TARIAN KABASARAN
Tou Minahasa atau orang Minahasa dalam
sejarahnya merupakan waraney atau kesatria-kesatria perang di tanah
Minahasa. Dulunya disebut tanah malesung.
Tarian Kabasaran merupakan pencerminan salah satu kebudayaan Minahasa
dari masa lampau. Berperang untuk tou Minahasa memang merupakan suatu
yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani, mempunyai semangat
perjuangan, dan kebijaksanaan. Setiap waraney dibekali dengan berbagai
ketrampilan bela diri.
Sejarah
Dalam sejarah tou Minahasa banyak terlibat peperangan diataranya,
Minahasa pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan
berakhir tahun 1645. Pergerakan mengusir penjajahan lawan Kompeni
Belanda dan VOC, sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan
tou Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah
perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809. Pergerakan Mengusir
Penjajahan lawan Jepang, perjuangan tou Minahasa untuk merdeka sejak
tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke
seluruh Indonesia. Pergerakan mengusir penjajahan era kemerdekaan,
perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan
kemerdekaan, puncaknya perang 14 februari 1946.
Kehidupan peperangan dimasa lampau serta semangat perjuangan yang memang sudah ada, sejak lamapau, dalam setiap individu tou Minahasa, Hal inilah inti dari adanya tarian Kabasaran, ini merupakan warisan budaya dari nenemoyang tou Minahas. Membuat seni tari Kabasaran pun mengabadikan ritual yang di masa lampau memang dilaksanakan leluhur tou Minahasa setiap kali mereka hendak berperang.
Asal Usul Kata
Pada
awalnya tarian Kabasaran bernama sakalele dan berubah menjadi cakalele.
Saka berlaga dan lele berlari, berkejaran melompat-lompat. Kata
Kabasaran sendiri berasal dari bahasa Minahasa yaitu Kawasalan, ini
kemudian berkembang menjadi “Kabasaran” yang merupakan gabungan dua kata
“Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak
tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari
keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa regional Manado
kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah
menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa
dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi
tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.
Sampai saat ini
tarian Kabasaran merupakan salah satu tarian sakral di Sulawesi Utara
juga tarian sakral masyarakat suku Minahasa. Tari Kabasaran sangat akrab
dalam kehidupan masyarakat Minahasa, tarian perang Kabasaran dalam
kehidupan masyarakat Minahasa moderen, mendapat tempat dalam acara-acara
besar seperti perkawinan, penjemputan, dan pengawalan secara adat bagi
petinggi pemerintahan ataupun tokoh masyarakat.
Para penari dalam
tarian Kabasara semuanya adalah leleki, atau disebut waraney artinya
prajurit atau kesatria. Pemimpin dalam tarian adalah Tonaas Wangko
artinya pemimpin besar pasukan perang dalam hal ini berlaku sebagai
pemimpin tarian. Pada dasarnya setiap pelaku tarian perang Kabasaran saat
menari harus berwajah garang, tidak tersenyum, dan mata melotot. Hal
ini menandakan kegarangan dari pasukan perang Kabasaran suku Minahasa di
medan tempur. Pelaku tarian perang biasanya berjumlah minimal enam
waraney dan satu Tonaas Wangko. Selain itu ada para penabuh tambor.
Kostum tarian Kabasaran pada dasarnya, adalah tirai-tirai kain berwarna
merah. Warna merah dipilih karena melambangkan keberanian sedangkan
kostum yang berbentuk tirai layaknya baju tempur perang pada jaman
dahulu. Penutup kepala, biasanya dihiasi dengan paruh burung yang
menjulang keatas, dulunya paruh burung tersebut adalah paruh burung
Taong dalam bahasa regional Manado, disertai dengan buluh-buluhnya, ini
sebagai lambang kebesaran. Pada bagian depan kostum, biasanya terdapat
beberapa tengkorak kepala, tengkorak-tengkorak tersebut melambangkan
setiap waraney atau pasukan perang sudah pernah membunuh musuhnya di
medan tempur dan kepala musuhnya dipergukan sebagai tanda kehebatan.
Setiap penari dilengkapi dengan santi atau pedang perang dan kelung
atau perisai untuk menangkis serangan musuh. Pada sebagai pasukan tidak
memakai santi atau kelung melainkan memakai wengko atau tombak.
Keseluruhan kostum dalam tarian perang Kabasaran, setiap orang yang
memakai akan merasa dan terlihat gagah layaknya seorang waraney yang
penuh dengan keberanian dan siap untuk bertempur. Tarian kabasaran
selalu di iringi dengan tambor, alat musik yang di pukul. Tambor
dipergunakan untuk menambah semangat dari para pasukan saat berperang
atau saat melakukan tarian perang.
Dalam tarian perang Kabasaran
mempunyai aba-aba dari Tonaas Wangko serta pekikan semangat yang
diteriakan oleh seluruh waraney dan Tonaas Wangko. Pada saat tarian
perang Kabasara baru akan dimulai, Tonaas Wangko akan memberi aba-aba
masaruan artinya berhadapan, wangunan kelung wo santi artinya angkat
pedang dan perisai, makasampe artinya berdekatan, melompat kecil dua
langkah kedepan dan salaing mempertemukan perisai, sampai pada aba-aba
ini penari perang Kabasaran terbagi dalam dua barisan yang berhadapan
dan saling mengangkat pedang dan perisai. Tumbalan kelung artinya
turunkan perisai, aba-aba ini biasanya disertai dengan sumiki artinya
menghormat, memberikan penghormatan kepada lawan, hal ini melambangkan
kejantanan seorang waraney. Adapun hormat yang diberikan kepada orang
besar tetap memakai aba-aba sumiki. Berikut aba-aba rumenday artinya
kembali pada posis semula. Retaan kelung wo santi artinya menaruh
perisai dan pedang, biasanya aba-aba ini, pada bagian waraney akan
menari tanpa pedang dan perisai. Timboyan kelung wo santi artinya
mengambil perisai dan pedang. Mareng tampa artinya pulang atau kembali
ketempat semula. Semua aba-aba di atas diiringi dengan ketukan tambor
dua kali.
Tonaas Wangko akan mengeluarkan aba-aba cakalele untuk
adanya tarian perang saling berhadap-hadappan, saat aba-aba tersebut
diteriakan maka penari akan dengan garang menari mengunakan pedang dan
perisai, seakan saling menyerang. Tambor manari dan tambor maleyonda
aba-aba ini akan mengisyaratkan para waraney untuk melakukan tarian
dengan tidak mengunakan pedang dan perisai. Pada setiap aba-aba tersebut
selain diikuti dengan suara ketuakn tambor dua kali, diikuti juga
dengan teriakan dari para waraney.
Saat sudah mulai menari Tonaas
Wangko akan mengeluarkan teriakan I Yayat U Santi sebanyak tiga kali,
artinya angkat pedang untuk perang, lalu akan dibalas oleh para waraney
denga teriakan yang penuh semangat dan mengelegar. Teriakan itu akan
menumbuhkan gejolak emosi dan rasa keberanian yang tinggi terhadap para
waraney. Selain itu waranei juga akan mengeluarkan teriakan-teriakan
tuama, nyaku tuama, artinya saya laki-laki. Tetapi pengertian “Tuama”
dalm bahasa Minahasa bukan hanya sekadar laki-laki melainkan seorang
laki-laki yang penuh dengan keberanian, kebijaksanaan, cerdas, mempunyai
jiwa kepemimpinan, dan pantang menyerah.
Babak Tarian Kabasaran
1. Cakalele
Yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya
berkejaran melompat lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para
prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang, babak ini
menunjukkan keganasan berperang mereka pada tamu agung, serta untuk
memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung, dimana
mereka bisa membuat setan takut mengganggu tamu agung dari pengawalan
penari Kabasaran.
2. Kumoyak
Yang berasal dari kata koyak
artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju
mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata
koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan
yang telah dibunuh dalam peperangan.
3. Lalaya'an
Pada
bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari
rasa berang, dibabak ini para penari bisa berekspresi riang, dibanding
dua babak sebelumnya yang mengaharuskan mereka berwajah garang tanpa
senyum.
0 komentar:
Posting Komentar