Rabu, 07 Januari 2015

Pandangan Bangsa Barat Mengenai Tooensawah (Tonsawang)

Menurut N. Graafland dalam bukunya "De Minahasa" bahwa orang-orang yang dijumpainya didaerah ini "Roman mukanya tidaklah menarik, yang terdapat pada orang Minahasa lainnya. Tulang pipi yang menonjol, demikian juga tulang dagu, hidung pesek dan lebar, tetapi badannya tinggi, tetapi tidak berbentuk tegap, rambutnya panjang seperti juga terdapat didaerah Minahasa dahulu serta bahasanya berbeda dengan bahasa Minahasa lainnya, sehingga tidaklah dapat dihisabkan kepada rumpun bahasa Minahasa lainnya.... dan juga adat-istiadatnya lain. Jarang mereka makan nasi; mereka lebih suka makan sagu. Diatas kubur mereka dibangunkan rumah berbentuk kecil atau sejenis gapura yang tidak terdapat ditempat lain di Minahasa. Lain dari pada itu, mereka sama dengan orang-orang Minahasa dalam keterbelakangan mereka, dan keadaan ini berlarut lebih lama dari pada daerah lain. Seperti sepuluh tahun yang lalu (1850), saya (N. Graafland) dapat melihat disini rumah-rumah berbentuk bangsal (Gedung), dimana didalamnya tidak ada kebersihan dan kerapian, oleh karena kelompok-kelompok (Rumpun-rumpun terdiri dari lima belas sampai dua puluh keluarga terhimpun disini). Lebih lama dari tempat-tempat lain, mereka liar dan takut didatangi orang-orang asing dan usaha serta daya untuk membudayakan mereka oleh beberapa orang, dirumah dari Penginjil SCHWARZ dan HERMANN pada mulanya tidak berhasil...... Suatu waktu mereka menghilang dan melarikan diri kehutan rimba. Kemudian dengan kebijaksanaan Van de CAPPELEN dan TANDELOO maka keadaan menjadi lebih baik, mereka mulai mengerti akan hal agama dan usaha pembudayaan".

Graafland lebih lanjut mengatakan, Tonsawang mempunyai masa depan yang baik. Materi dari distrik ini memberikan banyak kemungkinan. Hanya dengan sawah-sawah dan ladang padi basah, mereka dapat menjadi kaya. Lebih dari pada itu ikan melimpah, karena mereka mempunyai kolam-kolam ikan dan danau. Selainnya mereka mempunyai kebun-kebun kopi dan kelapa yang sudah dapat diharapkan memberikan penghasilan yang baik, jugapun perihal agama dapatlah diharapkan yang baik pula. Keadaan sekolah mulai baik, orang mulai menerima agama Kristen, beberapa orang sudah menjadi Kristen. Tidak ada distrik yang begitu cepat, hanya dalam beberapa tahun sajalah mengalami perubahan".

Lebih lanjut Dr. J.G.F. Riedel menulis dalam bukunya tentang daerah ini " De oorsprong van To-oen-sa-wah" halaman 479-480 : Hunne vooronders van de menschen van Balak Tooensawah volgens hunne overleveringen moeten op de beide eilanden tusschen Ternate en Manado, Tifore en Majoe gewoond hebben. Kema als het errste strand, dat ze vonden en ze werden aldaar door de inlanders zeer wel ontvangen en hun een plaats tot verblijf aanwezen. Spoedig echter ontdekken ze, dat bij ieder feest menschen van hen gestolen en aldaar opgeofferd werden, waarop ze dan naar Belang zijn vertrokken, waar hun, evenals te Kakas en Tooempaso, een gelijk lot trof, zoodat ze besloten zich geheel in het gebergte en wel in het meer aan den voet van de Sopoetan, waar thans hun verblijf is, neder te zitten. Het eerste en tweede jaar na hun komst aldaar, werden hier nog steeds, op de tijden der feesten, menschen onthoofd, zoodat ze besloten een heining om hun verblijf te stellen en hunne waakzaamheid te verdubbelen, wanneer de padi begon rijp te worden, hetgeen tot heden het geval is, Het houden der feesten bij het rijp worden der padi is nog tot heden in gebruik, en tegen dat demeeste feesten gehouden werden, verwijdenden zij zich met hunne huisgezinnen in de dichtste bosschen. Daar ze op deze wijze eenige jaren zonder volksverlies hadden doorgebracht, waren ze sterk genoeg om geen overlast der overige balaks te lijden en hebben ze de zelve maatregelen veel schade toegebracht".

Het karakter van de Balak Tooensawah, "hier zeker heerscht eene groote zedeloosheid. Omstandigheden, niet de natuurlijke neiging des volks, hebben ze doen geboren worden. De eerste of de voornaamste, welke deze zedeloosheid heeft veroorzaakt meen ik in de ligging der plaats te vinden, een kleine dijk, waarop hunne negorijen en de huizen vooral zeer dight aan elkander gebouwd zijn, en in welke laatsten wolligt twee of drie honderd menschen woonden, in huisgezinnen afgedeeld meestal niet meer als een plaats van of meer voeten diameter in hetzelve bewoonende. Indeze ingekrompen plaats woonen nu man, vrouw en niet zelden velve volwassen kinderen bij elkander, liggen en slapen onder elkander. Of het hetgeen men dit volk algemeen ten laste legt, vader en dochter, moeder en zoon, zuster en broeder zich onder elkander vermengen en zelve nog onnatuurlijker bedrijven door hen gepleegd worden, durf ik wezenlijk niet beslissen ; evenzoo min of het waarheid is, dat de zoon met zijn moeder, en dochter met haar vader verpligt zich, alvorens te mogen trouwen een nacht af te zonderen. Door het volk van Tooensawah wordt alles ontkend. Voor de waarheid van het volgende echter kan ik instaan dat namelijk volwassen en huwbare jongelingen aldaar geheel naakt loopen en zich niet met een tjidako vermogen te omwinden, zonder verlof van hunne moeder verkregen te hebben, hetwelk dan tegenlijk ook dat bewat, zich een vrouw te mogen nemen. De schaamte, welke deze jongelingen zelve over hunner toestand gevoelen, heb ik duidelijk kunnen opmerken, en dit geeft een bewijs dat er hoop op beter is.

Over het algemeen is de zedelijke gestaluherd der tebolking goed, welke voorder ze zeker aan haar naturlijk en goed karakter verschuldigd is ; beschaving heeft tot dit voorrecht geene aanleding geven. Zware misdaden worden bijna niet, mindere overtredingen, maar zeer weining gepleegd. Ik meen hier nog te mogen aanmerken dat het gedeelte der bevolking, dat gedoopt is enzich ten gevolge daarvan Christen noemt, veereweg beneden den zoogenaamden heiden staat ; de bij den Christen bekende ondeugden hebben ze voor een riun gedeelte aangenomen en alle, die hun als heidenen eigen waren daarmede vereenigd. Dit gedeelte is nog gering en bestaat meest in de twee Balaks Manado en Negri Baroe en eenigen zich aan de tranden bevinden. In de boven landen worden geene of slechts weinige gedoopte Alfoeren aan getroffen (N.Graafland, De Minahassa I, hal.33).

Dalam hal makanan "Voeding" N. Graafland selanjutnya menulis bahwa ".... namun sagu bagi masyarakat Toundanouw merupakan suatu keistimewaan; itu tidak terlalu bersih. Makanan kegemaran disini ialah sagu dan hingga kini ular sangat digemari, dan dimakan. Nasi kurang dimakan dan hanya bila ada tetamu asing, dihidangkan. Suami istri bantu membantu dalam pekerjaan dirumah. Menumbuk padi dan jagung diserahkan kepada isteri dan anak perempuan, seperti juga membuat pakaian daripada bambu. Wanita-wanita Tooensawah mengiringi suaminya senantiasa masuk hutan untuk berburu.

Jadi menurut N. Graafland dalam terjemahan Bahasa Indonesia secara tidak resmi, dikatakannya bahwa menurut hadis atau cerita, nenek-moyang daripada orang-orang Tooensawah pasti pernah mendiami pulau-pulau antara Ternate dan Manado, Tifore dan Majoe. Pertama-tama mereka temui pantai Kema dan penduduk di situ menunjukkan baginya suatu tempat untuk tempat tinggal. Tetapi segera mereka mendapati, bahwa setiap kali ada pesta keramaian, mereka kehilangan orang-orangnya, dikorbankan disitu, lalu mereka meninggalkan tempat itu dan menuju Belang. Dikakas dan Toempaso mereka mengalami nasib yang sama, sehingga mereka mengambil keputusan untuk menembusi dan melalui pegunungan Soputan dimana mereka kemudian kini berdiam. Mula-mula pada tahun-tahun pertama dan kedua, mereka tiba disini, pada waktu ada keramaian, ada orang-orang dari mereka menjadi korban pengacauan, sehingga mereka mengambil keputusan memagari tempat tinggal mereka dan sementara itu penjagaan diperketat apabila padi mulai menguning. Hingga kini keramaian diadakan oleh pihak musuh mereka, apabila padi masak dan berbarengan dengan peristiwa-peristiwa itu, menjelang tiba saat-saat itu, mereka menyembunyikan dirinya serta segenap keluarganya kehutan-hutan rimba. Dengan berbuat demikian dalam tahun-tahun kemudian mereka tidak lagi mengalami gangguan dari masyarakat Balak lainnya dan justru sebaliknya menimbulkan kerugian banyak dipihak mereka itu.

Mengenai karakter Tooensawah dikatakannya " .... kebejatan budipekerti tentu merajalela disini. Keadaanlah, bukan hastrat kehendak masyarakat mereka itu dilahirkan. Pertama-tama atau terutama yang menimbulkan kebejatan budipekerti itu disebabkan keadaan setempat, diatas gundukan-gundukan tanah negeri yang enam kaki atau lebih baris menengahnya, disitulah didirikan negeri dan rumahnya berdampingan satu dengan yang lain, dimana boleh jadi (perkiraannya), dua atau tiga ratus orang tinggal, terbagi dalam keluarga-keluarga. Ditempat yang sempit itulah mereka berdiam, suami-isteri dan tidak jarang anak-anak yang sudah dewasa berbaring dan tidur bersama-sama....". Lebih lanjut dikatakannya, bahwa "Jejaka yang sudah dewasa dan cukup usia untuk kawin, berjalan-jalan kemana-mana dalam keadaan telanjang bulat, dan tidak boleh memakai cawat (cidako), kecuali telah mendapat idjin dari ibunya, bertepatan dengan tiba saatnya ia dapat mengambil isteri. Perasaan malu kepada mereka terbayang dan mereka isyaf akan keadaannya......" Pada akhirnya ia katakan "umumnya keadaan sopan santun masyarakat itu baik......".

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More