Perjuangan Masyarakat Minahasa Bandung
Kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia sejak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus tumbuh pesat di Bandung, kota kosmopolitan yang pernah menjadi markas besar Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. Bandung juga terkenal sebagai “student Center,” atau kota mahasiswa. Kota ini dan menjadi cita-cita anak-anak di Minahasa ketika masih berada di bangku sekolah di kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan di Bandung. Terutama memasuki perguruan tinggi teknologi Bandung (Bandung Technologie Hoge School), yang kemudian dikenalan Institut Teknologi Bandung, ITB). Jawa-Barat, khususnya Bandung sudah dikenal masyarakat Minahasa sejak 1880’an.
Ketika itu antara 1880-1900 pihak Belanda merekrut sekitar 5.000 pemuda Kawanua menjadi militer dan berdinas di KNIL. Hal ini terjadi ketika pasukan Rangers dari Afrika-Selatan yang digunakan Belanda dalam perang Aceh di tarik oleh pemerintah Afrika-Selatan. Karena pasukan ini yang ahli dalam perang hutan, akan diterjunkan dalam Perang Boer yang sedang berkecamuk di Afrika-Selatan. Untuk mengganti posisi pasukan Rangers Afrika-Selatan ini hingga pihak KNIL menggunakan orang-orang Minahasa yang di rekrut dari berbagai pelosok daerah Minahasa.
Mereka ini datang secara bertahap di datangkan dan mulanya menempati daerah Subang, yang waktu itu menjadi “training ground” untuk mendidik pasukan khusus menjadi Komando Rangers. Lagi pula Bandung waktu itu sudah menjadi Markas Besar KNIL. Yang tidak dapat dikesampingkan, sebagai “student center,” dari Bandung juga muncul pemikiran-pemikiran nasionalisme kebangsaan. Soekarno yang juga alumnus ITB menjadi menonjol dengan penampilan nasionalisme pertengahan 1920’an. Sejak itupun nasionalisme kebangsaan menyebar luas di kalangan intelektual, mahasiswa dan pelajar Bandung dan sekitarnya.
Termasuk pula kalangan masyarakat Kawanua yang bermukim dan menyatu dengan masyarakat Parahiyangan. Melalui pendidikan hingga mereka mengenal nasionalisme yang berjuang melawan keterbelakangan dan kemiskinan. Melalui pendidikan mereka meperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan hak azasi berbangsa. Dr. GSSJ Ratu Langie mendirikan perusahaan asuransi dengan nama Indonesia di Bandung pada 1925.
Setelah pasca proklamasi kemerdekaan di Jakarta dan dibentuknya badan Perjuangan KRIS, mendapat sambutan positif kalangan pemuda-pemuda turunan Kawanua di Bandung. Anti Kolonialisme Belanda yang menyulut di kota Bandung sempat pula membawa penderitaan bagi masyarakat Kawanua menjadi korban cercaan sebagai “anjing Belanda” dan sering dianiyaya.
Selama masa penjajahan Jepang, kaum nasionalis menanamkan rasa nasionalisme, terutama dalam jiwa para pemuda. Dengan berbagai cara, dan melalui gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Tentara) yang diketuai Bung Karno atau melalui "Paguyuban Pasundan" yang diketuai Otto Iskandar Dinata, generasi muda menyadari akan kebangsaannya dan rela berkorban demi kemerdekaannya. Gema Cetusan proklamasi kemerdekaan di Jakarta bergaung di Bandung, dan para pemuda segera menyusun, membangun dan menyatakan barisan-barisan perjuangan bersama rakyat, untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Untuk itu Arie Lasut dan Bert Warokka membentuk KRIS Bandung dan bergabung denan badan perjuangan APIS Bandung untuk menyelamatkan orang-orang Belanda. Mereka berhasil menyelamatkan Philip Tangkau, Arie Krikhoff Pangemanan dan Mangundap yang sempat di tahan dan nyaris dibunuh oleh pemuda-pemuda militant. KRIS Bandung giat menyelamatkan keluarga-keluarga Kawanua lainnya di pinggir kota Bandung, dan ditampung di bekas Hotel Schomper di seberang markas KRIS Bandung, jalan Naripan.
Sebelumnya, Arie Lasut, yang waktu itu menjabat kepala Jawatan Geologi, bersama Bert Warokka, bersama 20 pemuda Kawanua lainnya di Bandung Utara, memelopori pembentukan Angkatan Muda Sulawesi (AMS) Bandung. Organisasi ini di cetuskan mereka dari hasil pertemuan yang berlangsung di gedung Jawatan Geologi di Wilhelmina boulevard (kini Jalan Diponegoro), dipimpin oleh Arie Lasut.
Keanggotaan diperluas dengan masuknya pemuda-pemuda dari kota Bandung Selatan. Namun AMS sebagai organisasi mengatasi permasalahan masyarakat Kawanua di Bandung dirasakan terlalu kecil, sementara banyak pula organisasi kawanua berkembang di Bandung dengan tujuan serupa untuk membantu keluarga Kawanua dan berpartispasi aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa.
Di akhir bulan September, Arie bersama Bert menemui Daan Palar, yang di kenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat Kawanua di Bandung.
Palar setuju dengan maksud dan tujuan ini dan menghubungi para pemuda dari Minahasa Shokay –kelompok pemuka masyarakat Minahasa Bandung. Mereka ini antara lain adalah F. Nayoan, P A Lantang dan Dondo Kambey yang juga mendukung usaha ini. Palar juga menghubungi Mangundap (Onder Officier KNIL) untuk membantu dan merangkul kalangan Kawanua eks KNIL, karena Palar dibesarkan dilingkungan KNIL. Selain itu pihak AMS juga mendekati API (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS) Bandung. Ternyata terdapat persamaan garis pandang.
KRIS Bandung Didirikan
Pertemuan untuk mendirikan wadah perjuangan Sulawesi berlangsung di rumah Ir. Herling Laoh di Jalan Cimanuk. Di antara yang hadir, terdapat Ben Tumbelaka, Anwar Sonda, Arie Lasut, Bert Warokka, Lantang, Daan Palar dan Guus Mapaliey. Rapat itu memutuskan untuk melanjutkan pertemuan guna membentuk seksi propaganda dan peneranganbagi masyarakat Sulwesi, khususnya orang-orang Manado. Untuk itu, Ben Tumbelaka di tunjuk sebagai ketua panitya panyelenggara.
Sasaran pokok adalah memberi penjelasan perjuangan revolusi dan cita-cita mempertahankan proklamsi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat Minahasa di Bandung.
Waktu itu di Bandung tersiar kabar telah terbentuk organisasi kepemudaan, Angkatan Pemuda Indonesia (API) pimpinan Chaerul Saleh.
Pertemuan pemuda-pemuda Sulawesi Bandung pimpinan Tumbelaka dilakukan pada 6 Oktober 1945 di gedung Bumiputera, Jalan Lengkong Besar no. 6 Bandung. Pada malam itu acara dipenuhi tak hanya orang-orang Minahasa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, juga masyarakat Sangir-Talaud, Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Sulawesi Selatan.
Pertemuan itu bersifat konsolidasi dan memperkenalkan sesama pengurus dari masing-masing kelompok ethnis. Kemudian dilanjutkan pada 10 Oktober 1945 pukul 18.00 di gedung Loge (Loge gebouw) –kini Wastukencana. Pertemuan paripurna itu sepakat meresmikan Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS Bandung.
Untuk itu organisasi kepemudaan AMS melebur dan bergabung dengan APIS. APIS kemudian mencetuskan pernyataan solidatiras masyarakat Sulawesi Bandung memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu dari Jakarta, organisasi KRIS mengutus Alex Wenas dan Njong Umbas dengan maksud untuk mendirikan KRIS Bandung. Kedua mereka ini baru tahu bahwa APIS sudah berdiri.
Hal itu memudahkan mereka dan menghubungi Arie Lasut dan pengurus APIS di kantor Geologi Bandung, tempat Arie Lasut. Pertemuan terbatas di pimpin oleh Arie Lasut selaku tuan rumah didampingi Daan Palar dan lain-lain bersama utusan-utusan KRIS Jakarta, sepakat untuk segera mewujudkan organisasi KRIS cabang Bandung. Pada tanggal 8 Nopember 1945 dilakukan rapat anggota APIS di pendopo kabupaten Bandung.
Hari itu di bentuk Badan Perjuangan KRIS Bandung menggantikan APIS dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Didorong oleh rasa senasib dan seperjuangan, orang-orang asal Sulawesi di Bandung berbondong-bondong datang dan menghadiri rapat untuk mendapatkan pengarahan dari para pemuda-pemuda kawanua. Banyaknya pengunjung di luar perhitungan pengurus, sehingga banyak hadirin berdiri di luar gedung, di dekat jendela-jendela dan pintu. Mereka ingin mendapat penjelasan, pengarahan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam perjuangan bangsa itu.
Dalam rapat umum itu diresmikan berdirinya KRIS cabang Bandung, sebagai badan gabungan dari semua organisasi perjuangan kaum Sulawesi, yang terdiri dari seksi sosial dan seksi pertaha¬nan. Seksi sosial dipimpin Ny. Gunawati Wisynu Yuda dan Ny. Marietje Mapaliey-Mantik. Malam itu seksi pemuda, pimpinan Arie Lasut, mengumumkan akan membentuk pasukan tempur. Untuk itu dilakukan pendaftaran sukarelawan sebagai anggota pasu¬kan KRIS. Pada hari itu 92 orang menda¬ftarkan diri.
Pada waktu bersamaan kantor H G Rorimpandey (Gerard) di Jalan Tamblong 38, yang menghadap gang Coorde (kini Jalan Jaksa) ditetapkan sebagai markas pasukan KRIS Bandung.
KRIS Bandung di Tengah Kancah Perjuangan Fisik
Pasukan tempur (bersenjata) yang disusun seksi pertahanan KRIS, diberi nama "Pasukan KRIS Bandung". Pimpinannya dipercayakan kepada Yoenoes Dumais dengan H G Rorimpandey (Gerard) sebagai kepala staf. Anggota-anggotanya: Gerson Rambitan, Joost Dendeng, John Posumah, Papudi, Marundu, Endey, Cr. Karundeng, Yus Kawureng, Hans Losung, S A Kansil, Frans M Posumah, Joost Waworoentoe, Pua, Ben Sumampouw, Sam W G Awuy, Herto Katuuk, Josef A Warouw (Lole), Jootje Machmud Katili, Gustaaf H. Mantik, John Y Tumbelaka, Willy Rondonoewoe, Bert Mamuaja, Wim Muaya, Eddy Montung, Boy F Muntu, Jan P Sarapil, Fred Kodongan dll. Pasukan KRIS segera mengambil bagian dalam berbagai kegiatan bersenjata bersa¬ma organisasi pemuda Bandung lainnya. Pada bulan Nopember 1945, di bawah pimpinan Arudji Kartawinata (Panglima Divisi III TKR) seluruh kekuatan rakyat Bandung dihim¬pun untuk menggempur dan mengusir Inggris dan Belanda yang dengan dalih membebaskan tawanan-tawanan perang datang ke Bandung pada bulan Oktober 1945.
Pada 24 Nopember 1945 dengan serempak aliran listrik di seluruh kota Bandung dipadamkan. Pada saat itulah kekuatan rakyat melancarkan serangan terhadap posisi tentara Inggris/Sekutu yang berpusat di Bandung Utara, di Hotel Preanger dan Hotel Savoy Homan di bagian Selatan. Malam itu pasukan KRIS bergerak dalam dua kelompok ke arah Hotel Preanger hanya beberapa puluh meter dari markas Tamblong, dengan tujuan utama membentuk dan memilih pimpinan.
Sebagai pemimpin-pemimpin kelompok ditunjuk Gerson Rambitan dan Joost Dendeng, kedua mereka ini bekas tentara KNIL. Dengan persenjataan seadanya terdiri dari beberapa pucuk senapan panjang, beberapa pistol (mauser otomatis, buldog, dan sebagainya), beberapa granat tangan dan "bambu runcing", kelompok-kelompok pasukan KRIS menyerang kedudukan pertahanan Inggris, yaitu sarang-sarang mitraliur serta pos-pos penjagaan sekutu. Serangan umum itu segera disambut dan dibalas tentara Inggris dengan gencarnya.
Pada 26 Nopember 1945, di pagi hari markas pasukan KRIS Bandung dikepung tentara Inggris dan di berondong dengan berbagai jenis peluru yang dimuntahkan dari atas kendaraan "Bren-carrier" lapis baja. Wim Tumbelaka dan Lole Warouw yang pada waktu itu harus mengambil alih penjagaan markas dari Frans Posumah dan Kansil tidak lagi dapat memasuki gedung. Setelah pasukan Inggris meninggalkan tempat itu mereka memasuki gedung dan mendapatkan semua ruangan telah kosong, sedang di lantai banyak darah berceceran.
Pagi hari tu telah gugur sebagai pejuang Frans Posumah dan S.A. Kansil. Kedua pejuang tersebut merupakan tumbal pasukan KRIS yang pertama dalam perjuangan Kemerdekaan di Bandung. Menghadapi serbuan tentara Inggris yang berjumlah besar, pasukan KRIS tak dapat bertahan lama dan terpaksa meninggalkan markas melalui lubang yang telah dibuat sebelumnya pada tembok di belakang gedung. Seluruh pasukan berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh dan berkum¬pul kembali di sekitar gang Saat. Kedua korban, yang mereka bawa serta, diserahkan kepada pos PMI setempat, yang kemudian mengangkutnya ke RS Cicendo di mana kedua jenazah diserahkan kepada sekretaris KRIS Bandung, G.A. Mapaliey untuk diurus pemakamannya. Dengan kendaraan yang disediakan TKR, kedua jenazah itu diangkut dan dikuburkan di tempat penguburan Pandu dalam upacara agama Kristen Protestan yang sederhana, dipimpin Runtunewe.
Pada saat itu hanya beberapa teman seperjuangan yang dapat hadir, antara lain, suami istri Mapaliey-Mantik, Yootje M. Katili dan Nona Mangindaan, wanita pejuang yang bergabung dengan Polisi Tentara Bandung. Setelah pasukan KRIS berhasil meloloskan diri dari kepungan sekutu di markas KRIS, Gang Coorde, Yoenoes Dumais memutuskan memindahkan pasukan ke selatan. Bersama dia turut mundur H G Rorimpandey, Papudi, Joost Dendeng, Hans Losung, Cr. Karundeng, Jus Kawurang, dan lain-lain.
Kelompok ini untuk sementara mendirikan markasnya di Jalan Pangarang, dekat Jalan Lengkong Besar. Namun tentara Inggris melanjutkan aksi dan terus menggempur laskar pejuang KRIS. Di sana mereka disertai pasukan pejuang Repulik lainnya mengalami gempuran dan pemboman dari udara dan darat oleh tentara gabungan Inggris/NICA, yang berhasil menerobos sampai ke bagian selatan kota Bandung. Di samping itu para pejuang menghadapi ujian berat, akibat banjir besar kali Cikapundung, yang dengan ganas melanda daerah yang harus mereka lalui. Keesokan harinya kelompok pasukan KRIS pindah lagi ke kampung Sindangpalaj dan kemudian menuju Buahbatu.
Di gang Damai pasukan KRIS Bandung menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi yang bersimpati dan kagum terhadap perlawanan yang dilakukan pasukan KRIS walau dengan persenjataan seadanya, tetapi berani menghadapi pasukan gabungan Inggris/NICA dengan kelengkapan senjata yang lebih modern. Daya tarik ini hingga pemuda-pemuda non-Sulawesi ikut bergabung dan berjuang bahu-membahu bersama pemuda-pemuda KRIS. Di antaranya terdapat Ben Wattimena (Ambon), Adolf Roos alias Suwardi (Indo-Belanda), dan lain-lain. Sebagai hasilnya, pasukan KRIS Bandung semakin banyak menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi (Sunda, Jawa) menjadi anggota, karena mereka sadar akan keharusan kesatuan dan persatuan dalam kemerdekaan.
Laskar Wanita KRIS di Bandung
Waktu itu di Cibangkong terdapat sekelompok wanita Kawanua yang ikut berjuang dalam barisan Srikandi setempat di bawah pimpinan Ny. Palohon. Mereka bergabung dengan pasukan KRIS Bandung di bawah pimpinan Nn. Bertha Woengow membentuk pasukan Palang Merah KRIS. Di masa-masa mendatang mereka membuktikan jasa-jasanya yang sangat besar sebagai pejuang di daerah-daerah pertempuran sebagai prajurit kesehatan di garis depan. Pada waktu itu berlangsung perundingan antara Sekutu dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia, dipimpin oleh Menteri Penerangan RI, Mr. Amir Syarifuddin, di Bandung, yang mencapai persetujuan sementara tentang penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu dengan wilayah RI, yaitu jalan kereta api membagi Bandung dalam wilayah utara dan selatan. Pasukan KRIS Bandung bertugas menjaga dan mempertahankan daerah selatan sepanjang rel kereta api dan jalan raya dari Cikudapateuh ke timur sampai perbatasan Cicadas.
Tugas ini dilak¬sanakan dengan menempatkan pos-pos pengamat (kawal depan) di tempat-tempat strategis untuk mengamati tempat-tempat pertahanan tentara Inggris, antara lain pos penjagaan Inggris di sisi utara rel kereta api pada persilangan Jalan Kosambi-Jalan Raya Timur-Jalan stasiun Cikudapateuh.
Di samping itu secara teratur diadakan patroli di sepanjangl rel bagian selatan. Sementara itu pasukan KRIS Bandung berusaha mengadakan kontak dan hubungan baik dengan serdadu-serdadu India (Gurkha dan Sikh) yang bertugas di pos penjagaan Inggris terdepan.
Maksudnya mempengaruhi mereka agar dapat memahami dan memaklumi tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan penjaja¬han, supaya mereka mau memihak pada RI atau sekurang-kuragnnya tidak menghalangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Usaha itu cukup membawa hasil. Beberapa orang serdadu India menyeberang menjadi anggota TKR dan sampai akhir revolusi mereka berjuang bahu membahu dengan pejuang KRIS.
Pada 3 Desember tentara Sekutu mengadakan serangan terhadap stasiun kereta api dan Balai Besar Kereta Api yang dikuasai AMKA (Angkatan Muda Kereta Api). Mereka bergerak dengan mengerahkan kendaraan lapis baja dengan artileri. Serangan mereka mendapat perlawanan gigih dari para pejuang, hingga terjadi pertempuran sengit yang meminta banyak korban. Anggota-anggota pasukan KRIS Bandung turut melibatkan diri dalam pertempuran, yang dikenal dengan sebutan "pertempuran viaduct".
Banyak korban yang jatuh pada pihak pejuang, dan pada akhirnya serangan Inggris dapat dipatahkan.
Pada 6 Desember 1945, menjelang pagi subuh, tentara Inggris yang berkedudukan di Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger bergerak dengan mengerahkan kendaraan-kendaraan lapis baja ke arah Jalan Lengkong Besar dengan dalih hendak membebaskan orang-orang Belanda (Indo) yang ditahan di jalan Tumdorp dan Ciateul. Mereka harus melintasi rintangan-rintangan jalan yang telah dipasang para pejuang. Di samping itu di mulai dari jalan Cikawao, mereka terus-menerus diserang kesatuan-kesatuan TKR dan barisan laskar dan pejuang, termasuk di dalamnya anggota-anggota pasukan KRIS yang membela Kemerdekaan.
Pertempuran hidup atau mati berlangsung sepanjang hari. Pada tengah hari tentara Inggris mengerahkan pesawat-pesawat udara jenis pembom (B-25) dan mustang dan gencar membom dengan bom api dan menghujani tembakan dari udara di daerah Lengkong dan sekitarnya, tetapi para pejuang tetap melawan dengan gigih. Tetapi pertempuran sehari suntuh berlangsung sengit dan korban berjatuhan pada kedua belah pihak harus membayarnya dengan jiwa orang-orangnya.
Pada 16 Desember 1945, di markas KRIS, gang Deme Cibangkong, diadakan reorganisasi dalam badan perjuangan KRIS dan mengevaluasi hasil kegiatan perjuangan dan membagi pengalaman-pengalaman Belajar dari kekalahan, berlatih dalam pertempuran.
Semenjak markas KRIS di Jalan Tamblong ditinggalkan pada bulan November 1945, kelompok pasukan KRIS yang pertama tidak lengkap lagi. Ketika tentara Inggris menyerbu markas Tamblong, hanya sebagian, pasukan, yaitu yang giliran jaga, berada di markas, sedangkan yang lain bertugas pada siang hari belum hadir. Waktu itu pimpinan membagi anggota-anggota dalam beberapa kelompok untuk secara bergiliran bertugas siaga di markas. Pihak tentara Sekutu ketika terus memburu pasukan KRIS dan pejuang-pejuang lainnya. Semua tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang diserang dan digeledah, sehingga para pejuang harus berpindah-pindah tempat dan terdesak ke luar kota. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mudah bagi kelompok-kelompok pasukan KRIS yang terpencar mengada¬kan kontak dengan induk pasukannya. Untuk sementara mereka bergabung dengan pasukan-pasukan terdekat menghadapi serangan-serangan musuh.
Akibat penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu (Inggris) dan Republik pada bulan Desember 1945, Inggris menghentikan aksi-aksi operasinya ke selatan. Hal ini membuat pertempuran mereda dan situasi menjadi agak tenang. Dalam penyelidikan/ peninjauan ke daerah kampung Cibangkong yang baru dibebaskan (yang termasuk daerah Selatan) oleh pejuang gabungan. Di gang Deme pasukan KRIS mendapati dua buah rumah dalam keadaan kosong. Rumah-rumah itu segera mereka tempati dan kemudian menjadi markas baru pasukan KRIS Bandung.
Di tempat ini dilakukan konsolidasi pasukan KRIS. Anggota-anggota yang sudah sempat terpencar dicari untuk dikumpulkan kembali. Baik kelompok maupun seorang demi seorang mereka ditemukan dengan gembira kembali lagi. Tetapi ada juga yang tidak muncul untuk bergabung kembali dengan pasukan KRIS. Ada juga anggota yang sewaktu terjadi kekacauan oleh pertempuran, bergabung dengan KRIS, kembali ke induk pasukannya seperti Papudi, menjadi Kapten di TKR Batalion II (Soemarsono) dan Yus Kawureng, Cr. Karundeng, Marundu dan Endey, masing-masing menjadi Letnan di Batalion II yang sama. Lundert Losung (Netje) dan Marcel Mohammad, siswa Sekolah Teknik Tinggi, sudah lebih dulu mengundurkan diri, sewaktu pasukan masih bermarkas di Jalan Tamblong, mereka berangkat ke Jawa Tengah (Yogya). Di sana Losung bergabung dengan Tentara Pelajar dan kemudian di dalam suatu pertempuran melawan Belanda di Karanganyar, daerah Kertoardjo-Gombong, dia gugur sebagai bunga bangsa. Marcel Mohamad di kemudian hari kembali juga ke Bandung dan bergabung kembali setelah memasuki Resimen Pelopor.
Di samping itu di gang Damai muncul muka-muka baru, yaitu mereka yang ingin bergabung dalam pasukan KRIS Bandung yang tinggal di sekitar daerah itu, antara lain Yoost Assa dan Gerrit Teuru. Di antara orang-orang baru itu terdapat seorang pemuda remaja berusia 15 tahun, Jopie Tulis, yang juga ingin bergabung dengan pasukan. Dia membawa sebuah senapan Steyr.
Sebelum itu Jopie Tulis telah menjadi anggota BKR di tempat kediamannya di Sukadja¬di, Bandung Utara. Pada suatu malam, bersama-sama kawan-kawannya dari BKR, mereka berhasil mendapatkan senjata dari gudang senjata dan mesiu tentara Jepang dekat villa Isola (sekarang IKIP Bandung), yang pada siang harinya telah diledakkan. Beberapa hari setelah bergabung dengan pasukan KRIS, anak muda itu pergi menjemput ibu dan adik-adiknya yang masih di Bandung Utara. Dia ditahan pasukan Inggris dan diserahkan kepada NICA untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Oleh sekelompok pemuda Belanda/Indo, yang kedengarannya bernama van Goven dan Yansen, dia "diperiksa" dan dipukuli sampai babak belur. Tetapi nasibnya masih baik. Beberapa hari kemudian dia mendapat peluang melarikan diri. Dia harus melalui pos-pos penjagaan tentara Inggris dan Jepang. Dengan tabah dan ulet dia dapat melalui semua rintangan dan selamat tiba di selatan, di markas gang Deme, sekalipun dengan punggung yang terluka, penuh bilur-bilur bekas cambukan.
Pada suatu hari seorang bekas "instrumentenmaker" angkatan udara KNIL, Talumukir, ditahan oleh salah satu pasukan pejuang. Pasukan KRIS diminta membantunya. Hal itu disetujui, tetapi sebelumnya dia harus membuktikan kesungguhan berpihak pada Republik. Untuk itu bertugas membongkar sebuah gudang barang RAPWI/NICA yang terda¬pat di daerah Utara, dekat lapangan terbang Andir. Dengan bantuan dan kawalan Lole Warouw, Wim Tumbelaka dan Gustaaf Mantik, Talumukir berhasil membawa lari satu peti besar berisi bahan-bahan distrib¬usi NICA, yang kemudian diserahkan pada pasukan KRIS. Dia diteri¬ma menjadi anggota pasukan dan ditugaskan memimpin sebuah regu sekaligus bertindak sebagai instruktur/pelatih.
Hampir pada waktu bersamaan, keluarga Andries Luntungan dengan anaknya, John Luntungan, berhasil diamankan pasukan KRIS dari kediamannya di sebuah tempat terpencil, yang mendapat ancaman dari pemuda-pemuda rakyat.
Andries Luntungan, bekas ajudant onder officier angkatan udara KNIL, dalam pasukan KRIS diangkat menjadi instruktur. Di samping bertugas dalam rangka perjuangan bersenja¬ta, pasukan KRIS Bandung turut berperan dalam berbagai kegiatan serta usaha, sejak APIS didirikan sudah merupakan program kerja para pejuang Sulawesi Bandung, antara lain:
Dalam pada itu pasukan KRIS sudah membina kerjasama yang baik dengan badan-badan perjuangan lainnya, TKR dan barisan-barisan kelaskaran, dan dengan sendirinya dengan Markas Daerah Perjuangan Priangan, yang kemudian dikenal dengan sebutan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan atau MPPP di bawah pimpinan Aruji Kartawinata. Dalam usaha-usaha tersebut peranan Arie Lasut sangat menentukan.
Sekalipun tak seluruh program dapatdilaksanakan oleh seksi pertahanan dengan baik, untuk itu selalu diadakan kerjasama yang baik dengan KRIS umum/sosial di bawah pimpinan Daeng Moh. Untung dengan G A Mapaliey.
Lain usaha yang perlu juga disebut ialah usaha yang dilaksa¬nakan Guus Mapaliey dalam hal pencarian dan pemberian informasi mengenai gerakan pihak Inggris. Hal itu dia dapat lakukan, karena pada waktu itu dia masih bertahan tinggal di Jalan Westhoff, Bandung Utara, berseberangan jalan dengan daerah yang ditempati tentara Inggris, yang umumnya terdiri dari serdadu-serdadu Sikh dan Gurkha. Dengan demikian dia dapat menjalin hubungan baik dengan mereka. Pada mulanya beberapa serdadu India datang berkunjung ke rumahnya.
Dengan mereka ia dapat mengadakan percakapan tentang sifat-sifat nasionalisme yang bertitik tolak pada buku tentang Mahatma Gandhi, pemimpin besar perjuangan kemerdekaan dan gerakan swadeshi di India. Dengan menarik persamaan-persamaan dengan perjuangan bangsa India, maka perjuangan Indonesia menjadi hidup bagi orang-orang India tersebut, sehingga lambat laun mereka bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu tergambar dengan kerelaan mereka memberi berbagai informasi kepada Mapaliey tentang operasi yang akan dilancarkan tentara Inggris, sehingga berdasarkan keterangan itu KRIS dapat melakukan persiapan, dan memberitahukan rencana Inggris kepada pasukan/barisan melalui Soegiharto.
Soegiharto waktu itu menjadi opsir penghubung TKR atau langsung kepada pasukan Sukanda Bratamenggala, khususnya mengenai gerakan yang menyangkut daerah pertahanan utara Bandung. Beberapa kali sudah terbukti, bahwa informasi itu dapat menghindarkan pasukan dan rakyat dari malapetaka
Foto-foto: Bandung lautan api... Laskar bekumpul sebelum melakukan aksi gerilya. Pasukan Sekutu SEAC memasuki kota. Latihan menembak.
Sumber : Harry Kawilarang
Kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia sejak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus tumbuh pesat di Bandung, kota kosmopolitan yang pernah menjadi markas besar Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. Bandung juga terkenal sebagai “student Center,” atau kota mahasiswa. Kota ini dan menjadi cita-cita anak-anak di Minahasa ketika masih berada di bangku sekolah di kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan di Bandung. Terutama memasuki perguruan tinggi teknologi Bandung (Bandung Technologie Hoge School), yang kemudian dikenalan Institut Teknologi Bandung, ITB). Jawa-Barat, khususnya Bandung sudah dikenal masyarakat Minahasa sejak 1880’an.
Ketika itu antara 1880-1900 pihak Belanda merekrut sekitar 5.000 pemuda Kawanua menjadi militer dan berdinas di KNIL. Hal ini terjadi ketika pasukan Rangers dari Afrika-Selatan yang digunakan Belanda dalam perang Aceh di tarik oleh pemerintah Afrika-Selatan. Karena pasukan ini yang ahli dalam perang hutan, akan diterjunkan dalam Perang Boer yang sedang berkecamuk di Afrika-Selatan. Untuk mengganti posisi pasukan Rangers Afrika-Selatan ini hingga pihak KNIL menggunakan orang-orang Minahasa yang di rekrut dari berbagai pelosok daerah Minahasa.
Mereka ini datang secara bertahap di datangkan dan mulanya menempati daerah Subang, yang waktu itu menjadi “training ground” untuk mendidik pasukan khusus menjadi Komando Rangers. Lagi pula Bandung waktu itu sudah menjadi Markas Besar KNIL. Yang tidak dapat dikesampingkan, sebagai “student center,” dari Bandung juga muncul pemikiran-pemikiran nasionalisme kebangsaan. Soekarno yang juga alumnus ITB menjadi menonjol dengan penampilan nasionalisme pertengahan 1920’an. Sejak itupun nasionalisme kebangsaan menyebar luas di kalangan intelektual, mahasiswa dan pelajar Bandung dan sekitarnya.
Termasuk pula kalangan masyarakat Kawanua yang bermukim dan menyatu dengan masyarakat Parahiyangan. Melalui pendidikan hingga mereka mengenal nasionalisme yang berjuang melawan keterbelakangan dan kemiskinan. Melalui pendidikan mereka meperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan hak azasi berbangsa. Dr. GSSJ Ratu Langie mendirikan perusahaan asuransi dengan nama Indonesia di Bandung pada 1925.
Setelah pasca proklamasi kemerdekaan di Jakarta dan dibentuknya badan Perjuangan KRIS, mendapat sambutan positif kalangan pemuda-pemuda turunan Kawanua di Bandung. Anti Kolonialisme Belanda yang menyulut di kota Bandung sempat pula membawa penderitaan bagi masyarakat Kawanua menjadi korban cercaan sebagai “anjing Belanda” dan sering dianiyaya.
Selama masa penjajahan Jepang, kaum nasionalis menanamkan rasa nasionalisme, terutama dalam jiwa para pemuda. Dengan berbagai cara, dan melalui gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Tentara) yang diketuai Bung Karno atau melalui "Paguyuban Pasundan" yang diketuai Otto Iskandar Dinata, generasi muda menyadari akan kebangsaannya dan rela berkorban demi kemerdekaannya. Gema Cetusan proklamasi kemerdekaan di Jakarta bergaung di Bandung, dan para pemuda segera menyusun, membangun dan menyatakan barisan-barisan perjuangan bersama rakyat, untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Untuk itu Arie Lasut dan Bert Warokka membentuk KRIS Bandung dan bergabung denan badan perjuangan APIS Bandung untuk menyelamatkan orang-orang Belanda. Mereka berhasil menyelamatkan Philip Tangkau, Arie Krikhoff Pangemanan dan Mangundap yang sempat di tahan dan nyaris dibunuh oleh pemuda-pemuda militant. KRIS Bandung giat menyelamatkan keluarga-keluarga Kawanua lainnya di pinggir kota Bandung, dan ditampung di bekas Hotel Schomper di seberang markas KRIS Bandung, jalan Naripan.
Sebelumnya, Arie Lasut, yang waktu itu menjabat kepala Jawatan Geologi, bersama Bert Warokka, bersama 20 pemuda Kawanua lainnya di Bandung Utara, memelopori pembentukan Angkatan Muda Sulawesi (AMS) Bandung. Organisasi ini di cetuskan mereka dari hasil pertemuan yang berlangsung di gedung Jawatan Geologi di Wilhelmina boulevard (kini Jalan Diponegoro), dipimpin oleh Arie Lasut.
Keanggotaan diperluas dengan masuknya pemuda-pemuda dari kota Bandung Selatan. Namun AMS sebagai organisasi mengatasi permasalahan masyarakat Kawanua di Bandung dirasakan terlalu kecil, sementara banyak pula organisasi kawanua berkembang di Bandung dengan tujuan serupa untuk membantu keluarga Kawanua dan berpartispasi aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa.
Di akhir bulan September, Arie bersama Bert menemui Daan Palar, yang di kenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat Kawanua di Bandung.
Palar setuju dengan maksud dan tujuan ini dan menghubungi para pemuda dari Minahasa Shokay –kelompok pemuka masyarakat Minahasa Bandung. Mereka ini antara lain adalah F. Nayoan, P A Lantang dan Dondo Kambey yang juga mendukung usaha ini. Palar juga menghubungi Mangundap (Onder Officier KNIL) untuk membantu dan merangkul kalangan Kawanua eks KNIL, karena Palar dibesarkan dilingkungan KNIL. Selain itu pihak AMS juga mendekati API (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS) Bandung. Ternyata terdapat persamaan garis pandang.
KRIS Bandung Didirikan
Pertemuan untuk mendirikan wadah perjuangan Sulawesi berlangsung di rumah Ir. Herling Laoh di Jalan Cimanuk. Di antara yang hadir, terdapat Ben Tumbelaka, Anwar Sonda, Arie Lasut, Bert Warokka, Lantang, Daan Palar dan Guus Mapaliey. Rapat itu memutuskan untuk melanjutkan pertemuan guna membentuk seksi propaganda dan peneranganbagi masyarakat Sulwesi, khususnya orang-orang Manado. Untuk itu, Ben Tumbelaka di tunjuk sebagai ketua panitya panyelenggara.
Sasaran pokok adalah memberi penjelasan perjuangan revolusi dan cita-cita mempertahankan proklamsi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat Minahasa di Bandung.
Waktu itu di Bandung tersiar kabar telah terbentuk organisasi kepemudaan, Angkatan Pemuda Indonesia (API) pimpinan Chaerul Saleh.
Pertemuan pemuda-pemuda Sulawesi Bandung pimpinan Tumbelaka dilakukan pada 6 Oktober 1945 di gedung Bumiputera, Jalan Lengkong Besar no. 6 Bandung. Pada malam itu acara dipenuhi tak hanya orang-orang Minahasa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, juga masyarakat Sangir-Talaud, Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Sulawesi Selatan.
Pertemuan itu bersifat konsolidasi dan memperkenalkan sesama pengurus dari masing-masing kelompok ethnis. Kemudian dilanjutkan pada 10 Oktober 1945 pukul 18.00 di gedung Loge (Loge gebouw) –kini Wastukencana. Pertemuan paripurna itu sepakat meresmikan Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS Bandung.
Untuk itu organisasi kepemudaan AMS melebur dan bergabung dengan APIS. APIS kemudian mencetuskan pernyataan solidatiras masyarakat Sulawesi Bandung memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu dari Jakarta, organisasi KRIS mengutus Alex Wenas dan Njong Umbas dengan maksud untuk mendirikan KRIS Bandung. Kedua mereka ini baru tahu bahwa APIS sudah berdiri.
Hal itu memudahkan mereka dan menghubungi Arie Lasut dan pengurus APIS di kantor Geologi Bandung, tempat Arie Lasut. Pertemuan terbatas di pimpin oleh Arie Lasut selaku tuan rumah didampingi Daan Palar dan lain-lain bersama utusan-utusan KRIS Jakarta, sepakat untuk segera mewujudkan organisasi KRIS cabang Bandung. Pada tanggal 8 Nopember 1945 dilakukan rapat anggota APIS di pendopo kabupaten Bandung.
Hari itu di bentuk Badan Perjuangan KRIS Bandung menggantikan APIS dengan susunan pengurus sebagai berikut:
- Ketua : Daan P. Palar
- Wakil ketua : Daeng Mohammad Untung
- Sekretaris : Gustaaf A. Mapaliey
- Bendahara : P.A. Lantang
- Bagian Sosial : Anwar Sonda + Leon Makaliwey
- Bagian Pemuda
- (Pertahanan) : Arie Lasut & Joenoes Dumais
- Penasehat : Ir. Herling Laoh + Ben Tumbelaka
Didorong oleh rasa senasib dan seperjuangan, orang-orang asal Sulawesi di Bandung berbondong-bondong datang dan menghadiri rapat untuk mendapatkan pengarahan dari para pemuda-pemuda kawanua. Banyaknya pengunjung di luar perhitungan pengurus, sehingga banyak hadirin berdiri di luar gedung, di dekat jendela-jendela dan pintu. Mereka ingin mendapat penjelasan, pengarahan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam perjuangan bangsa itu.
Dalam rapat umum itu diresmikan berdirinya KRIS cabang Bandung, sebagai badan gabungan dari semua organisasi perjuangan kaum Sulawesi, yang terdiri dari seksi sosial dan seksi pertaha¬nan. Seksi sosial dipimpin Ny. Gunawati Wisynu Yuda dan Ny. Marietje Mapaliey-Mantik. Malam itu seksi pemuda, pimpinan Arie Lasut, mengumumkan akan membentuk pasukan tempur. Untuk itu dilakukan pendaftaran sukarelawan sebagai anggota pasu¬kan KRIS. Pada hari itu 92 orang menda¬ftarkan diri.
Pada waktu bersamaan kantor H G Rorimpandey (Gerard) di Jalan Tamblong 38, yang menghadap gang Coorde (kini Jalan Jaksa) ditetapkan sebagai markas pasukan KRIS Bandung.
KRIS Bandung di Tengah Kancah Perjuangan Fisik
Pasukan tempur (bersenjata) yang disusun seksi pertahanan KRIS, diberi nama "Pasukan KRIS Bandung". Pimpinannya dipercayakan kepada Yoenoes Dumais dengan H G Rorimpandey (Gerard) sebagai kepala staf. Anggota-anggotanya: Gerson Rambitan, Joost Dendeng, John Posumah, Papudi, Marundu, Endey, Cr. Karundeng, Yus Kawureng, Hans Losung, S A Kansil, Frans M Posumah, Joost Waworoentoe, Pua, Ben Sumampouw, Sam W G Awuy, Herto Katuuk, Josef A Warouw (Lole), Jootje Machmud Katili, Gustaaf H. Mantik, John Y Tumbelaka, Willy Rondonoewoe, Bert Mamuaja, Wim Muaya, Eddy Montung, Boy F Muntu, Jan P Sarapil, Fred Kodongan dll. Pasukan KRIS segera mengambil bagian dalam berbagai kegiatan bersenjata bersa¬ma organisasi pemuda Bandung lainnya. Pada bulan Nopember 1945, di bawah pimpinan Arudji Kartawinata (Panglima Divisi III TKR) seluruh kekuatan rakyat Bandung dihim¬pun untuk menggempur dan mengusir Inggris dan Belanda yang dengan dalih membebaskan tawanan-tawanan perang datang ke Bandung pada bulan Oktober 1945.
Pada 24 Nopember 1945 dengan serempak aliran listrik di seluruh kota Bandung dipadamkan. Pada saat itulah kekuatan rakyat melancarkan serangan terhadap posisi tentara Inggris/Sekutu yang berpusat di Bandung Utara, di Hotel Preanger dan Hotel Savoy Homan di bagian Selatan. Malam itu pasukan KRIS bergerak dalam dua kelompok ke arah Hotel Preanger hanya beberapa puluh meter dari markas Tamblong, dengan tujuan utama membentuk dan memilih pimpinan.
Sebagai pemimpin-pemimpin kelompok ditunjuk Gerson Rambitan dan Joost Dendeng, kedua mereka ini bekas tentara KNIL. Dengan persenjataan seadanya terdiri dari beberapa pucuk senapan panjang, beberapa pistol (mauser otomatis, buldog, dan sebagainya), beberapa granat tangan dan "bambu runcing", kelompok-kelompok pasukan KRIS menyerang kedudukan pertahanan Inggris, yaitu sarang-sarang mitraliur serta pos-pos penjagaan sekutu. Serangan umum itu segera disambut dan dibalas tentara Inggris dengan gencarnya.
Pada 26 Nopember 1945, di pagi hari markas pasukan KRIS Bandung dikepung tentara Inggris dan di berondong dengan berbagai jenis peluru yang dimuntahkan dari atas kendaraan "Bren-carrier" lapis baja. Wim Tumbelaka dan Lole Warouw yang pada waktu itu harus mengambil alih penjagaan markas dari Frans Posumah dan Kansil tidak lagi dapat memasuki gedung. Setelah pasukan Inggris meninggalkan tempat itu mereka memasuki gedung dan mendapatkan semua ruangan telah kosong, sedang di lantai banyak darah berceceran.
Pagi hari tu telah gugur sebagai pejuang Frans Posumah dan S.A. Kansil. Kedua pejuang tersebut merupakan tumbal pasukan KRIS yang pertama dalam perjuangan Kemerdekaan di Bandung. Menghadapi serbuan tentara Inggris yang berjumlah besar, pasukan KRIS tak dapat bertahan lama dan terpaksa meninggalkan markas melalui lubang yang telah dibuat sebelumnya pada tembok di belakang gedung. Seluruh pasukan berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh dan berkum¬pul kembali di sekitar gang Saat. Kedua korban, yang mereka bawa serta, diserahkan kepada pos PMI setempat, yang kemudian mengangkutnya ke RS Cicendo di mana kedua jenazah diserahkan kepada sekretaris KRIS Bandung, G.A. Mapaliey untuk diurus pemakamannya. Dengan kendaraan yang disediakan TKR, kedua jenazah itu diangkut dan dikuburkan di tempat penguburan Pandu dalam upacara agama Kristen Protestan yang sederhana, dipimpin Runtunewe.
Pada saat itu hanya beberapa teman seperjuangan yang dapat hadir, antara lain, suami istri Mapaliey-Mantik, Yootje M. Katili dan Nona Mangindaan, wanita pejuang yang bergabung dengan Polisi Tentara Bandung. Setelah pasukan KRIS berhasil meloloskan diri dari kepungan sekutu di markas KRIS, Gang Coorde, Yoenoes Dumais memutuskan memindahkan pasukan ke selatan. Bersama dia turut mundur H G Rorimpandey, Papudi, Joost Dendeng, Hans Losung, Cr. Karundeng, Jus Kawurang, dan lain-lain.
Kelompok ini untuk sementara mendirikan markasnya di Jalan Pangarang, dekat Jalan Lengkong Besar. Namun tentara Inggris melanjutkan aksi dan terus menggempur laskar pejuang KRIS. Di sana mereka disertai pasukan pejuang Repulik lainnya mengalami gempuran dan pemboman dari udara dan darat oleh tentara gabungan Inggris/NICA, yang berhasil menerobos sampai ke bagian selatan kota Bandung. Di samping itu para pejuang menghadapi ujian berat, akibat banjir besar kali Cikapundung, yang dengan ganas melanda daerah yang harus mereka lalui. Keesokan harinya kelompok pasukan KRIS pindah lagi ke kampung Sindangpalaj dan kemudian menuju Buahbatu.
Di gang Damai pasukan KRIS Bandung menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi yang bersimpati dan kagum terhadap perlawanan yang dilakukan pasukan KRIS walau dengan persenjataan seadanya, tetapi berani menghadapi pasukan gabungan Inggris/NICA dengan kelengkapan senjata yang lebih modern. Daya tarik ini hingga pemuda-pemuda non-Sulawesi ikut bergabung dan berjuang bahu-membahu bersama pemuda-pemuda KRIS. Di antaranya terdapat Ben Wattimena (Ambon), Adolf Roos alias Suwardi (Indo-Belanda), dan lain-lain. Sebagai hasilnya, pasukan KRIS Bandung semakin banyak menerima pemuda-pemuda bukan asal Sulawesi (Sunda, Jawa) menjadi anggota, karena mereka sadar akan keharusan kesatuan dan persatuan dalam kemerdekaan.
Laskar Wanita KRIS di Bandung
Waktu itu di Cibangkong terdapat sekelompok wanita Kawanua yang ikut berjuang dalam barisan Srikandi setempat di bawah pimpinan Ny. Palohon. Mereka bergabung dengan pasukan KRIS Bandung di bawah pimpinan Nn. Bertha Woengow membentuk pasukan Palang Merah KRIS. Di masa-masa mendatang mereka membuktikan jasa-jasanya yang sangat besar sebagai pejuang di daerah-daerah pertempuran sebagai prajurit kesehatan di garis depan. Pada waktu itu berlangsung perundingan antara Sekutu dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia, dipimpin oleh Menteri Penerangan RI, Mr. Amir Syarifuddin, di Bandung, yang mencapai persetujuan sementara tentang penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu dengan wilayah RI, yaitu jalan kereta api membagi Bandung dalam wilayah utara dan selatan. Pasukan KRIS Bandung bertugas menjaga dan mempertahankan daerah selatan sepanjang rel kereta api dan jalan raya dari Cikudapateuh ke timur sampai perbatasan Cicadas.
Tugas ini dilak¬sanakan dengan menempatkan pos-pos pengamat (kawal depan) di tempat-tempat strategis untuk mengamati tempat-tempat pertahanan tentara Inggris, antara lain pos penjagaan Inggris di sisi utara rel kereta api pada persilangan Jalan Kosambi-Jalan Raya Timur-Jalan stasiun Cikudapateuh.
Di samping itu secara teratur diadakan patroli di sepanjangl rel bagian selatan. Sementara itu pasukan KRIS Bandung berusaha mengadakan kontak dan hubungan baik dengan serdadu-serdadu India (Gurkha dan Sikh) yang bertugas di pos penjagaan Inggris terdepan.
Maksudnya mempengaruhi mereka agar dapat memahami dan memaklumi tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan penjaja¬han, supaya mereka mau memihak pada RI atau sekurang-kuragnnya tidak menghalangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Usaha itu cukup membawa hasil. Beberapa orang serdadu India menyeberang menjadi anggota TKR dan sampai akhir revolusi mereka berjuang bahu membahu dengan pejuang KRIS.
Pada 3 Desember tentara Sekutu mengadakan serangan terhadap stasiun kereta api dan Balai Besar Kereta Api yang dikuasai AMKA (Angkatan Muda Kereta Api). Mereka bergerak dengan mengerahkan kendaraan lapis baja dengan artileri. Serangan mereka mendapat perlawanan gigih dari para pejuang, hingga terjadi pertempuran sengit yang meminta banyak korban. Anggota-anggota pasukan KRIS Bandung turut melibatkan diri dalam pertempuran, yang dikenal dengan sebutan "pertempuran viaduct".
Banyak korban yang jatuh pada pihak pejuang, dan pada akhirnya serangan Inggris dapat dipatahkan.
Pada 6 Desember 1945, menjelang pagi subuh, tentara Inggris yang berkedudukan di Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger bergerak dengan mengerahkan kendaraan-kendaraan lapis baja ke arah Jalan Lengkong Besar dengan dalih hendak membebaskan orang-orang Belanda (Indo) yang ditahan di jalan Tumdorp dan Ciateul. Mereka harus melintasi rintangan-rintangan jalan yang telah dipasang para pejuang. Di samping itu di mulai dari jalan Cikawao, mereka terus-menerus diserang kesatuan-kesatuan TKR dan barisan laskar dan pejuang, termasuk di dalamnya anggota-anggota pasukan KRIS yang membela Kemerdekaan.
Pertempuran hidup atau mati berlangsung sepanjang hari. Pada tengah hari tentara Inggris mengerahkan pesawat-pesawat udara jenis pembom (B-25) dan mustang dan gencar membom dengan bom api dan menghujani tembakan dari udara di daerah Lengkong dan sekitarnya, tetapi para pejuang tetap melawan dengan gigih. Tetapi pertempuran sehari suntuh berlangsung sengit dan korban berjatuhan pada kedua belah pihak harus membayarnya dengan jiwa orang-orangnya.
Pada 16 Desember 1945, di markas KRIS, gang Deme Cibangkong, diadakan reorganisasi dalam badan perjuangan KRIS dan mengevaluasi hasil kegiatan perjuangan dan membagi pengalaman-pengalaman Belajar dari kekalahan, berlatih dalam pertempuran.
Semenjak markas KRIS di Jalan Tamblong ditinggalkan pada bulan November 1945, kelompok pasukan KRIS yang pertama tidak lengkap lagi. Ketika tentara Inggris menyerbu markas Tamblong, hanya sebagian, pasukan, yaitu yang giliran jaga, berada di markas, sedangkan yang lain bertugas pada siang hari belum hadir. Waktu itu pimpinan membagi anggota-anggota dalam beberapa kelompok untuk secara bergiliran bertugas siaga di markas. Pihak tentara Sekutu ketika terus memburu pasukan KRIS dan pejuang-pejuang lainnya. Semua tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang diserang dan digeledah, sehingga para pejuang harus berpindah-pindah tempat dan terdesak ke luar kota. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mudah bagi kelompok-kelompok pasukan KRIS yang terpencar mengada¬kan kontak dengan induk pasukannya. Untuk sementara mereka bergabung dengan pasukan-pasukan terdekat menghadapi serangan-serangan musuh.
Akibat penetapan garis demarkasi antara wilayah patroli Sekutu (Inggris) dan Republik pada bulan Desember 1945, Inggris menghentikan aksi-aksi operasinya ke selatan. Hal ini membuat pertempuran mereda dan situasi menjadi agak tenang. Dalam penyelidikan/ peninjauan ke daerah kampung Cibangkong yang baru dibebaskan (yang termasuk daerah Selatan) oleh pejuang gabungan. Di gang Deme pasukan KRIS mendapati dua buah rumah dalam keadaan kosong. Rumah-rumah itu segera mereka tempati dan kemudian menjadi markas baru pasukan KRIS Bandung.
Di tempat ini dilakukan konsolidasi pasukan KRIS. Anggota-anggota yang sudah sempat terpencar dicari untuk dikumpulkan kembali. Baik kelompok maupun seorang demi seorang mereka ditemukan dengan gembira kembali lagi. Tetapi ada juga yang tidak muncul untuk bergabung kembali dengan pasukan KRIS. Ada juga anggota yang sewaktu terjadi kekacauan oleh pertempuran, bergabung dengan KRIS, kembali ke induk pasukannya seperti Papudi, menjadi Kapten di TKR Batalion II (Soemarsono) dan Yus Kawureng, Cr. Karundeng, Marundu dan Endey, masing-masing menjadi Letnan di Batalion II yang sama. Lundert Losung (Netje) dan Marcel Mohammad, siswa Sekolah Teknik Tinggi, sudah lebih dulu mengundurkan diri, sewaktu pasukan masih bermarkas di Jalan Tamblong, mereka berangkat ke Jawa Tengah (Yogya). Di sana Losung bergabung dengan Tentara Pelajar dan kemudian di dalam suatu pertempuran melawan Belanda di Karanganyar, daerah Kertoardjo-Gombong, dia gugur sebagai bunga bangsa. Marcel Mohamad di kemudian hari kembali juga ke Bandung dan bergabung kembali setelah memasuki Resimen Pelopor.
Di samping itu di gang Damai muncul muka-muka baru, yaitu mereka yang ingin bergabung dalam pasukan KRIS Bandung yang tinggal di sekitar daerah itu, antara lain Yoost Assa dan Gerrit Teuru. Di antara orang-orang baru itu terdapat seorang pemuda remaja berusia 15 tahun, Jopie Tulis, yang juga ingin bergabung dengan pasukan. Dia membawa sebuah senapan Steyr.
Sebelum itu Jopie Tulis telah menjadi anggota BKR di tempat kediamannya di Sukadja¬di, Bandung Utara. Pada suatu malam, bersama-sama kawan-kawannya dari BKR, mereka berhasil mendapatkan senjata dari gudang senjata dan mesiu tentara Jepang dekat villa Isola (sekarang IKIP Bandung), yang pada siang harinya telah diledakkan. Beberapa hari setelah bergabung dengan pasukan KRIS, anak muda itu pergi menjemput ibu dan adik-adiknya yang masih di Bandung Utara. Dia ditahan pasukan Inggris dan diserahkan kepada NICA untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Oleh sekelompok pemuda Belanda/Indo, yang kedengarannya bernama van Goven dan Yansen, dia "diperiksa" dan dipukuli sampai babak belur. Tetapi nasibnya masih baik. Beberapa hari kemudian dia mendapat peluang melarikan diri. Dia harus melalui pos-pos penjagaan tentara Inggris dan Jepang. Dengan tabah dan ulet dia dapat melalui semua rintangan dan selamat tiba di selatan, di markas gang Deme, sekalipun dengan punggung yang terluka, penuh bilur-bilur bekas cambukan.
Pada suatu hari seorang bekas "instrumentenmaker" angkatan udara KNIL, Talumukir, ditahan oleh salah satu pasukan pejuang. Pasukan KRIS diminta membantunya. Hal itu disetujui, tetapi sebelumnya dia harus membuktikan kesungguhan berpihak pada Republik. Untuk itu bertugas membongkar sebuah gudang barang RAPWI/NICA yang terda¬pat di daerah Utara, dekat lapangan terbang Andir. Dengan bantuan dan kawalan Lole Warouw, Wim Tumbelaka dan Gustaaf Mantik, Talumukir berhasil membawa lari satu peti besar berisi bahan-bahan distrib¬usi NICA, yang kemudian diserahkan pada pasukan KRIS. Dia diteri¬ma menjadi anggota pasukan dan ditugaskan memimpin sebuah regu sekaligus bertindak sebagai instruktur/pelatih.
Hampir pada waktu bersamaan, keluarga Andries Luntungan dengan anaknya, John Luntungan, berhasil diamankan pasukan KRIS dari kediamannya di sebuah tempat terpencil, yang mendapat ancaman dari pemuda-pemuda rakyat.
Andries Luntungan, bekas ajudant onder officier angkatan udara KNIL, dalam pasukan KRIS diangkat menjadi instruktur. Di samping bertugas dalam rangka perjuangan bersenja¬ta, pasukan KRIS Bandung turut berperan dalam berbagai kegiatan serta usaha, sejak APIS didirikan sudah merupakan program kerja para pejuang Sulawesi Bandung, antara lain:
- Menghapus prasangka umum, bahwa orang-orang Ambon dan Manado dengan sendirinya merupakan golongan pro Belanda dan dengan demikian menganggap dan memperlakukan mereka sebagai kaki tangan musuh;
- Membantu menampung keluarga-keluarga asal Sulawesi di Bandung yang mengalami kesusahan dan bahaya, karena harta benda dan jiwanya terancam. Dan sehubungan dengan itu mengadakan hubungan dengan semua orang Sulawesi, khususnya di daerah Priangan;
- Melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dan memperlancar usaha-usaha tersebut, yang secara langsung atau tidak langsung turut menunjang perjuangan bangsa, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Dalam pada itu pasukan KRIS sudah membina kerjasama yang baik dengan badan-badan perjuangan lainnya, TKR dan barisan-barisan kelaskaran, dan dengan sendirinya dengan Markas Daerah Perjuangan Priangan, yang kemudian dikenal dengan sebutan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan atau MPPP di bawah pimpinan Aruji Kartawinata. Dalam usaha-usaha tersebut peranan Arie Lasut sangat menentukan.
Sekalipun tak seluruh program dapatdilaksanakan oleh seksi pertahanan dengan baik, untuk itu selalu diadakan kerjasama yang baik dengan KRIS umum/sosial di bawah pimpinan Daeng Moh. Untung dengan G A Mapaliey.
Lain usaha yang perlu juga disebut ialah usaha yang dilaksa¬nakan Guus Mapaliey dalam hal pencarian dan pemberian informasi mengenai gerakan pihak Inggris. Hal itu dia dapat lakukan, karena pada waktu itu dia masih bertahan tinggal di Jalan Westhoff, Bandung Utara, berseberangan jalan dengan daerah yang ditempati tentara Inggris, yang umumnya terdiri dari serdadu-serdadu Sikh dan Gurkha. Dengan demikian dia dapat menjalin hubungan baik dengan mereka. Pada mulanya beberapa serdadu India datang berkunjung ke rumahnya.
Dengan mereka ia dapat mengadakan percakapan tentang sifat-sifat nasionalisme yang bertitik tolak pada buku tentang Mahatma Gandhi, pemimpin besar perjuangan kemerdekaan dan gerakan swadeshi di India. Dengan menarik persamaan-persamaan dengan perjuangan bangsa India, maka perjuangan Indonesia menjadi hidup bagi orang-orang India tersebut, sehingga lambat laun mereka bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu tergambar dengan kerelaan mereka memberi berbagai informasi kepada Mapaliey tentang operasi yang akan dilancarkan tentara Inggris, sehingga berdasarkan keterangan itu KRIS dapat melakukan persiapan, dan memberitahukan rencana Inggris kepada pasukan/barisan melalui Soegiharto.
Soegiharto waktu itu menjadi opsir penghubung TKR atau langsung kepada pasukan Sukanda Bratamenggala, khususnya mengenai gerakan yang menyangkut daerah pertahanan utara Bandung. Beberapa kali sudah terbukti, bahwa informasi itu dapat menghindarkan pasukan dan rakyat dari malapetaka
Foto-foto: Bandung lautan api... Laskar bekumpul sebelum melakukan aksi gerilya. Pasukan Sekutu SEAC memasuki kota. Latihan menembak.
Sumber : Harry Kawilarang
0 komentar:
Posting Komentar