Senin, 19 Januari 2015

Jenis-Jenis Mapalus di Minahasa

Saat ini saya akan memposting tentang jenis-jenis Mapalus yang ada di Minahasa dilihat dari perkembangan Mapalus itu sendiri, dan inilah jenis-jenisnya sebagai berikut :

MAWENGIAN (Wengi=Malam)


Mapalus ini bekerja sampai terbenam matahari dan beranggotakan 40 sampai 100 orang. Didaerah Kakas disebut "MAENDO" (Endo=Hari), yang maksudnya ialah mepalus yang bekerja sepanjang hari. Ada pula dari mapalus ini yang mewajibkan orang mendapat giliran menyediakan makan untuk seluruh orang yang ikut mapalus diwaktu siang hari. Jenis ini disebut "WEWEAN KUMAN (Bean/Wean=Beri, Kuman=Makan). Saat dibentuknya mapalus ini ditunjuklah pemimpin mapalus. Bentuk pimpinan mempunyai bermacam-macam variasi ditiap daerah tetapi pada umumnya komposisinya adalah sebagai berikut :

Seorang Kepala yang bertugas memimpin mapalus yang ditoundano disebut "SUMESUWENG" atau di Romboken disebut "TUA IM PALUS" maksudnya orang yang memperoleh Rua/Bagian giliran. Kalau anggota biasa mendapat "n" giliran, maka Si-Rua-Weteng mendapat 2N giliran. Kelebihan ini diberikan sebagai balasan atas jasanya sebagai pemimpin. Dia bertanggung jawab atas kelancaran jalannya mapalus dan menyelesaikan segala pertikaian yang mungkin timbul selama mapalus berjalan. Seorang Pembagi yang di sebut "MEWETENG" (Weteng=Bagi), yang bertugas membagi pekerjaan atau lauk-pauk, kalau tipe mapalus adalah "Wewean-Kuman". Tugas ini dapat pula dirangkap oleh Tua-im-palus dan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada seorang kepala Tumpuk seperti yang terdapat didaerah romboken, dimana tipe mawean-kuman tidak dikenal lagi. Seorang Kepala Tumpuk mengepalai satu tumpuk. Jumlah tumpuk biasanya 4 tumpuk, yang masing-masing dikepalai oleh Kepala Tumpuk. Seorang Peniup atau "SUMESEMBUNG" (Sembung=Tiup), yang tugasnya adalah membangunkan para anggota mapalus diwaktu fajar, kurang lebih pukul 04.00 pagi untuk berangkat ketempat pekerjaan. Alat yang ditiup adalah kulit kerang yang besar atau  dalam bahasa Toundanouw (tonsawang) disebut "PILO", atau Trompet (Kemudian hari). Selain alat tersebut juga dipergunakan "Tambor" yang pemukulnya disebut TUMETAMBOR. Tugas Tumetambor atau dengan memukul kulintang. Tugas Tumetambor dan pemukulnya dapat juga dirangkap oleh Kepala Tumpuk yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada anggota-anggota lainnya secara bergilir. Pada masa-masa yang lampau tugas ini dilakukan oleh rombongan ORKES MAPALUS yang anggota-anggotanya dibebaskan dari tugas bekerja. Pada tiap berpindah tempat orkes ini juga memainkan lagu-lagu, sedang anggota-anggota mapalus mengikutinya dari belakang dengan berbaris, teristimewa waktu memasuki kampung. Kebiasaan ini malah hilang pada waktu belakangan ini. Di beberapa tempat masih ada mapalus yang mempunyai orkes, tetapi tidak mengikuti lagi bila ke tempat tujuan/pekerjaan. Orkes ini nanti dipakai setelah selesai satu kali mapalus, dimana anggota-anggotanya berpesta untuk penghiburan sambil berdansa/menari.

Selain ada seorang kepala, seorang pembagi, seorang kepala tumpuk dan seorang peniup, masih ada seorang pengawas. Di Toundano disebut "OPPAS", sedang di Remboken disebut "RAKAR". Tugasnya ialah mengawasi pekerjaan para anggota-anggotanya supaya suatu pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak bermalas-malas. Terhadap pelanggaran ini, maka Rakar atau Oppas dapat menjatuhkan hukuman phisik berupa 2 sampai 3 kali cambokan rotan atau lidi. Di Remboken pada saat Matetoolen, para anggota menjalankan suatu upacara semacam sumpah, yang bersama-sama menyatakan taat pada seluruh peraturan mapalus dan rela mendapatkan hukuman atas setiap pelanggaran. Upacara ini tidak dinyatakan dengan kata-kata tetapi dengan memukul si Rakar dua sampai tiga kali pada lengan tangan dihadapan Tua-im-palus dengan cemeti yang kelak akan digunakan dalam menjatuhkan hukuman kepada si pelanggar.

Hukuman ini dalam prakteknya membawa akses yang tidak adil, karena hukuman akan bersifat pembalasan dendam, bila si Rakar memberikan pukulan yang keras kepada pelanggar--maka tiba giliran sipelanggar memberikan pukulan kepada si pelanggar yang lain, biasanya dilakukan pukulan yang lebih keras lagi. Hal ini akan sangat diperhatikan si Rakar atau Oppas hingga tiap pelanggaran sampai yang kecilpun akan dihitung oleh si Rakar atau Oppas. Hukuman dilakukan setelah mapalus selesai bekerja dengan disaksikan oleh semua anggota. Satu hal yang menarik ialah meskipun perbedaan hukuman nyata-nyata sangat berbeda, namun tak seorangpun yang akan mengeluh atau mengajukan sesuatu protes.


Adapun peraturan-peraturan yang mengikat anggota mapalus adalah : harus berada ditempat pekerjaan pada waktu yang telah ditentukan ; dilarang meninggalkan tempat pekerjaan tanpa ijin dari Tua-im-palus ; tiap anggota tidak dibolehkan lengah atau lalai sepanjang jam kerja ; dilarang duduk, berdiri atau bercerita atau pura-pura bekerja ; harus berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang menjadi bagiannya, tanpa bantuan orang lain ; harus selesai bersama-sama dengan anggota-anggota lainnya ; harus melakukan pekerjaannya sesuai dengan keinginan dari yang mendapat giliran pekerjaan ; harus melakukan pekerjaan dengan baik, berkelakuan baik, tidak melanggar norma-norma kesusilaan atau hal-hal yang dapat mengacaukan mapalus ; menjaga citra (nama baik) mapalus.

Sebagai sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan tersebut maka mapalus menetapkan hukuman-hukuman yang berupa hukuman phisik, hukuman yang bersifat psychologis. Hukuman phisik biasanya dengan cambukan seperti diterangkan di atas, dan pada umumnya seperti : berdiri dihujan atau dijemur pada terik matahari. Cara ini sudah tidak terlihat lagi. Di Ratahan, bilamana ada dua orang melakukan pelanggaran, maka kedua orang itu sambil berdiri bertolak-belakang, memikul kayu yang panjangnya kira-kira 30 cm lalu memikul anggota-anggota secara berganti-ganti. Hukuman yang bersifat psycologis biasanya dikenakan dengan menyanyikan lagu sindiran, memberikan giliran terakhir pada yang bersangkutan untuk membela diri pada pertemuan mapalus, tidak mendapatkan pembagian ikan atau lauk pauk pada mapalus tipe Mawean-Kuman, hanya boleh makan lombok dan nasi saja. Bagi wanita yang melanggar hukumannya diberikan kepada "si pelindungnya" bilamana ia seorang gadis yang telah mempunyai pelindung, tetapi bilamana belum yang menanggungnya adalah kepala Tumpuknya.

MAWENANGAN

Type ini lebih kecil jumlah anggotanya dan tidak mempunyai peraturan-peraturan yang kompleks seperti Mawengian. Dalam Mawenangan ini yang turut menjadi anggota paling banyak 10 orang melalui jalan ajak-mengajak antara mereka yang mempunyai kebutuhan pada suatu keadaan. Dalam Mawenangan ini tidak dikenal organisasi pimpinan seperti Mawengian. Hukuman-hukumanpun tidak dikenal, karena seluruhnya ditentukan melalui musyawarah anggota-anggotanya. Setiap yang mendapat giliran, menyediakan makanan siang bagi seluruh anggota. Mapalus ini disebut juga "MASAPUTAN", artinya (Seput-Bungkus, kalau di Toundanouw/Tonsawang MASAWUTAN yang artinya sama dengan itu). Masawutan dimaksudkan adalah membawa makanan ketempat pekerjaan, karena bekerja sepanjang hari dan tidak pulang kerumah.

MASANGA PONTOLAN NIENDO

Caranya seperti pada Mawenangan, tetapi orang hanya bekerja sampai tengah hari, yaitu kira-kira sampai jam 1 Siang (13.00). Disini tidak dikenal pemberian makanan kepada anggota-anggota, kebanyakan anggota-anggotanya adalah anak-anak sekolah, yaitu pada waktu pagi hari berada di sekolah, Sore hari dalam mapalus, untuk membantu orang tua dalam mengerjakan sawah atau ladang. Adakalanya inisiatif datang dari seorang Guru Sekolah yang bersangkutan, terutama Sekolah Menengah atau Sekolah Rakyat kelas V-VI.

Dari uraian tersebut diatas, maka type mapalus yang sebenarnya didaerah-daerah minahasa lainnya (diluar Toundanouw/Tonsawang) adalah type MAWENGIAN tadi. Dalam mapalus ini waktu bekerja diukur dengan teliti dengan mempergunakan jam, biasanya WEKKER atau dulu disebut ERISAN, yaitu suatu alat pengukur waktu yang terdiri dari dua botol yang bersamaan dan yang mulutnya dihubungkan dengan sebuah sumbat yang diberi lobang kecil. Dalam botol yang satu, telah dimasukkan pasir yang halus dan kering, sedang botol yang satunya kosong. Dengan membalikan botol yang berisi pasir, maka turunlah pasir itu berlahan-lahan kebotol yang lainnya dan setelah botol yang di atas telah kosong, dibaliklah pula erisan itu, demikian selanjutnya hingga mendapatkan jumlah yang di inginkan. Setiap anggota mendapat pembagian/giliran pekerjaan menurut waktu yang ditentukan misalnya tiap tiga jam satu orang, kemudian pindah lagi keorang lain yang mendapat pekerjaan tiga jam dan kadang-kadang dalam waktu setengah hari mendapat 3 orang.

GOTONG ROYONG (di Minahasa)

Type ini dapat dilihat dalam membangun rumah, memperbaiki rumah, mengatapi rumah atau memindahkan rumah, mengerjakan jembatan atau jalan umum, menggali parit saluran air umum atau untuk kepentingan satu keluarga. Dalam ketiga bentuk/jenis mapalus seperti diterangkan di atas, dikenal adanya giliran dan bilamana telah selesai pekerjaan dan dibentuk lagi untuk menghadapi pekerjaan yang lain. Sedangkan dalam tipe gotong royong tidaklah dikenal hal seperti tadi. Sebagai contoh, bilamana seorang ingin mengatapi rumahnya, maka bantuan dimintakannya atau yang ditawarkannya kepada orang lain (tetangganya) adalah berupa permintaan tenaga dan atap. Bantuan yang dimintakan ini bersifat suka-rela, tidak dengan paksaan dan juga tidak ditentukan berapa jumlah atap yang dimintakan/diberikan. Jumlahnya terserah kepada keluarga/kerabat yang membantunya. Sebagai akibat, maka bilamana tetangga itu tiba waktunya mengatapi rumahnya, maka orang yang pernah dibantu itu memberikan bantuan materil lebih banyak dari yang diperolehnya, sehingga kadang-kadang tidak masuk akal. Tetapi hal ini merupakan balasannya atas bantuan tetangga yang ikhlas bukan paksaan. Sedangkan dalam hal mengerjakan jembatan pada umumnya orang-orang yang ikut serta dalam pekerjaan itu bersifat suka-rela karena kepentingan mereka tertolong dengan perbaikan atau pembuatan jembatan tersebut. Dengan kata lain dalam contoh terakhir ini, motivasi utama karena kepentingan bersama anggota masyarakat bukan kepentingan sendiri. Mengerjakan parit saluran air atau kali/sungai juga berdasarkan asas suka-rela, karena merasa bahwa parit yang kotor atau tertimbun pasir atau tanah akan menyusahkan mereka yaitu pertanian, maupun merusak tanaman jika terjadi banjir. dalam soal yang satu ini, kesadaran bersama adalah faktor yang utama. Dengan contoh-contoh di atas, maka gotong royong seperti tadi, tidaklah dapat digolongkan dalam tipe mapalus. Tetapi karena perkembangan masyarakat dan pengaruh dari lain daerah, orang-orang seringkali menyamakan mapalus tadi dengan gotong royong, padahal gotong royong dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa merupakan suatu sistim pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kakurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitet produksi bercocok tanam di sawah. Untuk melanjutkan keterangan ini, saya akan paparkan apa yang dianalisa oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat seorang ahli Anthropologi Budaya Indonesia sebagai berikut;

Dalam bukunya Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan halaman 59, menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, konsep gotong royong yang kita nilai tinggi itu merupakan suatu konsep yang erat bersangkut paut dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agraris. Istilahnya, istilah Jawa, tetapi rupa-rupanya tidak amat tua. Maha guru itu pernah bertanya kepada Ahli Bahasa Jawa Kuno dan Texikograf ulung kita, Prof. Zoetmulder, tentang soal itu. Beliau berkata bahwa dalam seluruh kesusastraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (Kekawin, Kidung dsb) sudah pasti tidak ada istilahnya. Rupa-rupanya juga dalam kesusastraan Jawa Baru (Babad, Serat dsb) istilah itu tidak ada. Tidak adanya suatu istilah dalam kesusastraan, tentu belum berarti bahwa dalam kenyataan bahasa sehari-hari antara rakyat di desa-desa, istilah itu juga tidak ada. Hanya saja dari mana di Jawa istilah itu berasal, tidak jelas lagi. Di berbagai daerah di Jawa ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Istilah gotong royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang Hukum Adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian (Terutama di Jawa Timur) oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen.

Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistim pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitet produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu seorang petani meminta dengan adat sopan santun yang sudah tetap beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya, misalnya dalam hal mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru (Memperbaiki saluran-saluran air dan pematang-pematang, menyangkul, membajak dan menggarau, dsb). Petani tuan rumah hanya harus menyediakan makan siang tiap hari kepada teman-temannya yang datang membantu itu, selama pekerjaannya berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuannya. Dengan demikian, sistem gotong royong sebagai suatu sistem pengerahan tenaga seperti itu, amat cocok dan fleksible untuk tehnik bercocok tanam yang bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu unsur uang belum masuk ekonomi pedesaan. Tenaga tambahan dapat dikerahkan bilamana perlu, dan segera dibubarkan lagi bila pekerjaan selesai. Di desa-desa di Jawa, kerjasama tolong-menolong dalam bercocok tanam seperti itu biasanya dilakukan antara para petani yang memiliki bidang-bidang sawah yang berdekatan letaknya.

Dengan masuknya uang menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi pedesaan, yang dibeberapa daerah di Jawa sudah mulai dalam abad ke-19 yang lalu, tetapi dibeberapa daerah lain mungkin baru setengah abad yang lalu, maka sistem pengerahan tenaga seperti itu mulai dianggap menjadi kurang praktis. Memang seorang ahli pertanian Belanda yang pernah bekerja didaerah BLITAR di Jawa timur bernama H. Van der Kolf, menulis dalam tahun 1920, bahwa di daerah pedesaan di Blitar itu banyak petani mulai meninggalkan ADAT GOTONG ROYONG dalam produksi pertanian, dan menganggap lebih praktis untuk menyewa saja buruh tani yang diberi upah berupa uang....."

Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan bahwa ia sendiri pernah mengadakan penelitian yang khusus mengenai aktivitet-aktivitet gotong royong di beberapa desa di Jawa Tengah bagian Selatan (Kebumen, Karangayar) dalam tahun 1958 dan 1959. Di desa-desa  didaerah itu gotong royong disebut "SAMBATAN" dan memang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, istilah Sambatan itu berasal dari kata "SAMBAT", artinya Minta bantuan. Menarik adalah disini persamaan dengan istilah dalam bahasa Jerman "Bitarbeit" artinya "Pekerjaan bantuan yang diminta" (dari kata bitten=minta) untuk aktivitet-gotong royong seperti itu juga, yang kira-kira setengah abad yang lalu masih juga dilakukan didaerah pedesaan dijerman. Dikemukakannya juga, bahwa waktu ia mengadakan penelitian didaerah Karanganyar-Kebumen itu, juga sudah ada anggapan bahwa menyewa buruh tani dengan upah uang itu adalah jauh lebih praktis daripada menyambat orang tetangga dengan sopan-santun adat dan dengan kewajiban menjamu yang amat merepotkan. Memang daerah Karanganyar-Kebumen merupakan salah satu daerah yang paling padat di Jawa, maka buruh tani disana sangat rendah. Adat sambatan, walaupun oleh sebagian besar dari para petani didaerah Karanganyar-Kebumen sudah dianggap kurang praktis, toh masih dilakukan oleh suatu bagian cukup besar dari para petani disana sekitar tahun 1959 itu. Adapun istilah gotong royong baru saja dikenal para petani disana ialah waktu itu baru di introduksi 3-4 tahun sebelumnya waktu berlangsungnya kampanye pemilihan umum disitu.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More