Sebelum kedatangan bangsa barat (Spanyol, Portugis dan Belanda) di Minahasa, maka orang-orang di daerah Toundanouw (Tonsawang) juga mengenal dan menganut kepercayaan sebagaimana diuraikan pada postingan sebelumnya baca disini. Mungkin karena perbedaan lokasi dan perkembangan masyarakat, maka sesudah masuknya bangsa barat di Minahasa, orang-orang didaerah ini tampak masih kuat memegang kepercayaannya. Orang-orang tua dijaman purba juga mempunyai anggapan bahwa "Manusia setelah meninggal dunia, "Jiwa"nya sewaktu-waktu dapat berhubungan dengan manusia didunia, dan mengawasi tingkah-laku manusia di dunia dan bahkan sewaktu-waktu dapat muncul melalui perantara yang disebut dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) "Sumolong". Melalui Pasolongan atau sumolong, jiwa nenek-moyang atau orang yang telah meninggal dapat dimintakan sesuatu pegangan atau diminta untuk menyembuhkan seseorang yang sedang sakit. Bagi Opo yang dianggap baik ketika menampilkan jiwanya, maka sipasolongan tampak tidak bergetar tetapi tiba-tiba telah berbicara dengan suara yang berbeda dengan orang yang hidup. Si Pasolongan mukanyapun sedikit berubah menyerupai seperti Opo yang memasukinya. Melalui perantara yang disebut "Masaru" juga akan menterjemahkan kata-kata ataupun kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si Opo. Di daerah Toundanouw (Tonsawang) istilah Opo sebenarnya tidak dikenal. Sebagai gantinya atau mungkin memang kata aslinya mereka sebut "NAWO". Nawo lebih mirip dengan pengertian Nenek atau Kakek. Ada yang disebut Nawo Bene artinya Nenek (Wanita) dan Nawo Tuama artinya Kakek (Laki-laki). Nawo juga berarti nama keturunan, misalnya kalimat "Si sei nawo-nu ?, artinya siapa kakek keturunanmu. Ngalan i nawo, nama kakek keturunan. Jadi nama Nawo bilamana diucapkan, mengandung arti penghormatan.
Kepercayaan yang demikian itu, terbukti didalam bentuk bangunan yang dibuat oleh orang-orang Toundanouw zaman purba, yang sekarang ini masih tersimpan contohnya di Museum Nasional Jalan Merdeka Barat Jakarta, yang disebut "Beenderkist" dan didalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) disebut "BALOSONG".
Balosong ini terdiri dari dua macam bangunan, yang di Toundanouw (Tonsawang) disebut "BALOSONG TOKALASONG" (rumah jiwa bagi pria) dan yang satu lagi disebut "BALOSONG TOKALASING" (rumah jiwa bagi wanita). Diluar atau dinding bangunan itu terdapat lukisan/gambar berbentuk manusia laki atau perempuan dengan warnah hitam putih. Pada zaman dahulu yang disebut "Kafir", rumah jiwa itu dihiasi dengan bermacam-macam warna dan didalam rumah jiwa itu, terdapat kamar-kamar, sedangkan bagian penerimaan tamu terdapat dipan, meja dan kursi. Rumah jiwa tersebut dibuat beberapa hari setelah orang meninggal dunia dan kemudian didirikan atau ditempatkan diatas kuburan orang yang telah meninggal dunia itu. Di rumah jiwa itulah diberikan sesajen-sesajen pada hari-hari tertentu. Sebagai tambahan keterangan, dibawah ini diuraikan tentang upacara kematian di daerah Toundanouw (Tonsawang).
Gambar : BALOSONG |
Bila mana pada satu saat, ada orang yang meninggal dunia, biasanya didahului oleh bunyi-bunyian dari gong besar dan gong kecil sebanyak 6 buah. Sebelum ada tukar-menukar dengan bangsa asing (Tasikela-Spanyol), gong yang dibunyikan adalah dari bambu besar yang dibuat lobang memanjang hampir seruas, yang disebut "TETEKOLEN", tetapi setelah itu diganti dengan besi. Bilamana yang meninggal dunia adalah orang tua yang berpengaruh semasa hidupnya seperti Tonaas, Balian (Walian), Dotu, atau Tuud i'ndoong atau Kepala Suku, maka gong yang dibunyikan adalah yang berukuran besar. Cara pemukul gong ini tidaklah sembarangan, tetapi dengan suatu irama khusus dan khas. Orang Tua yang meninggal dunia dan semasa hidupnya berpengaruh dalam masyarakat dibunyikan dengan suara yang nyaring tetapi cara memukulnya lambat. Makin tinggi kedudukannya dalam masyarakat, makin lama dibunyikan dan jumlahnya (pukulan) berbeda-beda. Yang paling tinggi adalah Dotu sebanyak 99 kali. Tonaas dan Balian berjumlah 77 kali, Tuud i'ndoong sebanyak 69 kali, dan berturut-turut angka ganjil hingga 11 kali (Jika orang yang meninggal dunia masih anak-anak).
Dari tanda-tanda bunyian gong tersebut, orang akan mengetahui, meskipun ia sedang berada diperkebunan atau sedang bekerja diladang, dan dimanapun sekitar suatu desa, siapa dan bagaimana kedudukan orang yang meninggal itu. Pada hari orang yang meninggal itu, para Balian atau Tonaas beserta kaum kerabat berkumpul ditempat kedukaan dan mayat dibersihkan ditempat pembaringan. setelah dibersihkan dengan air serta berbagai ramuan khas menurut adat istiadat, lalu dimasukkan dalam peti jenazah yang terbuat dari batang kayu besar "PAREWEY" yang digali didalamnya. Sebelum mayat diletakkan didalam peti jenazah, dipakaikan pakaian kebesarannya atau pakaian yang digemarinya sewaktu masih hidup. Setelah itu, peti jenazah dihiasi dengan berbagai warna. Malam harinya diadakan tari-tarian oleh kaum pria dan wanita umumnya tua-tua kampung sambil mengelilingi peti jenazah. Tari-tarian diiringi oleh bunyi gong besar kecil berirama menyayat hati. Sementara tarian berjalan, sang keluarga yang ditinggalkan menangis dengan ucapan-ucapan penyesalan dan cinta kasih. Tangisan seperti itu disebut dalam bahasa Toundanouw (Tonsawang) "MONABI". Para penari juga berpakaian kebesaran dan berwarna warni disertai segala perhiasan tarian seperti manik-manik.
Pada keesokan harinya, upacara pemakaman diadakan dengan pimpinan sang Balian. Selama upacara berlangsung ditempat kediaman keluarga yang berduka, gong besar dan kecil dibunyikan lagi dan setelah melalui pemujaan, jenazah dibawa ketempat pemakaman (Kuburan) dengan cara dipikul oleh semua anak-anak dan cucu-cucunya. Pada waktu kekuburan diiringi dengan tari-tarian yang disebut "MASAE". Setiba dikuburan diadakan upacara pengukuran dan Monabipun tidaklah ketinggalan sampai mayat diturunkan kedalam lobang lahat. Setelah upacara pemakaman selesai, orang-orang yang turut mengiringi jenazah kembali ke tempat keluarga yang meninggal untuk beristirahat sambil mendapat suguhan makan dan minuman. Makanan dan minuman ini disediakan oleh kaum kerabat dan kaum tetangga secara MAANDO atau PEKAANDOAN. Usaha ini biasanya dikoordiner oleh Tud i'ndoong atau Kepala Negeri secara sukarela dan tidak mengenal giliran, tetapi serentak "Pekaandoan".
Pada saat inipun Balian serta "Pahindjon Matua" atau yang dituakan dari kaum keluarga membicarakan tentang kegiatan-kegiatan yang perlu diadakan selama masa berduka. Pahindjon Matua biasanya mengatur untuk membuka kolam ikan kepunyaan almarhumah atau berburu untuk menyediakan makanan bagi kaum keluarga. Yang lain disuruh mengumpulkan sagu melalui dengan menebang pohon anau (Aren) lalu diolah menjadi sagu. setelah persediaan makanan tersebut dikumpulkan, kemudian Pahindjon Matua menyuruh kaum pria dari keluarga terdekat untuk membuat Balosong atau Rumah Jiwa sebagaimana disebutkan terdahulu. setelah rumah jiwa selesai dikerjakan kemudian dibawa ketempat kuburan dan diletakkan diatasnya. Rumah Jiwa yang dibangun itu terdiri dari beberapa kamar dan didalamnya diletakkan meja, tempat tidur (Dipan) kecil serta kursi dan bahkan alat-alat makanan.
Pada hari kesembilan diadakan upacara yang disebut "TOMBOLIHUD" yang maksudnya mengantar "Jiwa" dari orang yang telah meninggal dunia itu ketempat peraduannya atau kuburan. Menurut kepercayaan mereka, seorang yang meninggal dunia biasanya diawali dengan perginya "Jiwa" dari yang bersangkutan ketempat lain dan dilindungi oleh arwah nenek-moyangnya. Perpisahan itu terjadi disebabkan oleh misalnya "Kaget", atau perbuatan yang salah melanggar ketentuan adat, atau menyia-nyiakan diri yang tidak sesuai dengan kepercayaan. Agar jiwa orang yang meninggal itu merasa aman dan tidak menimbulkan suasana kegoncangan dalam masyarakat, maka jiwa itu harus dikembalikan keasalnya yaitu kepada almarhum ditempat kuburannya. Bilamana "Jiwa" itu tidak dikembalikan, maka suatu waktu ia akan datang kepada orang yang masih hidup terutama keluarganya melalui cara sumolong atau "MOGALUN". Orang yang kemasukan ini biasanya merontak-rontak dan menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat, karena menuntut jiwanya dihentarkan ketempat asalnya. Oleh karena itu, bilamana telah dikembalikan ketempat asalnya itu menurut kepercayaan lama, amanlah keluarga yang bersangkutan, tidak mengganggu lagi. Walupun demikian, jiwa orang-orang yang meninggal yang tidak diurus dengan baik atau mereka yang mati karena perbuatan bunuh diri sendiri, dianggap merupakan penyakit masyarakat dan mereka umumnya dianggap menjadi setan yang bergentayangan. Demikian pula orang-orang yang sewaktu hidupnya selalu berbuat jahat, merampok, membunuh (Mengayow) dan lain sebagainya dianggap sebagai roh-roh jahat, dan mereka ini dianggap mengganggu tata-tertib masyarakat, misalnya menimbulkan penyakit, merusak tanam-tanaman dan lain sebagainya. Jiwa orang-orang yang mati demikian, dapat juga digunakan oleh orang-orang jahat untuk disuruh melakukan perbuatan keji, menyakiti orang lain atau hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang yang masih hidup.
Dari konsep kepercayaan ini, maka dikenal juga upacara yang disebut "MAMELEY". Artinya Mameley adalah mengusir roh-roh atau jiwa jahat yang mengganggu kehidupan masyarakat. Bila mana terjadi penyakit yang berkecamuk dimasyarakat, maka upacara ini diadakan. Pemimpin upacara ini adalah Balian. Pada waktu upacara diadakan, maka Balian meminta kepada seluruh anggota masyarakat melalui Kepala Negeri dan Pahindjon Matua untuk menyediakan alat-alat bagi keperluan "Mameley". Balian-balian umumnya membagi tugas dari sudut-sudut kampung dan tengah dan memimpin anggota masyarakat mengusir roh-roh jahat. Sebelum diadakan pengusiran setiap anggota keluarga menyediakan tiga buah lidi dari daun enau yang panjang yang disebut "Dele Kaseput". Bilamana dele kaseput tersebut sudah siap ditangan anggota masyarakat barulah para Balian memerintahkan untuk mengusir roh-roh jahat mulai dari dalam rumah, sudut-sudut rumah, tempat-tempat yang rindang dan gelap dan lain sebagainya dengan cara berteriak-teriak sambil memukul-mukulkan lidi tersebut kesegenap arah hingga berpindah dari satu rumah/halaman kerumah/halaman orang lain sampai diusir keluar kampung halaman. Upacara ini umumnya diadakan antara jam 21.00 sampai 24.00 malam.
Jenis-jenis upacara menurut kepercayaan lama, juga didaerah Toundanouw (Tonsawang) dikenal apa yang disebut dengan "MAPELII" atau "MAPOSAN". Upacara ini diadakan untuk mengobati orang-orang sakit dan juga dipimpin oleh Balian. Biasanya, jika ada orang sakit, maka keluarga yang bersangkutan datang meminta pertolongan kepada Balian. Balian kemudian datang kepada orang yang sakit dan disana ia menanyakan apa yang dideritanya. Setelah bersoal jawab dengan Balian, kemudian Balian menyimpilkan apa yang menyebabkan sehingga menderita (Sakit). Umumnya dikatakan, karena perbuatan roh jahat, atau juga karena perbuatan orang yang iri hati yang menyuruh roh jahat untuk menyakiti orang tersebut. apabila penyakit yang dideritanya dianggap ringan dan tidak berbahaya, cukup hari itu juga diobati dengan menggunakan minuman atau digosok dari jenis akar-akar tumbuh-tumbuhan maupun daun-daunan yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi obat. Jenis Obat seperti ini disebut "MAKATANA".
namun apabila Balian mengkonstatir bahwa penyakit yang diderita itu disebabkan oleh pelanggaran terhadap ketentuan adat-istiadat misalnya tidak mengadakan upacara sesajen pada waktu membenamkan Leput (Kosowut dalam bahasa Toundanouw) disawah sehingga menimbulkan kemarahan si penjaga tempat itu lalu menimbulkan sakit bagi dirinya, lalu dikatakan oleh Sang Balian, bahwa sebab penyakitnya itu adalah pelanggaran adat. Dengan ini sang Balian memerintahkan keluarga yang bersangkutan untuk menyediakan perlengkapan yang diperlukan bagi upacara Mapelii. Hal-hal yang harus disiapkan antara lain mendirikan sebuah pondok ditempat peristiwa terjadinya sakit atau didekat kebun sawah/leput tadi, seekor babi yang sedang besarnya tetapi rambutnya bergelang putih, ikan gabus besar, ikan kesa, bumbu-bumbu, tambelang (Tempat menanak nasi atau ikan/daging), sagu dan sayur-sayuran lainnya.
Bilamana semua keperluan tersebut telah disiapkan, kemudian Sang Balian menyuruh keluarga yang bersangkutan untuk memasak makanan tersebut. Menyembelih babi atau ayam dilakukan oleh seorang yang ditunjk oleh sang Balian dan biasanya "hati dari babi atau ayam itu kemudian dilihat oleh Sang Balian". Melalui hati binatang sembelihan itu, sang Balian mengetahui apa yang diderita oleh si sakit. Darahnya ditampung, dan orang-orang yang ada ditempat itu maupun rumah dipercik-percikan darah. Bagi orang digariskan didahi dan dirumah dipercian. Setelah selesai penyembelihan lalu dimasak. Sementara makanan-makanan tersebut dimasak, sang Balian menyiapkan semua keperluan upacara yaitu meletakkan dalam sebuah Nyiru berbagai bahan seperti Kapur Sirih, Sirih, Pinang, Tembakau, Pucuk daun tawaang, Kedeng, Batu-batuan yang berkilat, dan juga memakai manik-manik yang dikalungkan dileher sang Balian. Sesudah hal ini disiapkan, sang Balian mengucapkan kalimat-kalimat berupa permohonan kepada para roh leluhur atau Dewa agar meringankan sakit si penderita.
Sebelum berangkat ke kebun untuk upacara Maposan,, si penderita diadakan "Tipasen" atau "Sawuan", yang artinya mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh orang sakit dengan cara menggosok-gosokan tangannya kebadan dan anggota badan si penderita. Pada waktu ini, sang Balian kedengaran seakan-akan bersiul lalu tiba-tiba ia menarik tangannya dari badan si penderita dan ditangannya telah terdapat lidi kecil, tulang kecil, gigi kecil dan lain sebagainya, yang dianggapnya salah satu penyebab sakit. Kedengaran kata-kata setiap kali ia menggosokkan tangannya kepada si penderita "Baitu-baitu....." lalu ditariknya sesuatu benda dalam anggota atau tubuh si sakit, bila mana seorang sakit tidak perlu dengan upacara Tombolihud atau Maposanan, maka sang Balian cukup dengan Tipasan atau Sawuan saja maka si penderita diharapkan sembuh dari penyakitnya.
Namun apabila penyakit dianggap terlalu berat dan berbahaya, dilanjutkan dengan Maposanan atau Mapelii. Setelah makan dan perlengkapan lainnya selesai, kemudian mereka berangkat kekebun ditempat uapacara. Setiba ditempat tujuan, Sang Balian menyuruh seorang tua untuk pergi ke Leput atau Kosowut dan memasang tiga batang Tuis. Di ujung batang tuis itu digantungkan pucuk daun tawaang, setangkai buah pinang yang baru dikeluarkan dari seludangnya, dan kain bercorak kemerah-merahan. laki-laki lainnya membuat pondok menyimpan makanan yang dibawa dari rumah. kemudian itu, Balian pergi berbicara dalam bahasanya sambil melemparkan kemulut leput (Kosowut) penggalan-penggalan sagu, ikan, bumbu-bumbu makanan tadi, sambil memanggil dewa-dewi untuk menerima sesajen itu. Orang-orang lain telah mengelarkan makanan yang dibawa diatas daun pisang dipondok. Sang Balian meminta pada saat itu agar para dewa tidak mengganggu lagi dan berjanji untuk mentaati ketentuan adat, dan meminta agar jiwa dari orang yang sakit itu tidak diganggu dan disakiti lagi.
Sesudah upacara di Kosowut (Leput) tadi selesai, maka Balian dan orang-orang tua yang ikut padanya di Leput tadi segera kembali ke pondok. Setiba dipondok, Balian memerintahkan agar makanan-makanan yang digelarkan tadi segera dimakan dan selama makan-minum tidak boleh kedengaran suara bersahak-sahak. Setelah pukul tiga petang hari, semua peserta upacara pada jam 12.00 siang itu, pulang kerumah sipenderita. Sebelum pulang maka ayam kecil (anak ayam) dikurung dalam sangkar dan digantungkan dipondok sambil dibiarkan berciap-ciap, sebagai isyarat bagi dewa-dewi yang menjaga tempat itu bahwa anak ayam yang ditinggalkan itu sebagai tambahan persembahan bagi mereka yang tidak kelihatan. Setelah digantungkan anak ayam itu, secara terburu-buru semua yang hadir ditempat itu melangkahkan kakinya cepat-cepat pulang kerumah dan tidak boleh ada yang ketinggalan dibelakang. Setiba dirumah, lalu sang Balian datang kepada si penderita dan mengibaskan daun tawaang keseluruh tubuhnya sambil mengumandangkan kalimat-kalimat penyembuhan. Kemudian itu, sang Balian memberikan makanan-minuman kepada si penderita dan selesailah upacara Mapelii atau Maposanan, dan dari sini diharapkan si penderita mengalami kesembuhan badaniah.
Selain dari pada jenis kepercayaan atau religi Mapelii atau Maposanan tersebut diatas, dan yang dianggap bersifat kebaikan karena membuat orang sakit menjadi sembuh, dikenal juga religi yang mendatangkan kesulitan, kerusakan bahkan malapetaka bagi orang-orang yang masih hidup. Religi ini disebut dengan "MAMAHU atau MATUBAG". Mamahu berasal dari kata bahu yang artinya memberi makanan dengan cara menghamburkannya ketanah atau meletakkannya kedalam palungan atau piring kecil. Orang yang melakukan kepercayaan ini disebut "TAPEMAHU, TAPARIARA". Apabila perbuatan itu ditujukan untuk membinasakan orang lain disebut "TAPENAWOI". Perbuatan mamahu juga disebut "MAPOHEI" ialah memberi makan pada mahluk yang tidak kelihatan yang dapat dipergunakan untuk merugikan usaha bahkan orang lain, yang dianggap oleh si Tapemahu atau si Tapariara menyaingi kehidupannya ataupun orang yang disaingi. Menurut religi penduduk masa purba, disamping adanya roh-roh jahat yang bergentalayang di muka bumi, terdapat juga binatang-binatang yang dapat digunakan untuk keperluan tertentu. Binatang-binatang yang tidak kelihatan itu disebut "TAMBOKO" yang berada didalam air, sungai, kolam atau danau.
Para Tamboko tersebut biasanya dipelihara oleh si Tapemahu atau si Tapariara dengan cara memberi makanan. Pemberian makanan diadakan pada waktu siang/tengah hari kira-kira jam 12.00 atau ketika orang-orang sedang beristirahat, pulang dari pekerjaan/pertanian. Si Tapemahu/Tapariara memanggil para Tamboko tersebut untuk diberi makan. Bilamana si Tapemahu/Tapariara menginginkan sesuatu, maka ia dapat meyuruh para Tamboko itu untuk melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Misalnya menyakiti orang lain, merusak tanaman dikebun ataupun menimbulkan kerugian bagi usaha orang lain seperti perdagangan. Di lain pihak, dapat pula si Tapemahu/Tapariara memanggil arwah atau roh orang-orang yang jahat yang telah mati untuk disuruh membinasakan secara mendadak orang lain. Dalam kejadian seperti ini maka tindakan si tapemahu/Tapariara disebut "MAPOHEI". Baik perbuatan mamahu, tapemahu/tapariara tersebut maupun kegiatan mapohei dikategorikan berbahaya dan tidak baik. Hanya kadar perbuatan dari Mapohei dianggap lebih berbahaya karena mendatangkan kematian bagi orang yang dikehendakinya.
Selain dari perbuatan tersebut, juga dikenal apa yang disebut "MATUBAG". kalau mamahu, mapohei dilakukan pada waktu tengah hari ditempat-tempat yang sunyi didekat kali, danau atau kolam, maka Matubag dilakukan oleh si Petubag (yang melakukan perbuatan jahat) diwaktu malam hari dengan mempergunakan alat peniup dari bambu yang serupa dengan suling. Yang dipanggil oleh si petubag adalah burung manguni atau burung "Dumerekah". Melalui burung manguni atau dumerekah si petubag meminta melalui perantaraan burung untuk membinasakan orang-orang yang tidak dikehendaki. Adakalanya, perbuatan yang dilakukan oleh si petubag dapat juga berupa menimbulkan kebakaran bagi orang yang sedang melakukan pengasapan kopra atau merusak perkebunan.
1 komentar:
Sempat saya melihatnys bahkan orang yang bisa mengobati menggunakan rumput bowelei kanalu dan dosapukan ke badan yang sakit dsn berjatuhan barang ysng biasa mencelakai orang seperti pecahan kaca,paku dan jarum
Posting Komentar