Didalam zaman sesudah Mesolithicum, yakni di zaman Neolithicum (Sekitar 8000-2000 SM), masyarakat telah berpendapat tinggal tetap. Pertanian, Peternakan, Pembikinan Tembikar, Pengairan, Pertenunan, dll, telah dilakukan sehingga zaman ini merupakan zaman revolusi didalam dunia manusia. Manusia mulai mendapatkan rasa dan keadaan seperti manusia. Kalau pada zaman Palaeolithicum masih merupakan masyarakat pengumpul makanan, maka pada zaman Neolithicum ini telah menjadi masyarakat yang berproduksi makanan, artinya mereka tidak tunduk kepada alam lagi, akan tetapi justru telah menundukkan alam. Makanan yang mereka butuhkan, tidak mereka cari dengan cara mengumpulkan lagi, akan tetapi justru telah didapatkannya dengan cara memproduksi; jadi alam dipaksanya untuk menghasilkan makanan tersebut. Karena itulah, maka pertanian telah mereka kenal.
Beliung Lonjong |
Beliung Persegi |
Akibat dari adanya pertanian, maka kepandaian yang lain seperti peternakan, pengairan, pembuatan benda-benda tembikar dan lain-lain itu mulai dimilikinya pula. Artefak-artefak/Artifact (Merupakan benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah) dari zaman ini ada 2 macam ; yakni beliung persegi dan beliung lonjong. Dari alat-alat ini dapat diketahui, bahwa pada zaman Neolithicum, Indonesia pada umumnya dan Minahasa pada khususnya, kedatangan manusia baru dari Asia.
R.V. HEINE GELDERN |
Berdasarkan penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan mengenai artefak-artefak sebagai peninggalan budaya rakyat Indonesia Purba, Pra-sejarawan bernama ROBERT VON HEINE GELDERN (dalam bukunya R.V. Heine Gelderen,"Pre-historic research, in Nederland In-dies" Science and Scientific on Nederland-Indies, N.Y. 1945), menerangkan sebagai berikut ;
Pada Tahun 2000 SM yang bersamaan dengan zaman Neolithicum, dan pada kira-kira tahun 500 SM yang bersamaan dengan zaman budaya perunggu, mengalirlah gelombang pemindahan rakyat-rakyat dari Asia ke indonesia. Perpindahan ini memakan waktu yang cukup lama, karena alat-alatnyapun masih sederhana sekali. Pendapat ini didasarkan atas ditemukannya alat-alat berupa beliung dari batu yang berbentuk empat persegi di Indonesia bagian barat seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusatenggara dan Sulawesi bagian Barat. Sedangkan di Asia, beliung seperti ini ditemukan di Siam, Malaka, Burma, Vietnam, Kamboja ; Daerah Beliung persegi yang paling utama adalah Yunan di China Selatan yakni suatu tempat pertemuan sungai-sungai Salween, Mekkong, dan Irawadi.
Seterusnya, perpindahan gelombang kedua terjadi bersamaan dengan zaman Perunggu yakni kira-kira pada tahun 400-300 SM (Pangkoesmijoto Op-cit hal.24-29). Hasil budaya perunggu yang ditemukan adalah alat-alat beliung sepatu, nekara atau genderang, dll. Dengan ditemukannya alat-alat dari perunggu ini, yang sebagian besar dihiasi dengan mewah, maka Heine Geldern menarik kesimpulan lagi, bahwa asal rakyat-rakyat pembawa budaya perunggu itu adalah daerah yang terkenal dengan nama Dong Son. Karena itulah maka budaya perunggu Indonesia itu juga disebut dengan budaya Dong Son. Nekara yang ditemukan di Indonesia ini ada yang mempunyai ukuran yang besar dan ada yang kecil. Nekara yang ditemukan di Pajeng adalah nekara yang bergaris tengah 160 cm dan tinggi 198 cm. Indonesia bagian timur juga ditemukan nekara yakni Nusatenggara, Bali, Maluku, Selayar dan Irian Jaya. Di Nusatenggara disebut "MOKO" yang dianggap benda keramat.
Adapun pendukung dari budaya-budaya ini adalah orang Austronesia, dan oleh karena orang Austronesia ini terutama merupakan pendukung budaya beliung persegi, maka kedatangan orang Austronesia yang berasal dari Yunan ke Indonesia itupun terjadi disekitar tahun 2000 SM pula, dan mereka inilah yang menjadi Nenek Moyang bangsa Indonesia itu. Pendapat ini sebenarnya merupakan penguatan dari pendapat Dr. H. Kern (De taalkundige gegevens ter bepaling V.H.Stamland Maleisch Polinesische, Verspreide Geschriften VI, 1913-1928) yang pada tahun 1899 telah mencoba mengupas tentang penentuan daerah asal bangsa Melayu-Polynesia. Oleh karena sarjana ini adalah sarjana bahasa, maka penyelidikannyapun melewati perbandingan bahasa pula. Ia menyelidiki 113 bahasa daerah yang dipergunakan diseluruh Nusantara. Ke-113 bahasa itu dibandingkannya menurut ucapan-ucapan dan hukum-hukum bahasa lainnya, sehingga pada akhirnya H. Kern dapat menetapkan, bahwa bahasa-bahasa tersebut dulunya berasal dari satu rumpun bahasa yang dinamakan Bahasa Austronesia. Adapun perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai akibat terpencarnya tempat tinggal sipemakai setelah mereka itu menyebar keseluruh Nusantara ini, dan setelah terjadi perkembangan didaerahnya masing-masing. Dari kata-kata seperti Padi, Prau, Laut, Kelapa, Liman selat dll, H. Kern berpendapat bahwa orang Austronesia tadi sebelum menyebar, bertempat tinggal disuatu daerah yakni India Belakang, terutama ditempat penemuan sungai-sungai Salween, mekong dan Irawadi.
Dengan melihat zaman-zaman budaya tadi, Sarjana Geldern menetapkan waktu gelombang perpindahan yang membawa budaya-budaya besar ke Indonesia, yakni seperti tersebut diatas tahun 2000 SM bagi gelombang perpindahan yang pertama dan bersamaan dengan zaman Neolithicum, dan tahun 500-300 SM (Heekern, The Bronze Iron S'Gravengahe, Martinus Nijhoff 1958) bagi gelombang perpindahan yang kedua dan bersamaan dengan zaman perunggu. Orang-orang yang merantau dan menduduki pulau-pulau Indonesia dalam gelombang pertama ini ada juga yang pergi lebih jauh misalnya ke Filipina, ke Formosa, ke pulau-pulau yang bertebaran di Irian sampai ke-kepulauan paska di tengah-tengah lautan teduh. Ada pula yang berlayar ke arah Barat, ke kepulauan Andaman, Nikobar, ke Sailan sampai ke Madagaskar. Tentu saja perpindahan bangsa dan tersebarnya dalam daerah yang amat luas itu tidak berlangsung sekali jalan. Perpindahan itu dilakukan berpuak-puak, segelombang-segelombang, dan berlangsung berabad-abad lamanya. Bahkan beberapa ratus tahun SM rupanya masih terjadi perpindahan seperti pendapat Geldern tadi yaitu kira-kira tahun 500-300 SM ke Indonesia.
Bangsa yang datang ke filipina itu kemudian menyebar lagi. Dalam cerita rakyat bangsa Negrito disebut Kuritus dan bangsa Wedda disebut Lawangirung. Bangsa Kuritus sebagian ke Minahasa, tetapi tidak lama keluar lagi, sedangkan yang tinggal melebur dengan bangsa-bangsa pendatang baru. banyak hal-hal yang menunjukkan bahwa Orang Minahasa yang pertama datang melalui Philipina dan Sangir antara lain bahasa-bahasa Minahasa banyak bersamaan dengan bahasa-bahasa Philipina, demikian pula unsur-unsur kebudayaan lama yang bersamaan dan type-type antropologis. Jadi orang-orang yang datang pertama itu terhisab orang-orang Malayu-Tua (Proto-Malayu) dari Indo-Mongoloide seperti juga Orang Dayak, Toraja dan Batak. Setelah itu muncul lagi pendatang-pendatang imigran baru yang disebut Malayu-Muda (Deutro-Malayu) yang menyebar ke Nusantara. sebagian orang-orang pendatang baru masuk ke pulau-pulau Indonesia kira-kira tahun 500-300 SM.
Andaikata hasil penyelidikan tersebut dikaitkan dengan Mythos tentang Lumimu'ut yang dikatakan merupakan Nenek Moyang orang-orang Minahasa, maka kemungkinan sebelum kedatangannya telah datang Karema sebagai pendatang lebih dahulu pada zaman Proto-Malayu tersebut. sedangkan Lumimu'ut termasuk salah seorang yang datang kemudian pada zaman Malayu Muda. Orang-orang yang datang kemudian itu tersebar juga keseluruh kepulauan Indonesia dan menjadi rakyat daerah masing-masing yang sudah tentu lalu memiliki bahasanya sendiri-sendiri, dan rakyat yang tadinya satu itu terpecah-pecah menjadi suku-suku dengan bahasa-bahasa sukunya masing-masing. sehingga dengan demikian, mereka lalu tidak mengerti akan bahasa dari suku lain. Hal sedemikian ini dapat mudah terjadi karena kitapun memaklumi bahwa perhubungan antar suku bangsa dengan daerah-daerah yang tersebar itu, pada waktu itu merupakan rintangan didalam mengadakan pergaulan kembali. Dengan demikian, menurut perkembangan zaman, suku-suku itu lalu membentuk suku-suku dengan bahasanya sendiri.
Orang-orang yang datang ke Minahasa pada zaman Malayu-Muda dan kemudian dari pada itu, juga mengalami proses perkembangan yang demikian pula. dari beberapa rombongan lalu menyebar membentuk kelompok-kelompok. dari keluarga inti kemudian menjadi keluarga besar seketurunan dan karena perkawinan dengan pendatang-pendatang baru lalu menyebar dan akhirnya membentuk kelompok-kelompok manusia yang menjadi suku-suku di Minahasa. Walaupun demikian pendapat-pendapat tadi merupakan kemungkinan-kemungkinan, oleh karena hasil penelitian secara khusus tentang asal-usul orang-orang Minahasa dapat dikatakan masih sangat langkah. Seperti J. SCHWARZ kemukakan dalam bukunya "Tontemboasch Teksten" (J.A.T. Schwarz anak dari J.F. Schwarz, penginjil yang lahir di langowan, menjadi penginjil dan kemudian menjadi pendeta bantu di Sonder) "Tidak ada yang dapat mencari suatu peninggalan dari Suku Minahasa yang boleh menunjukkan bahwa keturunan mereka berasal dari Tiongkok ataupun Jepang". Demikian pula A.L.C. BECKMAN dalam bukunya Insulinde mengatakan "Tiadalah diketahui dari mana asalnya Suku Minahasa, tetapi berbagai keadaan menunjukkan bahwa mereka datangnya dari sebelah Utara". Demikian pula N.GRAAFLAND dalam bukunya De Minahasa 1 mengemukakan bahwa "Diantara penduduk Minahasa kita tak dapat menemukan autochtone....kita hanya dapat mengatakan tentang yang datang terdahulu kemudian dan yang paling akhir". M.B. VAN DER JACGT yang dikutip oleh H.M. TAULU dalam buku De Moluken Reis mengatakan "Kulitnya yang cerah dan matanya yang sipit dari Suku Minahasa, membawa pada pikiran bahwa mereka adalah berasal Jepang". Kemudian F.S. WATUSEKE dalam bukunya Sejarah Minahasa mengatakan bahwa "Sebagian dari Indo-Mongoloide ini datang ke Minahasa melalui Philipina dan merupakan Nenek-Moyang dari Suku-suku Minahasa" (F.S. WATUSEKE, Sejarah Minahasa, Manado, 1968 hal 13).
Menurut 2 orang bersaudara P. SARASIN dan F. SARASIN (H.M. VLEKKE, Geschiedenis van den Indischen Archipel, 1947) yang menyelidiki daerah-daerah pedalaman Sulawesi mengatakan bahwa "Penduduk asli kepulauan Indonesia adalah Ras yang bertubuh kecil dan berkulit kehitam-hitaman yang mendiami seluruh Asia Tenggara, yang adalah suatu daratan yang sangat luas. Pada akhir masa Es, terjadilah laut Tiongkok Selatan dan Laut jawa dan Kepulauan Indonesia terpisah dari daratan Asia. Sisa-sisa dari penduduk asli itu yakni Ras Wedda, adalah orang-orang Kubu dan Mamak dipedalaman Sumatera dan orang-orang Tuela di Sulawesi tengah. Maka terjadilah perpindahan bangsa-bangsa yang datang dari daerah-daerah Tiongkok Selatan, yakni Ras Malayu, yang oleh ahli-ahli anthropologi disebut Proto-Malayu dan Deutro Malayu. Rupa-rupanya Ras Deutro Malayu adalah Nenek Moyang dari semua bangsa yang tergabung dalam kelompok bangsa Malayu-Polinesia, yang mendiami daerah diantara pulau Taiwan, pulau Pas, kepulauan Fiji dan pulau-pulau Madagaskar. Ras Deutro-Malayu itu masuk ke kepulauan Indonesia kira-kira 300 tahun sebelum Masehi dan membawa serta peradaban Neolithicum. Keturunan ras Proto-Malayu terdesak oleh kaum emigran yang kedua, yaitu Ras Deutro Malayu yang juga datang dari daerah Tiongkok selatan, yakni Yunan dan sekitarnya pada masa antara tahun 300-200 SM. Mereka telah mempergunakan alat-alat besi dan senjata. Sisa-sisa Proto Malayu adalah orang-orang Gayo dan Alas di Aceh dan orang-orang Toraja.
Jadi apabila semua teori-teori yang telah diuraikan diatas diambil kesimpulan utama, maka Suku-suku yang ada di Minahasa adalah keturunan dari bangsa pendatang baru yaitu dari zaman Budaya Perunggu atau dari Malayu Muda yakni kira-kira pada tahun 400-200 SM. Diantara suku-suku bangsa Indonesia yang datang kesini pada waktu-waktu yang berlainan itu, tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam tingkat kebudayaannya. Tetapi bagaimanapun juga mereka semua telah mempunyai kebudayaan yang jauh lebih tinggi dari pada bangsa-bangsa asli pulau-pulau Indonesia. Mereka sudah dalam tingkatan kebudayaan perunggu, artinya alat-alat mereka sudah terbuat dari perunggu campuran dari tembaga dan tanah putih. Walaupun demikian letak dan keadaan tempat tinggal mereka yang berbeda-beda juga membawa akibat perbedaan tingkat perkembangan kebudayaannya dari satu pulau atau daerah dengan daerah lain, sehingga tidaklah semua bangsa pendatang baru tersebut secara bersama-sama maju dalam tingkatan peradabannya. Bagi daerah yang ditempati mereka mempunyai sumber-sumber alam yang tersedia maka kebudayaan mereka akan lebih berkembang, tetapi bagi daerah yang tidak atau kurang mempunai sumber-sumber alam, perkembangannya lambat dan bahkan tertinggal dari suku-suku bangsa pendatang baru yang berada didaerah lain.
0 komentar:
Posting Komentar