunia kehidupan untuk diminta nasehatnya, atau perlindungannya jika terjadi kesulitan. Inti kepercayaan seperti ini berkembang terutama dari zaman ke zaman. Bentuk lahir dari kepercayaan itu berbeda-beda, tetapi intinya sama. Penghormatan dan pemujaan terhadap roh seseorang yang telah meninggal adalah suatu kepercayaan yang terdapat diseluruh dunia, terutama penghormatan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang, baik itu nenek moyang satu keluarga maupun satu kampung.

Di Indonesia terdapat banyak peninggalan yang menunjukkan bahwa disinipun zaman prasejarah berkembang kepercayaan dengan inti yang sama. Di berbagai tempat ditemukan tempat-tempat yang dianggap keramat dimana terdapat batu-batu besar yang telah disusun pada zaman pra sejarah. Susunan batu-batu itu terdapat dalam berbagai bentuk dan disebut bangunan Megalit. Sebagian dari bangunan megalit berasal dari masa bercocok tanam dan sebagian lagi berasal dari zaman perundagian. Ada diantaranya yang berupa kubur batu, dan dalam kuburan-kuburan itu terdapat bekal kubur, yaitu benda-benda yang dibawakan kepada si mati waktu ia diturunkan ke kubur. Bekali itu dimaksudkan sebagai bekal selama perjalanan menuju ke alam "Sana" dan juga untuk bekal selama masa-masa permulaan berada di alam "sana". Sebagian dari bangunan Megalit ada pula yang berupa tempat untuk mengadakan hubungan dengan roh-roh tertentu, ditempat tersebut diadakan berbagai upacara khusus, diadakan korban hewan dan sajian-sajian lainnya.

Sebagian besar bangunan megalit terdapat di tempat-tempat yang ketinggian, misalnya di bukit, dilereng gunung dan tempat-tempat lain yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya, keadaan ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa tempat roh-roh adalah disuatu tempat yang tinggi. Oleh karena itu pula maka gunung-gunung pada umumnya dianggap keramat. Lebih-lebih gunung api yang masih bekerja, jika karena sesuatu hal tidak mungkin menempatkan kubur diatas sebuah bukit atau gunung, maka mayat diletakkan sedemikian rupa sehingga kepalanya mengarah kegunung atau tempat ketinggian yang dianggap keramat.

Untuk mengetahui konsep kepercayaan orang Indonesia di zaman pra sejarah, para ahli telah meneliti berbagai bangunan megalit dan kuburan pra sejarah, ternyata bahwa di Indonesia pernah terdapat berbagai adat penguburan, mungkin tiap masa perkembangan budaya mempunyai adat penguburannya sendiri. Mungkin juga terdapat berbagai adat penguburan yang berasal dari luar indonesia dan memasuki kepulauan Indonesia, karena di bawa oleh suku-suku bangsa yang berasal dari luar Indonesia dan kemudian menetap disini pada zaman pra sejarah. Mengenai hal itu masih terus diadakan usaha penelitian-penelitian, tetapi apapun hasil penelitian itu kelak, sudah jelas bagi kita bahwa masyarakat zaman prasejarah adalah masyarakat dimana kepercayaan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini jelas dari bangunan-bangunan megalit itu, bangunan-bangunan demikian tidak dibangun sembarang, tetapi tempat untuk mendirikannya dipilih dan pembangunannya tentu memerlukan pengarahan secara khusus. Dengan masuknya agama Kristen dan Islam berbagai bentuk upacara adat penguburan lama telah banyak yang tidak dilakukan. Tetapi dikalangan mereka sering masih dienal cerita-cerita yang mengisahkan zaman mereka memeluk agama-agama tersebut. Cerita-cerita itu sangat penting untuk mengerti kepercayaan zaman pra sejarah Indonesia dan bahkan kepercayaan orang-orang Minahasa pada khususnya.

Pendapat Umum Tentang Asal Usul Orang-Orang Minahasa Part 2

Didalam zaman sesudah Mesolithicum, yakni di zaman Neolithicum (Sekitar 8000-2000 SM), masyarakat telah berpendapat tinggal tetap. Pertanian, Peternakan, Pembikinan Tembikar, Pengairan, Pertenunan, dll, telah dilakukan sehingga zaman ini merupakan zaman revolusi didalam dunia manusia. Manusia mulai mendapatkan rasa dan keadaan seperti manusia. Kalau pada zaman Palaeolithicum masih merupakan masyarakat pengumpul makanan, maka pada zaman Neolithicum ini telah menjadi masyarakat yang berproduksi makanan, artinya mereka tidak tunduk kepada alam lagi, akan tetapi justru telah menundukkan alam. Makanan yang mereka butuhkan, tidak mereka cari dengan cara mengumpulkan lagi, akan tetapi justru telah didapatkannya dengan cara memproduksi; jadi alam dipaksanya untuk menghasilkan makanan tersebut. Karena itulah, maka pertanian telah mereka kenal. 

Beliung Lonjong
Beliung Persegi
Akibat dari adanya pertanian, maka kepandaian yang lain seperti peternakan, pengairan, pembuatan benda-benda tembikar dan lain-lain itu mulai dimilikinya pula. Artefak-artefak/Artifact (Merupakan benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah) dari zaman ini ada 2 macam ; yakni beliung persegi dan beliung lonjong. Dari alat-alat ini dapat diketahui, bahwa pada zaman Neolithicum, Indonesia pada umumnya dan Minahasa pada khususnya, kedatangan manusia baru dari Asia.

R.V. HEINE GELDERN
Berdasarkan penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan mengenai artefak-artefak sebagai peninggalan budaya rakyat Indonesia Purba, Pra-sejarawan bernama ROBERT VON HEINE GELDERN (dalam bukunya R.V. Heine Gelderen,"Pre-historic research, in Nederland In-dies" Science and Scientific on Nederland-Indies, N.Y. 1945), menerangkan sebagai berikut ;

Pada Tahun 2000 SM yang bersamaan dengan zaman Neolithicum, dan pada kira-kira tahun 500 SM yang bersamaan dengan zaman budaya perunggu, mengalirlah gelombang pemindahan rakyat-rakyat dari Asia ke indonesia. Perpindahan ini memakan waktu yang cukup lama, karena alat-alatnyapun masih sederhana sekali. Pendapat ini didasarkan atas ditemukannya alat-alat berupa beliung dari batu yang berbentuk empat persegi di Indonesia bagian barat seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusatenggara dan Sulawesi bagian Barat. Sedangkan di Asia, beliung seperti ini ditemukan di Siam, Malaka, Burma, Vietnam, Kamboja ; Daerah Beliung persegi yang paling utama adalah Yunan di China Selatan yakni suatu tempat pertemuan sungai-sungai Salween, Mekkong, dan Irawadi.

Seterusnya, perpindahan gelombang kedua terjadi bersamaan dengan zaman Perunggu yakni kira-kira pada tahun 400-300 SM (Pangkoesmijoto Op-cit hal.24-29). Hasil budaya perunggu yang ditemukan adalah alat-alat beliung sepatu, nekara atau genderang, dll. Dengan ditemukannya alat-alat dari perunggu ini, yang sebagian besar dihiasi dengan mewah, maka Heine Geldern menarik kesimpulan lagi, bahwa asal rakyat-rakyat pembawa budaya perunggu itu adalah daerah yang terkenal dengan nama Dong Son. Karena itulah maka budaya perunggu Indonesia itu juga disebut dengan budaya Dong Son. Nekara yang ditemukan di Indonesia ini ada yang mempunyai ukuran yang besar dan ada yang kecil. Nekara yang ditemukan di Pajeng adalah nekara yang bergaris tengah 160 cm dan tinggi 198 cm. Indonesia bagian timur juga ditemukan nekara yakni Nusatenggara, Bali, Maluku, Selayar dan Irian Jaya. Di Nusatenggara disebut "MOKO" yang dianggap benda keramat.

Adapun pendukung dari budaya-budaya ini adalah orang Austronesia, dan oleh karena orang Austronesia ini terutama merupakan pendukung budaya beliung persegi, maka kedatangan orang Austronesia yang berasal dari Yunan ke Indonesia itupun terjadi disekitar tahun 2000 SM pula, dan mereka inilah yang menjadi Nenek Moyang bangsa Indonesia itu. Pendapat ini sebenarnya merupakan penguatan dari pendapat Dr. H. Kern (De taalkundige gegevens ter bepaling V.H.Stamland Maleisch Polinesische, Verspreide Geschriften VI, 1913-1928) yang pada tahun 1899 telah mencoba mengupas tentang penentuan daerah asal bangsa Melayu-Polynesia. Oleh karena sarjana ini adalah sarjana bahasa, maka penyelidikannyapun melewati perbandingan bahasa pula. Ia menyelidiki 113 bahasa daerah yang dipergunakan diseluruh Nusantara. Ke-113 bahasa itu dibandingkannya menurut ucapan-ucapan dan hukum-hukum bahasa lainnya, sehingga pada akhirnya H. Kern dapat menetapkan, bahwa bahasa-bahasa tersebut dulunya berasal dari satu rumpun bahasa yang dinamakan Bahasa Austronesia. Adapun perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai akibat terpencarnya tempat tinggal sipemakai setelah mereka itu menyebar keseluruh Nusantara ini, dan setelah terjadi perkembangan didaerahnya masing-masing. Dari kata-kata seperti Padi, Prau, Laut, Kelapa, Liman selat dll, H. Kern berpendapat bahwa orang Austronesia tadi sebelum menyebar, bertempat tinggal disuatu daerah yakni India Belakang, terutama ditempat penemuan sungai-sungai Salween, mekong dan Irawadi.

Dengan melihat zaman-zaman budaya tadi, Sarjana Geldern menetapkan waktu gelombang perpindahan yang membawa budaya-budaya besar ke Indonesia, yakni seperti tersebut diatas tahun 2000 SM bagi gelombang perpindahan yang pertama dan bersamaan dengan zaman Neolithicum, dan tahun 500-300 SM (Heekern, The Bronze Iron S'Gravengahe, Martinus Nijhoff 1958) bagi gelombang perpindahan yang kedua dan bersamaan dengan zaman perunggu. Orang-orang yang merantau dan menduduki pulau-pulau Indonesia dalam gelombang pertama ini ada juga yang pergi lebih jauh misalnya ke Filipina, ke Formosa, ke pulau-pulau yang bertebaran di Irian sampai ke-kepulauan paska di tengah-tengah lautan teduh. Ada pula yang berlayar ke arah Barat, ke kepulauan Andaman, Nikobar, ke Sailan sampai ke Madagaskar. Tentu saja perpindahan bangsa dan tersebarnya dalam daerah yang amat luas itu tidak berlangsung sekali jalan. Perpindahan itu dilakukan berpuak-puak, segelombang-segelombang, dan berlangsung berabad-abad lamanya. Bahkan beberapa ratus tahun SM rupanya masih terjadi perpindahan seperti pendapat Geldern tadi yaitu kira-kira tahun 500-300 SM ke Indonesia.

Bangsa yang datang ke filipina itu kemudian menyebar lagi. Dalam cerita rakyat bangsa Negrito disebut Kuritus dan bangsa Wedda disebut Lawangirung. Bangsa Kuritus sebagian ke Minahasa, tetapi tidak lama keluar lagi, sedangkan yang tinggal melebur dengan bangsa-bangsa pendatang baru. banyak hal-hal yang menunjukkan bahwa Orang Minahasa yang pertama datang melalui Philipina dan Sangir antara lain bahasa-bahasa Minahasa banyak bersamaan dengan bahasa-bahasa Philipina, demikian pula unsur-unsur kebudayaan lama yang bersamaan dan type-type antropologis. Jadi orang-orang yang datang pertama itu terhisab orang-orang Malayu-Tua (Proto-Malayu) dari Indo-Mongoloide seperti juga Orang Dayak, Toraja dan Batak. Setelah itu muncul lagi pendatang-pendatang imigran baru yang disebut Malayu-Muda (Deutro-Malayu) yang menyebar ke Nusantara. sebagian orang-orang pendatang baru masuk ke pulau-pulau Indonesia kira-kira tahun 500-300 SM.

Andaikata hasil penyelidikan tersebut dikaitkan dengan Mythos tentang Lumimu'ut yang dikatakan merupakan Nenek Moyang orang-orang Minahasa, maka kemungkinan sebelum kedatangannya telah datang Karema sebagai pendatang lebih dahulu pada zaman Proto-Malayu tersebut. sedangkan Lumimu'ut termasuk salah seorang yang datang kemudian pada zaman Malayu Muda. Orang-orang yang datang kemudian itu tersebar juga keseluruh kepulauan Indonesia dan menjadi rakyat daerah masing-masing yang sudah tentu lalu memiliki bahasanya sendiri-sendiri, dan rakyat yang tadinya satu itu terpecah-pecah menjadi suku-suku dengan bahasa-bahasa sukunya masing-masing. sehingga dengan demikian, mereka lalu tidak mengerti akan bahasa dari suku lain. Hal sedemikian ini dapat mudah terjadi karena kitapun memaklumi bahwa perhubungan antar suku bangsa dengan daerah-daerah yang tersebar itu, pada waktu itu merupakan rintangan didalam mengadakan pergaulan kembali. Dengan demikian, menurut perkembangan zaman, suku-suku itu lalu membentuk suku-suku dengan bahasanya sendiri.

Orang-orang yang datang ke Minahasa pada zaman Malayu-Muda dan kemudian dari pada itu, juga mengalami proses perkembangan yang demikian pula. dari beberapa rombongan lalu menyebar membentuk kelompok-kelompok. dari keluarga inti kemudian menjadi keluarga besar seketurunan dan karena perkawinan dengan pendatang-pendatang baru lalu menyebar dan akhirnya membentuk kelompok-kelompok manusia yang menjadi suku-suku di Minahasa. Walaupun demikian pendapat-pendapat tadi merupakan kemungkinan-kemungkinan, oleh karena hasil penelitian secara khusus tentang asal-usul orang-orang Minahasa dapat dikatakan masih sangat langkah. Seperti J. SCHWARZ kemukakan dalam bukunya "Tontemboasch Teksten" (J.A.T. Schwarz anak dari J.F. Schwarz, penginjil yang lahir di langowan, menjadi penginjil dan kemudian menjadi pendeta bantu di Sonder) "Tidak ada yang dapat mencari suatu peninggalan dari Suku Minahasa yang boleh menunjukkan bahwa keturunan mereka berasal dari Tiongkok ataupun Jepang". Demikian pula A.L.C. BECKMAN dalam bukunya Insulinde mengatakan "Tiadalah diketahui dari mana asalnya Suku Minahasa, tetapi berbagai keadaan menunjukkan bahwa mereka datangnya dari sebelah Utara". Demikian pula N.GRAAFLAND dalam bukunya De Minahasa 1 mengemukakan bahwa "Diantara penduduk Minahasa kita tak dapat menemukan autochtone....kita hanya dapat mengatakan tentang yang datang terdahulu kemudian dan yang paling akhir". M.B. VAN DER JACGT yang dikutip oleh H.M. TAULU dalam buku De Moluken Reis mengatakan "Kulitnya yang cerah dan matanya yang sipit dari Suku Minahasa, membawa pada pikiran bahwa mereka adalah berasal Jepang". Kemudian F.S. WATUSEKE dalam bukunya Sejarah Minahasa mengatakan bahwa "Sebagian dari Indo-Mongoloide ini datang ke Minahasa melalui Philipina dan merupakan Nenek-Moyang dari Suku-suku Minahasa" (F.S. WATUSEKE, Sejarah Minahasa, Manado, 1968 hal 13).

Menurut 2 orang bersaudara P. SARASIN dan F. SARASIN (H.M. VLEKKE, Geschiedenis van den Indischen Archipel, 1947) yang menyelidiki daerah-daerah pedalaman Sulawesi mengatakan bahwa "Penduduk asli kepulauan Indonesia adalah Ras yang bertubuh kecil dan berkulit kehitam-hitaman yang mendiami seluruh Asia Tenggara, yang adalah suatu daratan yang sangat luas. Pada akhir masa Es, terjadilah laut Tiongkok Selatan dan Laut jawa dan Kepulauan Indonesia terpisah dari daratan Asia. Sisa-sisa dari penduduk asli itu yakni Ras Wedda, adalah orang-orang Kubu dan Mamak dipedalaman Sumatera dan orang-orang Tuela di Sulawesi tengah. Maka terjadilah perpindahan bangsa-bangsa yang datang dari daerah-daerah Tiongkok Selatan, yakni Ras Malayu, yang oleh ahli-ahli anthropologi disebut Proto-Malayu dan Deutro Malayu. Rupa-rupanya Ras Deutro Malayu adalah Nenek Moyang dari semua bangsa yang tergabung dalam kelompok bangsa Malayu-Polinesia, yang mendiami daerah diantara pulau Taiwan, pulau Pas, kepulauan Fiji dan pulau-pulau Madagaskar. Ras Deutro-Malayu itu masuk ke kepulauan Indonesia kira-kira 300 tahun sebelum Masehi dan membawa serta peradaban Neolithicum. Keturunan ras Proto-Malayu terdesak oleh kaum emigran yang kedua, yaitu Ras Deutro Malayu yang juga datang dari daerah Tiongkok selatan, yakni Yunan dan sekitarnya pada masa antara tahun 300-200 SM. Mereka telah mempergunakan alat-alat besi dan senjata. Sisa-sisa Proto Malayu adalah orang-orang Gayo dan Alas di Aceh dan orang-orang Toraja.

Jadi apabila semua teori-teori yang telah diuraikan diatas diambil kesimpulan utama, maka Suku-suku yang ada di Minahasa adalah keturunan dari bangsa pendatang baru yaitu dari zaman Budaya Perunggu atau dari Malayu Muda yakni kira-kira pada tahun 400-200 SM. Diantara suku-suku bangsa Indonesia yang datang kesini pada waktu-waktu yang berlainan itu, tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam tingkat kebudayaannya. Tetapi bagaimanapun juga mereka semua telah mempunyai kebudayaan yang jauh lebih tinggi dari pada bangsa-bangsa asli pulau-pulau Indonesia. Mereka sudah dalam tingkatan kebudayaan perunggu, artinya alat-alat mereka sudah terbuat dari perunggu campuran dari tembaga dan tanah putih. Walaupun demikian letak dan keadaan tempat tinggal mereka yang berbeda-beda juga membawa akibat perbedaan tingkat perkembangan kebudayaannya dari satu pulau atau daerah dengan daerah lain, sehingga tidaklah semua bangsa pendatang baru tersebut secara bersama-sama maju dalam tingkatan peradabannya. Bagi daerah yang ditempati mereka mempunyai sumber-sumber alam yang tersedia maka kebudayaan mereka akan lebih berkembang, tetapi bagi daerah yang tidak atau kurang mempunai sumber-sumber alam, perkembangannya lambat dan bahkan tertinggal dari suku-suku bangsa pendatang baru yang berada didaerah lain.

Senin, 29 Desember 2014

Pendapat Umum Tentang asal-Usul Orang-orang Minahasa Part 1

Mythos mengenai Lumimu'ut masih tetap hidup dikalangan orang-orang Minahasa yang menggangap bahwa orang-orang Minahasa adalah keturunannya.Cerita-cerita purbakala tersebut mengatakan Lumimu'ut datang dari luar dengan sebuah sampan setelah mengarungi lautan lalu tiba ditanah Minahasa. Sementara berada di pantai, ia ditemui oleh seorang wanita bernama Karema dan setelah pertemuan itu Lumimu'ut dibawa ketempat yang disebut Gunung Wulur Mahatus tempat kediaman Karema. Di pegunungan itulah Lumimu'ut tinggal bersama-sama Karema. Tetapi setelah beberapa waktu kemudian, Lumimu'ut ternyata hamil dan diceritakan bahwa kehamilannya itu telah dibawanya sejak mengarungi lautan. Siapakah suami atau laki-laki yang telah menyebabkan kehamilannyatidak diketahui. Tetapi cerita purbakala mengatakan bahwa setelah ia melahirkan bayi laki-laki, atas persetujuan Lumimu'ut, Karema memberikan nama TOAR.

Setelah Toar dewasa, ia disuruh oleh Karema mengelilingi pegunungan Wulur Mahatus sambil membawa tongkat Tuis (Sebatang geloba yang disebut Amomum album) yang sama panjangnya dengan tongkat yang diberikan secara diam-diam oleh Karema kepada Lumimu'ut. Karema berpesan kepada masing-masing orang itu, agar bilamana mereka bertemu dengan seseorang haruslah mereka menyamakan tongkat tersebut dan apabila tongkat itu tidak sama panjangnya, maka Lumimu'ut maupun Toar dapat mengawini orang tersebut. tetapi Karema juga berpesan kepada orang itu, bilamana tongkat yang diberikannya itu sama panjang hendaklah mereka itu saling bersapa dan Toar harus menghormatinya karena ialah Ibunya, Lumimu'ut.

Kemudian itu, pada hari yang ditentukan oleh Karema pergilah Toar kehutan dan mulai mengelilingi pegunungan wulur Mahatus. Tidak berapa lama kemudian, Lumimu'ut menyusuli keberangkatan Toar tetapi mengikuti pesan Karema dengan melalui arah Utara dari pegunungan Wulur Mahatus. Setelah bertahun-tahun kedua orang itu mengembara dihutan belantara, diceritakan pula bahwa kedua orang itu berjumpa lagi tetapi telah saling tidak mengenal satu dengan yang lain. wajah dan kondisi tongkat yang mereka bawa telah berubah karena pengaruh alam. Namun tanpa berpikir lama, Toar meyamakan tongkatnya, ternyata tidak sama panjangnya, lalu keduanya bersehati untuk menjadi suami-isteri. Toar membawa Lumimu'ut kehilir sungai Ranoyapo dan dari perkawinan mereka melahirkan anak-anak laki-laki dan perempuan.

Cerita yang sejak dahulu hingga kini masih hidup di daerah Toundanouw, ialah bahwa nenek moyangnya pun berasal dari Toar dan Lumimu'ut, turunan dari anak mereka yang tertua bernama MOHOLENGEN, yang sering melawan dan tidak dengar-dengaran kepada Orang Tuanya (dalam bukunya J.A. Tumboimbela, Sebingkah Sejarah dan Perkembangan pendidikan di daerah To-un-danouw (Tombatu), 1971-1973-hal.11). Walaupun demikian siapa saudara-saudara lelaki dan perempuan  dari MOHOLENGEN sampai kini belum jelas, kecuali beberapa cerita tua mengatakan salah seorang diantaranya ialah "TAMBANAS (Dotu Soputan)" yang berdiam di pegunungan Soputan dan daerah danau Toundanouw. Bukti-bukti purbakala mengenai hal ini masih sulit diketemukan walaupun terdapat batu-batu peninggalan purba yang berada diantara Gunung Soputan hingga pegunungan Wulur Mahatus. Batu-batu peninggalan purba yang terdapat didaerah itu masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara mendalam.

Andaikata, cerita-cerita nenek-moyang sejak dahulu tersebut dapat digali dan dibuktikan secara ilmiah, mungkin dapat memberi jawaban terhadap misteri asal-usul dari orang-orang Minahasa yang sebenarnya. Walupun demikian, andaikata cerita-cerita tersebut dihubungkan dengan adanya manusia purba yang telah berada di tanah Minahasa yaitu Karema yang menemui Lumimu'ut dipantai (yang mungkin terdampar) maka berarti sebelum Lumimu'ut datang di Tanah Minahasa purba, telah ada manusia yang berdiam di daerah ini. Apakah Karema merupakan salah satu dari Manusia Indonesia yang tersisa dari bangsa asli yang binasa oleh bangsa Indonesia kemudian yang dihalau kehutan dan pegunungan di pedalaman ??? Untuk mencoba memberikan uraian jawaban terhadap pertanyaan tersebut barangkali perlu disinggung disini mengenai asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia.

Menurut penyelidikan Orang Cerdik-Pandai, Bangsa Indonesia ini asalnya dari Tiongkok, dari lembah hulu sungai besar Yang-Tse-Kiang, Sikiang, Menam, Mekhong dan sebagainya, jadi di daerah Yunan Utara. Dari Yunan mereka turun keselatan sampai ke daerah Tongkin, Annam, Cochin-China. Dari sini mereka mulai merantau, menyeberangi lautan kepulau-pulau disekitar Benua Asia, antara lain juga kepulauan Indonesia. Sebelum bangsa Indonesia ini didiami oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa asli ini oleh Bangsa Indonesia sebagian besar telah dibinasakan atau dihalau ke hutan-hutan dan pegunungan dipedalaman. Sebagian juga bercampur dengan Bangsa Indonesia. Sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa bangsa asli tadi, yakni orang Kubu di Sumatera Selatan, Orang Lubu di Sumatera Tengah, orang Semang disemenanjung Malaya, orang Wedda di Sailan, dan orang Irian, orang Negrito di Philipina, dll. Suku-suku bangsa ini sampai sekarang masih hidup dihutan-hutan dan didaerah pegunungan dan tidak banyak berhubungan dengan bangsa Indonesia ataupun bangsa-bangsa lain yang datang kemudian ke Indonesia. Mereka masih dalam tingkatan yang sangat rendah, mereka hidup dalam gerombolan-gerombolan kecil, rumahnya terdiri dari gubuk-gubuk yang sangat sederhana, mereka mengembara di hutan dan hidup dari apa yang didapatnya sehari-hari.

Untuk memperkuat keterangan diatas, disini akan diuraikan pula beberapa hasil penelitian ahli-ahli yang kiranya dapat digunakan sebagai bahan pembahasan dan analisa dalam memberikan salah satu jawaban terhadap asal usul Rakyat Indonesia umumnya dan Minahasa pada khususnya.
Eugene Dubois

Indonesia kira-kira 100.000 tahun yang lalu, telah didiami oleh mahluk yang pada umumnya disebut "Proto-Insan". Proto-Insan ini menurut penelitian, ternyata telah meninggalkan peninggalan-peninggalan berupa artefak-artefak, dan karena tidak meninggalkan peninggalan-peninggalan tertulis, maka nyatalah bahwa mereka masih hidup dalam zaman Pra-Sejarah. Diantara Proto-insan ini terdapat yang disebut dengan nama "Pithecanthropus Erectus" yang ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di Trinil (dalam bukunya HR. Van Keekeren, The Stone Age of Indonesia, Gravenhage, Martinus-Nijhoff, 1967, hal 13-14). Mahluk ini termasuk didalam tingkatan antara kera dan manusia. Hal ini dapat diketahui dari isi tengkoraknya (terletak diantara isi tengkorak kera dan manusia). Kecuali itu, mahluk inipun telah berdiri tegak oleh karena ditemukan tulang-tulang paha yang menunjukkan telah dipergunakan untuk berdiri tegak.
Pithecanthropus Erectus

Kecuali Pithecanthropus Erectus ini, di Indonesia masih ditemukan mahluk-mahluk baik yang lebih tua maupun yang lebih muda umurnya. Dari mahluk yang lebih tua ditemukan apa yang disebut "Meganthropus Palacojavanicus" oleh Von Koningswald di Sangiran pada tahun 1939-1942 (Ibid hal 9-10), dan pada tahun 1939 ditempat itu pula ditemukan fosil dari mahluk "Pithecanthropus Robustus" oleh Koningswald dan Weidenreich. Kedua mahluk ini dimasukkan didalam golongan tua oleh karena besarnya bagian-bagian badan yang ditemukan itu menunjukkan kelebihannya apabila dibandingkan dengan bagian-bagian badan dari Pithecanthropus Erectus.
G.H.R Von Koeningswald

Sedangkan yang lebih muda umurnya dari Pithecantropus Erectus tadi, yang telah mendiami kepulauan Indonesia ini adalah "Homo Soloensis" yang ditemukan di Ngadong oleh Ir. Oppenoorth V. Koningswald dan Ter Haar pada tahun 1931-1934 (HR. Van Keekeren, The Stone age of Indonesia, hal 22-23) dan "Homo Wajakensis" yang ditemukan oleh Eugene Dubois, pada tahun 1889 (Ibid hal 23-24) di Wajak, Trenggalek dan Tulungagung, Kediri. Kedua mahluk yang terakhir ini termasuk pre-homonide oleh karena isi tengkoraknya telah menunjukkan ada kelebihan dari pada Pithecanthropus tersebut, bahkan isi tengkoraknya dari kedua mahluk ini, telah mendekati isi tengkorak "Homo Sapiens". Karena itulah maka kedua mahluk ini diberi nama Homo.

Dari penyelidikan-penyelidikan dapat diketahui, bahwa mahluk-mahluk ini mempergunakan alat-alat yang dibuat dari batu, seperti beliung yang ditemukan di Patjitan. Beliung-beliung itu memperlihatkan cara pembuatan yang hanya dipukul-pukul saja dengan batu lain sehingga memperoleh bentuk yang dikehendaki, dan karena bentuknya itu mengarah kebentuk bulat-bulat, maka dapat diketahui cara penggunaannya yakni dengan cara digenggam. Oleh karena itu maka beliung-beliung itu juga disebut beliung genggam. Menurut perbandingan dengan alat-alat semacam ini yang ditemukan di Gua Tju Ku Tien di Peking (digua ini ditemukan beliung bersama-sama dengan fosil dari "Pithecanthropus Pekinensis"), dapatlah diketahui bahwa beliung Patjitan ini adalah alat-alat yang dipergunakan oleh Pithecanthropus Erectus tersebut. Zaman dimana beliung ini dipergunakan sebagai alat, disebut zaman "Palaeoliticum" atau zaman "Batu Tua/Kasar". Pada zaman ini keadaan masyarakat masih mengembara, penghidupan mereka adalah dengan cara mengumpulkan makanan, berburu, dan menangkap ikan, dan masih tunduk kepada alam. Apabila alam masih memberikan penghidupan baginya, disitulah mereka berdiam ; apabila alam tersebut tidak lagi memberi makan, pindahlah mereka itu ketempat lain.
Sampah Dapur

Dari zaman Palaelothicum ini, menginjaklah mahluk-mahluk tadi ke zaman Mesolithicum atau Epipalaelothicum (Mesolithicum kira-kira 8000 SM). Penghidupan dalam zaman ini lebih maju apabila dibandingkan dengan penghidupan didalam zaman sebelumnya. Sebagian kecil dari masyarakat masih hidup seperti semula yakni seperti pada zaman Palaeolithicum, akan tetapi sebagian besar telah mulai bertempat tinggal tetap terutama ditempat-tempat yang merupakan sumber makanan, seperti pantai-pantai dan danau. hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan-penemuan seperti Kjokkenmoddinger (Sampah-sampah dapur atau bukit kulit kerang yang ditemukan di Sumatera Utara). Kecuali kulit-kulit kerang bekas makanan mereka, ditemukan juga fosil-fosil manusia "Papua Melanesoid" yang diperkirakan sebagai manusia pendukung budaya Mesolithicum tersebut. Bangsa Papua Melanesoid ini berasal dari asia yang datang ke Indonesia dengan membawa budayanya. Disamping fosil-fosil itu, juga ditemukan artefak-artefak berupa beliung pendek (Hache Courte- Drs Rd. Pangkoesmijoto, Pr., Nusantara kala, Bogor, 1970 hal.14) yang berbentuk dengan beliung-beliung pendek yang ditemukan di Bascon Huabienth di Vietnam sekarang. Oleh karena beliung pendek ini di Indonesia boleh dikatakan hanya di Sumatera itu saja ditemukan, maka artefak tersebut dinamakan "Sumatralith atau Pebble".

Sebagai tambahan mengenai penemuan-penemuan tersebut dapat kiranya penulis hubungkan dengan kulit-kulit bia/kerang, siput yang ditemukan didaerah lereng bukit Dahayu (Tombatu) ketika diadakan penggurukan tanah bukit dahayu untuk didirikan Sekolah Guru "B" tahun 1953. Selain ditemukan kulit-kulit siput atau "Kolombie" itu, juga ditemukan fosil-fosil manusia purba. Ini menunjukkan bahwa pada zaman purba (Mungkin seperti zaman Mesolithicum tadi) didaerah Toundanouw (Tonsawang) itu telah ada manusia yang bertempat tinggal tetap dan diperkirakan juga sebagai manusia pendukung budaya Mesolithicum. Kulit-kulit kerang atau Biak/Kolombie dan fosil manusia tadi juga telah diceritakan oleh seorang saksi yang masih hidup sampai sekarang, namun sayang pada saat itu ditemukan, belum ada ahli yang meneliti pada waktu itu. Hal ini dapat terjadi di Toundanouw karena menurut cerita Tua, sebelum menjadi daerah seperti sekarang (Negeri Tombatu dan lain sebagainya) dahulu kala digenangi oleh air yang disebut danau Toundanouw. Beberapa abad kemudian danau itu dikeringkan oleh seorang Tonaas dengan bantuan penduduk lalu setelah dataran/lembah tadi menjadi kering, mulai didirikan kampung-kampung yang kemudian menjadi Negeri tombatu.

To Be Continued Part 2.....

Jumat, 26 Desember 2014

Kebiasaan Menyambut Hari Natal

Kebiasaan dari Anak suku Tonsawang dalam menyambut Hari Natal H-1 atau bahkan setelah Hari natal itu sendiri Tanggal 25 Desember adalah bersiarah ke Makam Keluarga seperti Makam Ayah, Ibu, Kakak, Adik, dll. Seperi yang dilakukan oleh salah satu anak suku tonsawang pada gambar dibawah ini ;


Hal-hal yang dilakukan oleh anak suku tonsawang/Toundanouw saat berada dimakam keluarga adalah Membersihkan makam dan sekitarnya, Menaruh beberapa bunga, berdoa atau berbicara dalam bahasa tonsawang dengan tujuan sesuai keyakinan agar dapat dijauhkan dari segala hal yang buruk, dll (Khoda'it Matu'a).

Meskipun jaman sekarang telah banyak yang tidak lagi melakukan doa/memberikan permohonan pada leluhur saat berada dimakam, namun kebiasaan mengunjungi makam para pendahulu dari keluarga tetap dilakukan. Karena telah banyak yang beranggapan bahwa saat bersiarah kemakam dan melakukan doa permohonan dimakam adalah suatu hal yang sesat, namun itu tergantung dari masing-masing untuk menilai hal tersebut, karena kebiasaan Orang-orang tua merupakan hal yang harus dilestarikan selagi tidak merugikan banyak orang.

Selasa, 23 Desember 2014

Galeri Foto ; Kunjungan ke Lesung Batu "BALAO"

Lokasi Lesung terdapat di Perkebunan BALAO Kec.Touluaan Kab. Minahasa Tenggara

Pada gambar dibawah ini saat pertama kali tiba dilokasi, tampak keadaan sekitar Lesung Batu ini tidak dibersihkan, beserta kebun sawah tempat lesung batu ini berdiri, terkesan tidak terurus/diperhatikan.

 

















Pada gambar dibawah ini adalah Keadaan lesung Batu saat dibersihkan sekelilingnya, semoga ini menjadi perhatian bagi pemilik kebun sawah beserta pemerintah khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Minahasa Tenggara, agar menjaga dan merawat situs budaya yang berada di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara ini, meskipun ini hanya sebagian saja dari tempat-tempat bersejarah yang mulai ditemukan, karena bila melihat keadaan sekarang ini, terkesan Dinas terkait hanya tutup mata dengan keberadaan tempat-tempat adanya suatu peninggalan yang memiliki nilai Budaya yang tinggi.



 

Sabtu, 20 Desember 2014

Batu Menhir Lelema-Tumpaan-Minsel

Berlokasi di Samping Jalan Raya Trans Sulawesi tepatnya di Desa Lelema-Tumpaan (Sebelah Kanan dari Amurang-Manado)







Jumat, 12 Desember 2014

Permandian Air Panas "Kelewaha"

Lokasi Permandian Air Panas Kelewaha terletak di Desa Lobu Kec. Touluaan Kab. Minahasa Tenggara tepatnya di Ujung Kampung Desa Lobu yang berada disamping Jalan Raya Touluaan-Amurang.


Pemerhati budaya Minahasa sedang Meninjau Keadaan Bak Air Panas
Bak Air Panas

Jembatan Kelewaha

Pohon yang roboh diatas Bak Air

Resting Area yang Rusak

Kamis, 11 Desember 2014

Galeri Foto; Lesung Nawo Pondalos

Lokasi Lesung / Lisung milik Nawo/Dotu Pondalos ini bertempat di Desa Lowatag Kec. Touluaan Selatan Kab.Minahasa Tenggara, tepatnya di Perkebunan Keleruping. Konon cerita lesung ini so pernah orang mo sebadiri, tapi tidak dengan menggunakan cara orang tua-tua/Budaya Orang Tua "La'ut i Matu'a" sehingga orang tersebut mengalami sakit atau dalam bahasa tonsawang "Kinawayuan". Hingga saat ini lesung tersebut tetap dibiarkan begitu saja.

Tampak Depan


Tampak Samping




Tampa Mandi Aer Panas Kelewaha yang so tabiar

Peninjauan Pemerhati Budaya Minaesa
Kalu mo maso ka Kampung Lobu Kecamatan Touluaan Kab. Minahasa Tenggara dari arah Amurang <Minsel>, pasti mo dapa lia tu tampa mandi yang ada di sei jalang, yang orang kenal dengan nama Tampa Mandi Aer Panas Kelewaha. Ini tampa cuma salah satu tampa mandi yang ada di kobong kelewaha, karna dibagean atas ada lei tampa mandi aer panas, cuma nda diperhatikan oleh pemerintah sampe terkesan cuma tampa mandi biasa saja versi Orang kobong...hehehehe...!!! mar kenyataan so bagitu.

Tampa Mandi ini yang ada di sei jalang raya adalah tampa dari masyarakat lobu ja pake for mandi dengan bacuci baju, adalei tu orang diluar Lobu yang pas lewat disini kong so suka mandi, dorang juga turut menikmati sadapnya mandi aer panas di tampa ini.


Bak Mandi Air Panas Kelewaha
Menurut salah satu orang yang ada bekeng tu Bak Mandi ini yang biasa dorang ja pangge Om Yor bilang bagini "Ini tampa mandi ini dorang ada kase gaga (Da bekeng akang Bak) supaya orang-orang laeng yang diluar Desa Lobu, boleh mandi disini" dengan dia bilang bahwa menurut cirita orang-orang tua bahwa "ini tampa merupakan tampa i manga nawo" yang biasa dorang kenal tu nawo yang biasa ada disitu yaitu Nawo Selet, Mahasere, Palembatas, Makiralos dengan ada lei tu Nawo-nawo laeng.

Jembatan Kelewaha
Didekat tampa mandi ini, ada tu jembatan yang dikenal dengan nama "Jembatan Kelewaha". Ni jembatan ini so terkenal di kalangan Anak Suku Toundanouw / Tonsawang bahwa jembatan yang angker {ada panunggu}, sampe skarang kalu orang ja lewat disini so tabiasa kalu ada bawa motor atau Oto paling ja ba klatson atau ja sebermain tu lampu Dem, yang dorang percayai bahwa itu tanda ba hormat minta permisi lewat, tapi ada juga dari kalangan yang nda ja pake tu babagitu, cuma lewat tanpa kase isyarat.

Pohon yang roboh diatas Bak Mandi
Ini tampa mandi sebenarnya kalu ada jaga bae-bae, dengan pemerintah da perhatikan kong bekeng gagah, paling mo jadi tampa wisata yang berguna mo se angka nama Kabupaten, Kecamatan dan Desa, cuma dapa lia so tabiar nda ada rasa kepedulian. Kalu mo lia skarang sampe postingan ini ditulis masih ada tu kayu besar darubuh di atas bak mandi, kong dorang lei cuma kase biar. Sebenarnya pemerintah Desa kalu ada kepedulian pasti so kerja bakti di situ kong kase bersih tu tampa itu, cuma mo bilang apa lei...??? kenyataanya memang tabiar ...!!!

Resting Area yang Rusak / So Tabiar
Di Dekat tampa mandi ini ada dorang da bekeng tu Resting Area, cuma sama dengan da buang-buang doi jo...!!! bangunan nda ja urus dengan so rusak lei. Di tamba dengan jembatan yang ada disitu so dapa lia sama dengan jembatan biasa, itu depe besi-besi di sei jembatan so ilang nintau kamana ??? Jadi mo lia tu kondisi skarang so sangat memprihatinkan, nintau mo se salah pa sapa....???? Skarang tergantung pemerintah mo ator tu tampa, dengan melihat pengalaman yang ada, dengan katu bukang cuma pemerintah ..... so musti dengan masyarakat siapapun dia, so musti berperan aktif mo jaga, plihara ni tampa dengan kalu ada tu dorang mo bangun disitu jangan kase rusak, karna itu merupakan untuk kepentingan orang banyak.

Yah..... torang cuma berharap dan berdoa supaya dikemudian hari ini tampa mandi so bukang lagi jadi tampa mandi aer panas kelewaha yang so tabiar, melainkan menjadi "Objek Wisata Permandian Air Panas Kelewaha". Sama dengan dorang bilang "Mero-merotange.

Rabu, 10 Desember 2014

Tarian Orang Minahasa

TARIAN KABASARAN
 
Tou Minahasa atau orang Minahasa dalam sejarahnya merupakan waraney atau kesatria-kesatria perang di tanah Minahasa. Dulunya disebut tanah malesung. Tarian Kabasaran merupakan pencerminan salah satu kebudayaan Minahasa dari masa lampau. Berperang untuk tou Minahasa memang merupakan suatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani, mempunyai semangat perjuangan, dan kebijaksanaan. Setiap waraney dibekali dengan berbagai ketrampilan bela diri.

Sejarah

Dalam sejarah tou Minahasa banyak terlibat peperangan diataranya, Minahasa pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Pergerakan mengusir penjajahan lawan Kompeni Belanda dan VOC, sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan tou Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809. Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang, perjuangan tou Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Pergerakan mengusir penjajahan era kemerdekaan, perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan kemerdekaan, puncaknya perang 14 februari 1946.

Kehidupan peperangan dimasa lampau serta semangat perjuangan yang memang sudah ada, sejak lamapau, dalam setiap individu tou Minahasa, Hal inilah inti dari adanya tarian Kabasaran, ini merupakan warisan budaya dari nenemoyang tou Minahas. Membuat seni tari Kabasaran pun mengabadikan ritual yang di masa lampau memang dilaksanakan leluhur tou Minahasa setiap kali mereka hendak berperang.

Asal Usul Kata

Pada awalnya tarian Kabasaran bernama sakalele dan berubah menjadi cakalele. Saka berlaga dan lele berlari, berkejaran melompat-lompat. Kata Kabasaran sendiri berasal dari bahasa Minahasa yaitu Kawasalan, ini kemudian berkembang menjadi “Kabasaran” yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa regional Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.

Sampai saat ini tarian Kabasaran merupakan salah satu tarian sakral di Sulawesi Utara juga tarian sakral masyarakat suku Minahasa. Tari Kabasaran sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Minahasa, tarian perang Kabasaran dalam kehidupan masyarakat Minahasa moderen, mendapat tempat dalam acara-acara besar seperti perkawinan, penjemputan, dan pengawalan secara adat bagi petinggi pemerintahan ataupun tokoh masyarakat.

Para penari dalam tarian Kabasara semuanya adalah leleki, atau disebut waraney artinya prajurit atau kesatria. Pemimpin dalam tarian adalah Tonaas Wangko artinya pemimpin besar pasukan perang dalam hal ini berlaku sebagai pemimpin tarian. Pada dasarnya setiap pelaku tarian perang Kabasaran saat menari harus berwajah garang, tidak tersenyum, dan mata melotot. Hal ini menandakan kegarangan dari pasukan perang Kabasaran suku Minahasa di medan tempur. Pelaku tarian perang biasanya berjumlah minimal enam waraney dan satu Tonaas Wangko. Selain itu ada para penabuh tambor.

Kostum tarian Kabasaran pada dasarnya, adalah tirai-tirai kain berwarna merah. Warna merah dipilih karena melambangkan keberanian sedangkan kostum yang berbentuk tirai layaknya baju tempur perang pada jaman dahulu. Penutup kepala, biasanya dihiasi dengan paruh burung yang menjulang keatas, dulunya paruh burung tersebut adalah paruh burung Taong dalam bahasa regional Manado, disertai dengan buluh-buluhnya, ini sebagai lambang kebesaran. Pada bagian depan kostum, biasanya terdapat beberapa tengkorak kepala, tengkorak-tengkorak tersebut melambangkan setiap waraney atau pasukan perang sudah pernah membunuh musuhnya di medan tempur dan kepala musuhnya dipergukan sebagai tanda kehebatan.

Setiap penari dilengkapi dengan santi atau pedang perang dan kelung atau perisai untuk menangkis serangan musuh. Pada sebagai pasukan tidak memakai santi atau kelung melainkan memakai wengko atau tombak. Keseluruhan kostum dalam tarian perang Kabasaran, setiap orang yang memakai akan merasa dan terlihat gagah layaknya seorang waraney yang penuh dengan keberanian dan siap untuk bertempur. Tarian kabasaran selalu di iringi dengan tambor, alat musik yang di pukul. Tambor dipergunakan untuk menambah semangat dari para pasukan saat berperang atau saat melakukan tarian perang.

Dalam tarian perang Kabasaran mempunyai aba-aba dari Tonaas Wangko serta pekikan semangat yang diteriakan oleh seluruh waraney dan Tonaas Wangko. Pada saat tarian perang Kabasara baru akan dimulai, Tonaas Wangko akan memberi aba-aba masaruan artinya berhadapan, wangunan kelung wo santi artinya angkat pedang dan perisai, makasampe artinya berdekatan, melompat kecil dua langkah kedepan dan salaing mempertemukan perisai, sampai pada aba-aba ini penari perang Kabasaran terbagi dalam dua barisan yang berhadapan dan saling mengangkat pedang dan perisai. Tumbalan kelung artinya turunkan perisai, aba-aba ini biasanya disertai dengan sumiki artinya menghormat, memberikan penghormatan kepada lawan, hal ini melambangkan kejantanan seorang waraney. Adapun hormat yang diberikan kepada orang besar tetap memakai aba-aba sumiki. Berikut aba-aba rumenday artinya kembali pada posis semula. Retaan kelung wo santi artinya menaruh perisai dan pedang, biasanya aba-aba ini, pada bagian waraney akan menari tanpa pedang dan perisai. Timboyan kelung wo santi artinya mengambil perisai dan pedang. Mareng tampa artinya pulang atau kembali ketempat semula. Semua aba-aba di atas diiringi dengan ketukan tambor dua kali.

Tonaas Wangko akan mengeluarkan aba-aba cakalele untuk adanya tarian perang saling berhadap-hadappan, saat aba-aba tersebut diteriakan maka penari akan dengan garang menari mengunakan pedang dan perisai, seakan saling menyerang. Tambor manari dan tambor maleyonda aba-aba ini akan mengisyaratkan para waraney untuk melakukan tarian dengan tidak mengunakan pedang dan perisai. Pada setiap aba-aba tersebut selain diikuti dengan suara ketuakn tambor dua kali, diikuti juga dengan teriakan dari para waraney.

Saat sudah mulai menari Tonaas Wangko akan mengeluarkan teriakan I Yayat U Santi sebanyak tiga kali, artinya angkat pedang untuk perang, lalu akan dibalas oleh para waraney denga teriakan yang penuh semangat dan mengelegar. Teriakan itu akan menumbuhkan gejolak emosi dan rasa keberanian yang tinggi terhadap para waraney. Selain itu waranei juga akan mengeluarkan teriakan-teriakan tuama, nyaku tuama, artinya saya laki-laki. Tetapi pengertian “Tuama” dalm bahasa Minahasa bukan hanya sekadar laki-laki melainkan seorang laki-laki yang penuh dengan keberanian, kebijaksanaan, cerdas, mempunyai jiwa kepemimpinan, dan pantang menyerah.

Babak Tarian Kabasaran

1. Cakalele

Yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya berkejaran melompat lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang, babak ini menunjukkan keganasan berperang mereka pada tamu agung, serta untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung, dimana mereka bisa membuat setan takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Kumoyak

Yang berasal dari kata koyak artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya'an

Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang, dibabak ini para penari bisa berekspresi riang, dibanding dua babak sebelumnya yang mengaharuskan mereka berwajah garang tanpa senyum.

Selasa, 09 Desember 2014

Situs Budaya

Batu Pinabetengan


Lesung Nawo Oki


Waruga Nawo Mamarimbing Muda









Minggu, 07 Desember 2014

Gunung Soputan

Gambar : Dikaki Gunung Soputan
Gunung Soputan merupakan gunung berapi yang memiliki ketinggian sekitar 1.784 m atau (5.853 kaki) dengan koordinat 1.108°N / 124.725°E, dan Gunung Soputan ini merupakan gunung ke-2 tertinggi yang berada di Sulawesi Utara. Gunung Soputan ini berjarak sekitar 50 km disebelah barat daya-selatankota manado dan berjarak sekitar 12 km di sebelah timur laut kota Tombatu, Kabupaten Minahasa Tenggara dan merupakan salah satu gunung yang paling aktif dalam mengeluarkan semburan/meletus, serta tercatat dalam sejarah bahwa Gunung Soputan ini meletus pada tahun 1785, 1819, 1833(?), 1845, 1890, 1901, 1906, 1907, 1908-09, 1910, 1911-12, 1913, 1915, 1917, 1923-24, 1947, 1953, 1966-67, 1968, 1970, 1971, 1973, 1982, 1984, 1985, 1989, 1991-96, 2000-03, 2004, 2005, 2007, 2008, 2011 dan 2012. Tipe Erupsi dari Gunung Soputan adalah ledakan, kubah lava, aliran piroklastik, dan aktivitas stombolian.

Gunung Soputan ini terletak diantara 3 (tiga) Kabupaten yaitu : Kab. Minahasa, Kab. Minahasa Selatan dan Kab. Minahasa Tenggara. Untuk yang memiliki keinginan mendaki gunung ini bisa melewati jalan dari Tumaratas (Kec.Langoan Barat), atau lewat Desa Kota Menara (Minsel) bahkan dapat melewati Desa Silian (Kec.Silian Raya<Mitra>) dan Desa Winorangian (Kec.Tombatu Utara<Mitra>). Bila dilihat dari Wanua Tombatu maka akan terlihat gunung Soputan ini berdampingan dengan Gunung Manimporok.
 
Pemandangan dari Wanua Tombatu
Gunung ini merupakan tempat yang paling disukai oleh para pendaki, karena memiliki tantangan yang sangat menegangkan apabila mendaki gunung ini, serta pemandangan yang ada disekitar gunung ini menambah ketertarikan gunung ini.

Dalam setiap tempat yang serupa tidak lepas dari cerita yang berbau gaib dan cerita yang berkembang saat ini bukan hanya sekedar karangan belaka tetapi melalui pengalaman pribadi para pendaki yang selanjutnya diceritakan dari mulut ke mulut. Seperti salah satu penuturan dari seorang pemuda yang juga gemar berpetualang dalam alam bebas serta hobi menantang rintangan pendakian yang kesehariannya disapa dengan nama KILO yang tinggal diwanua Tombatu, menuturkan bahwa apabila mendaki Gunung Soputan janganlah melakukan hal-hal yang sudah menjadi aturan main walaupun tidak secara tertulis seperti : saat berada di Gunung Soputan jangan berteriak-teriak atau melakukan hal-hal yang tidak senonoh/sopan, karena akan berdampak buruk bagi para pendaki dan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang irasional/tidak masuk akal. Karena telah menjadi buah bibir bahwa di Gunung Soputan terdapat penjaga yang tidak kasat mata, tetapi dapat dilihat oleh orang-orang tertentu saja, tuturnya juga bahwa ada beberapa orang yang pernah hilang beberapa hari digunung ini tapi akhirnya dapat ditemukan.

Kepercayaan dari anak Suku Tonsawang tentang Gunung Soputan ini yaitu Gunung ini dijaga oleh beberapa leluhur tetapi yang menjadi penguasa tertinggi adalah Dotu/Nawo Soputan yang dikenal dikalangan anak Suku Tonsawang dengan nama Nawo Tambanas (Dotu yang diyakini sebagai penguasa Wilayah Utara dan Penguasa Pasir).

Bila tertarik ingin melihat pemandangannya langsung silakan berkunjung sendiri, dan ingat jangan pernah meremehkan cerita orang-orang Tua maupun dari orang yang pernah mengalami hal-hal gaib <irasional> digunung ini. Ibarat kita bertamu kerumah orang, berlakulah sopan supaya kita dihargai, begitu juga ditempat-tempat seperti ini. Ulit.
 

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More