Pulau Sulawesi atau yang pada zaman dahulu terkenal juga dengan sebutan
Celebes ini, selain memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah baik
berupa panorama yang menyejukkan pandangan, aneka marga satwa yang
lengkap, bahkan beberapa diantaranya merupakan binatang langka dan
endemic yang hanya hidup di Pulau ini seperti burung Maleo, Cuscus,
Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum), dan aneka fauna yang
demikian lengkap baik itu aneka bunga, sayur mayur dan juga berbagai
variasi buah-buahan.
Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah cukup membuat kagum siapa pun yang berkunjung ke tempat ini, terlebih lagi budaya dan
kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat masih senantiasa
lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang senantiasa
mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak
terpenting dari keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan
lagi dengan kombinasi variasi yang luar biasa dalam bidang panorama dan
cara kehidupan orang setempat yang memiliki tradisi yang unik akan
memikat pengunjung dari luar.
Nah, pada kesempatan kali ini, penulis akan mengulas secara
singkat apa-apa saja budaya dan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang
sampai saat ini masih tetap lestari di tengah-tengah kehidupan mereka,
terutama pada dan untuk upacara-upacara adatnya.
1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh
suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow.
Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau
mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat
ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar
bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah
menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang
anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil
pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis
yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai
pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara
syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita
saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau
munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka
dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio.
Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan
sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im
Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke
suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan
atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi
ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis
makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.
3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa
penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona
Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan
membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap
membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat
terhadap pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa
kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna.
Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan
untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat
itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon
berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada
zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni
batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman
suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan
batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat
menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard
Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit
Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang
membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para
pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan
gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan,
siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu
adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan
kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta
tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah
panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan
tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai
bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki
ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara
bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian:
Royorz endo.
0 komentar:
Posting Komentar