Petualangan para Pemerhati Budaya Toundanouw/Tonsawang dalam rangka mengunjungi Situs Budaya yang berada di sepanjang Bukit Abur Antara Desa Kali Kec. Tombatu dan Desa Ranoketang Atas Kec. Touluaan Kab. Minahasa Tenggara. (Tanggal 5 Juni 2014)
Para Pejuang / Pemerhati Budaya Minaesa-Minahasa Land bersama dengan Tonaas Suku Tonsawang.
Lesung ini merupakan sebagai Identitas anak Suku Tonsawang / Toundanouw.
Tampak depan dari Jalan Raya |
Dengan demikian, maka dari seluruh kesatuan hukum adat tersebut terdapat 21 orang pemimpin negeri atau sub-sistim kekerabatan yang tetap memegang ketentuan adat istiadat dari dan yang diturunkan oleh pemimpin tertinggi mereka yaitu Balian dan Tonaas. Ke-21 pemimpin tersebut dalam perkembangan kemudian hari dianggap orang-orang yang berpengaruh dan karena kemampuan mereka memimpin negeri taranak, akhirnya mereka tetap dihormati oleh warganya. Mereka mendapat pula keistimewaan-keistimewaan perlakuan dan pembagian-pembagian barang bergerak maupun tidak bergerak dari anggota/warga negeri. Mereka mendapatkan bantuan dari warga negeri seperti pembagian hasil buruan, atau diadakan upacara-upacara poso, juga hasil pertanian seperti padi, dll yang menjadi kewajiban anggota/warga negeri. Golongan pemimpin ini dalam susunan masyarakat disebut "MAHATELU PITU".
tanah-tanah keturunan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun selama mereka hidup ataupun telah meninggal. Karena Golongan Pasiowan Telu terus bertambah banyak maka kebutuhan akan pertanian maupun tempat tinggal semakin menyempit. Tetapi hal ini tidak dimungkinkan oleh aturan adat kebiasaan, tanpa seisin dari Balian atau Tonaas. Bila mereka mendapat isin dari Balian atau Tonaas, merekapun harus pertama-tama memenuhi kewajiban sebelum mendapatkan keluasan. Bahkan para Balian maupun Tonaas menganggap PASIOWAN TELU sebagai budak dan dalam pandangan mereka dianggap "Rendah".
Dengan terjadinya pemberontakan ini, maka sebagian dari ketiga golongan tadi melarikan diri atau mengungsi kedaerah-daerah aman. Sebagian pergi mengembara ke pulau-pulau disekitar Minahasa, sebagian kesebelah Utara Gunung Soputan, dan sebagian lagi dari Pasiowan Telu tetap bertahan di daerah asalnya yaitu disekitar Gunung dan Danau di sebelah Selatan Gunung Soputan, yaitu antara daerah Toundanouw (Tonsawang) sampai gunung Wulur Mahatus. Pengungsian itu sebagian melewati pantai timur di daerah Toundanouw yaitu Belang, lalu ke Bentenan dan pulau-pulau disekitar Maluku antara lain Tifore, Majoe dan Loloda. Sebagian lagi mengungsi dengan melalui Pantai Awuran (Amurang) kepulau-pulau di Laut Sulawesi Utara (Manado Tua, Talisey, Bengka, dll). Sebagian lagi ke arah Barat ke Bolaang Mongondow terus kedaerah Tomini dan ke Toli-toli atau Tanteli. Tetapi sebagian besar dari para pengungsi pergi kesebelah Utara Gunung soputan melalui antara Manimporok dan Soputan dan tiba di daerah Kanonang sekarang antara Kawangkoan dan Tumaratas.
Konon, mereka yang pergi mengembara di pulau-pulau disekitar Minahasa dalam suatu kurun waktu tertentu, kembali datang ke daerahnya. Itulah sebabnya beberapa penulis Barat mengatakan bahwa Suku Tonsawang kemudian masuk dari daerah pantai Kema ke Tonsea, lalu ke Kakas, Tompaso dan akhirnya kembali datang di daerah asalnya Toundanouw disekitar pegunungan Wulur Mahatus, lalu bersatu kembali dengan sisa-sisa penduduk asli. Juga disebutkan Suku Tondano, yang datang ke Tanjung Pulisan lalu menyebar ke pedalaman berasal dari pulau-pulau disekitar Minahasa. Tetapi sebetulnya mereka ini adalah diantara golongan PASIOWAN TELU serta prajurit-prajurit (Waraney-Waraney) yang mengungsi pada waktu terjadi pemberontakan di zaman itu.
Pertemuan itu dikatakan berhasil dan keputusan para pemimpin kelompok antara lain menerima susunan masyarakat baru dengan penetapan tempat tinggal kaum taranak yang tetap. Dari sini barulah kemudian timbul sebutan Tombulu, Tonsea, Tolour, Tontemboan, Tonsawang, dll. Hal yang sangat pelik dalam pertemuan untuk diselesaikan dikatakan masalah adat-istiadat maupun kebiasaan dan ini pada akhirnya tidak dicapai kata sepakat, kecuali disetujui bahwa masing-masing taranak dapat mengembangkan ketentuan-ketentuan adat-istiadat maupun kebiasaannya masing-masing dengan menghindari kelompok taranak tidak beradat. Walaupun demikian semua yang hadir tetap mengakui dirinya sama-sama berasal dari satu Kasuruan.
Dalam cerita tua di daerah Toundanouw (Tonsawang), kesembilan taranak yang dipimpin oleh Balian dan Tonaas itu tidaklah semua menurunkan pengganti-penggantinya. Dikatakan, bahwa dari 18 Pemimpin itu hanyalah 7 orang Balian dan Tonaas yang menurunkan pengganti-pengganti mereka, sedangkan yang lain meninggal sebelum mendapatkan pengganti dan kalaupun ia hidup tidak juga mendapat pengganti. Dengan perkataan lain terdapat Balian dan Tonaas yang tidak mendapatkan keturunan sampai meninggalnya. Sebagai akibat, maka taranak-taranak yang kehilangan pemimpin digabungkan dengan taranak-taranak lainnya dibawah satu kepemimpinan Tonaas dan Balian. Dari ketujuh Balian dan Tonaas itu dikatakan menurunkan beberapa orang anak. Biasanya Balian dan Tonaas mengangkat anak yang tertua, kedua dan ketiga sebagai pemimpin negeri taranak jika mereka telah dewasa dan memahami adat istiadat. Sedangkan anak-anak mereka yang lainnya diserahi kedudukan-kedudukan khusus dalam masyarakat atau menjadi calon pengganti bilamana salah satu dari Kakak mereka itu meninggal dunia atau cacat seumur hidup sehingga tidak dapat memegang jabatannya lagi.
Adapun peraturan-peraturan yang mengikat anggota mapalus adalah : harus berada ditempat pekerjaan pada waktu yang telah ditentukan ; dilarang meninggalkan tempat pekerjaan tanpa ijin dari Tua-im-palus ; tiap anggota tidak dibolehkan lengah atau lalai sepanjang jam kerja ; dilarang duduk, berdiri atau bercerita atau pura-pura bekerja ; harus berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang menjadi bagiannya, tanpa bantuan orang lain ; harus selesai bersama-sama dengan anggota-anggota lainnya ; harus melakukan pekerjaannya sesuai dengan keinginan dari yang mendapat giliran pekerjaan ; harus melakukan pekerjaan dengan baik, berkelakuan baik, tidak melanggar norma-norma kesusilaan atau hal-hal yang dapat mengacaukan mapalus ; menjaga citra (nama baik) mapalus.