Senin, 05 Januari 2015

Penyebaran dan Pembentukan Daerah Pemukiman Penduduk Toundanouw Part 2

Postingan ini adalah lanjutan dari postingan saya terdahulu, yang belum membacanya silahkan klik disini, Ok lanjut saja....!!!

VERSI III (KETIGA)

Diceritakan bahwa pada waktu orang-orang masih bertempat tinggal dibukit-bukit seperti Topiwiren, Baletuang, Tombetelen, Pangi, Tate, Katuahan, Seben, dll, maka pemerintahan Belanda membawa kewilayah ini penyebaran agama Kristen Protestan. Penyebaran itu telah berlaku di daerah Tondano, Manado, Sonder, Kakas, Langoan dan Amurang. Penginjil yang datang ke Tombatu adalah Pendeta Schwarz pada tahun 1831. Pada tahun 1818, tokoh-tokoh masyarakat seperti sayang merencanakan perkampungan baru diantara pegunungan Bataren, Pasisiwen, dan Katuahan. Untuk melaksanakan rencana itu dibentuk sebuah panitia diantaranya Lasenge (Kepala Putusan Hukum Tua Katuahan), Mahasereb, Kepala Hulu (Panguluan), Sango Kepala Musyawarah/Panudan sebagai perlengkapan/Konsumsi dan anggota-anggota lainnya antara lain H.Emor, E.Pelleng, Tumondo, Z.Poluan, Runtuwailan, dll.

Melalui suatu Musyawarah maka disepakati setelah memperhatikan letak danau-danau yang akan menjadi tempat pencaharian oleh masyarakat, maka rakyat yang berada disekitar daerah itu yaitu dibukit-bukit diperintahkan untuk mengambil ukuran kintal serta mengusahakan pendirian rumah. Tahun 1826 dikirim seorang dari tondano petugas Kadaster untuk meneliti lokasi pemukiman baru tersebut. Setelah pengukuran dilakukan, kemudian orang-orang yang bertempat tinggal dibukit-bukit berangsur-angsur mendirikan rumah, teristimewa orang-orang dari bagian Barat dan Timur yaitu orang-orang dari Pakey (batu), Abur, Liahayu, Doong, Tate, Topiwiren, Pangi, Seben, dll mendirikan rumah dan bertempat tinggal di daerah baru, lalu dengan ini terbentuklah nama Tow-im-batula (Bandingkan tulisan L.M Poluan (Penatua Kolom IV) tanggal 19 Agustus 1984, didalam Bunga Rampai Sejarah Jemaat GMIM Tombatu (1984) oleh S. Damongilala, Smpsy(Ev). Orang-orang yang berpengaruh/tokoh masyarakat karena merekalah yang menjadi pelopor pembuatan rumah dan bertempat tinggal dirumah baru mereka sendiri. Tahun 1828, mulailah tersiar berita Agama Kristen didaerah luar Toundanouw, sehingga melalui kontak perkenalan dengan orang diluar itu, beberapa orang Toundanouw terpengaruh lalu mereka menjadi Kristen, sekalipun sebagian besar penduduk masih terikat oleh agama suku yang dipimpin oleh para Balian-balian. Balian adalah semacam dukun, namun ia ahli dalam soal kepercayaan dan karenanya disegani serta nasihat-nasihatnya dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat.

VERSI IV (KEEMPAT)

Pada kira-kira permulaan abad ke-7, kepala-kepala adat bagian Timur (Toundanouw) mencari tahu tempat-tempat yang boleh digali, sebab mendengar sindiran-sindiran halus oleh Touluaan, sebab ikan yang dimakan Tou-im-betelen hanyalah biasa atau renga. Ikan yang dimakan oleh Touluaan adalah Belut, Gabus dan ikan Kesak. Oleh karena itu kepala-kepala adat Tou im betelen dan Tou Luaan berebut-rebutan mencari tempat mana yang boleh digali untuk membuat saluran air danau pada waktu itu. Karena Tou Luaan berfoya saja menggali lepasan air, karena dahulu air danau mengalir kearah Barat, dimana gunung dipotong di Desa Kali dan mengharapkan Tou im betelen tidak dapat mengali saluran air dibagian Timur.

Secara rahasia seorang kepala adat bernama Lelengboto, berusaha dengan ketabahan dan kekuatan gaib (Mistik) dan secara adat istiadat pada masa itu, memakai suara burung, memanggil dewa-dewa, maka pada suatu malam ia bermimpi harus bersedia untuk menyiapkan segala kebutuhan bagi kepentingan penyelidikan antara lain buah Pinang, daun siri, kapur, tembakau, makanan, ikan dan ayam putih, dll, guna dipersembahkan kepada dewa-dewa. Selain dari pada itu disediakan lidi dari pohon enau yang disebut "Dele Kaseput" sebanyak sembilan buah yang panjang setiap lidi 1.75 m. Jadi panjang sembilan lidi adalah 9x1,75 m menjadi 15.75 m. Semua perlengkapan itu disediakan oleh Kepala Adat Lelengboto. Sampai ditempat itu dibuatnya korban persembahan kepada Dewa-dewa yang dipanggilnya sehingga Dewa-dewa itu datang membawa dia pada tempat penyelidikan yaitu dimana yang boleh digali saluran air.

Penyelidikan terakhir adalah digunung potong, dekat Desa Kuyanga sekarang ini yang juga dikenal dengan sebutan "Jalan Putus". Lidi yang disediakan Kepala Adat Lelengboto serta korban persembahan kepada Dewa-dewa dilakukannya lebih dahulu, barulah lidi sebanyak sembilan buah itu ditusukannya kedalam tanah secara sambung-menyambung secara kekuatan gaib (Mistik), sehingga lidi-lidi itu masuk kedalam tanah, kemudian lidi-lidi itu dicabut kembali berturut-turut. Selesai penyelidikannya, Lelengboto mengali tanah dengan sekuat tenaganya dan memakai adat istiadat/kebudayaan. Setelah selesai penggalian, airpun tidak mengalir, karena ada sesuatu sekat yang menahan air itu. Dengan hati-hati dan perhitungan tentang bahaya yang akan terjadi, maka Lelengboto membuat suatu pesta besar. Budaknya dikenakkannya pakaian yang indah serta disuruhnya mengambil sekat yang membendung air tersebut, sehingga budak tersebut dihanyutkan oleh air. Menurut cerita yang diperolehnya, maka sembilan hari, sembilan malam air terus mengalir kearah Timur dengan dentuman seperti guruh, Sisa-sisa danau itu antara lain Bulilin yang airnya mengalir kesungai Molompar. Setelah beberapa hari kemudian muncullah dataran dan orang-orang tua kemudian membuat kebun sawah yang besar dan luas.

Pada kira-kira abad ke XVII, karena telah mendapat pendidikan dari bangsa Belanda, maka seluruh kepala-kepala adat Toundanouw oleh Pemerintah Belanda diangkat menjadi Pemerintah yang disebut Hukum Besar Tonsawang. Kira-kira tahun 1750, MOMOMUAT diangkat menjadi Hukum Besar pertama Toundanouw (Tonsawang). Dia adalah kepala adat juga dan Pengadilan. Setelah itu ia diganti oleh Letowandey, kemudian diganti lagi oleh Wainakan, yang memerintah Toundanouw sampai di Pontak (Wilayah Tompaso Baru sekarang). Pada kira-kira tahun 1810, Pemerintah Belanda memerintahkan kepada Hukum Besar Tonsawang yang bernama SAYANG MOMUAT untuk membuat Desa tempat pengumpulan rakyat, tetapi belum dapat dilaksanakannya. Seorang kepala adat kemudian, bernama LASENGE yang menjabat sebagai Hukum Tua dan Pengadilan Desa, mulai membentuk Desa Tombatu Satu. Ia diganti oleh Hukum Tua bernama Daniel Gosal, lalu diganti lagi oleh E.Pelleng. Kedua Hukum Tua itulah yang menyelesaikan pendesaan Tombatu Satu, tetapi belum ditempati. Pada masa itu Hukum Tua bernama Samuel Sumasa Momuat barulah Negeri Tombatu diselesaikan dan sejak tahun 1834 mulai diduduki/ditempati menjadi Negeri tombatu Satu sampai sekarang (M.A.Tumiwan, Kepala SD GMIM I Tombatu, berupa dokumen tulisan tangannya sendiri).

VERSI V (KELIMA)

Konon cerita daerah ini pada zaman purba bagian datarannya digenangi air dan merupakan danau. Suatu ketika, menurut cerita turun-temurun yang hidup hingga dewasa ini, bahwa seorang Tonaas bernama Lelengboto telah dapat mengeringkan danau ini dengan membuka terowongan disebelah Tenggara negeri Kuyanga pada jarak + 200 m, yang kisahnya sebagai berikut ;

        Pada suatu hari Tonaas Lelemboto bersama balian-balian dan Tua-tua masyarakat mengadakan pertemuan untuk memusyawarakan dan memufakati rencana mengeringkan danau, yang mengenangi dataran Toundanouw. Musyawarah ini lalu memutuskan akan mengadakan "Dahesan", upacara persembahan "A,ndior i Dumarahes" (Dewa Bumi), "Kiong Bako" (Dewa Besar), "Kiong i Dungusan" (Dewa Gunung) untuk memohon perkenan meluaskan (mengijinkan) lereng gunung diterowongi untuk mengalirkan air danau tersebut.

          Musyawarah ini juga memutuskan dimana dan kapan rencana itu dilaksanakan. beberapa malam kemudian, Dewa-dewa mengisyaratkan melalui burung DUMEREKAH yang dari jauh memekik-mekik "keek, keek-keek", dan makin dekat makin jelas, alamat bahwa permohonan mereka dikabulkan, dan isyarat ini oleh Tonaas dan Balian-balian simpulkan bahwa kepada Dewa-dewa harus dipersembahkan "kepala manusia sebagai tendan", jaminan persembahan. Tuntutan ini disepakati bersama mereka, lalu segera orang-orang diperintahkan menyediakan segala keperluan upacara. Pondok (Bandai) yaitu tempat upacara didirikan, makanan seperti sagu disediakan seperlunya, beberapa ekor babi dan ayam, juga batang lidi (Ketan kaseput). setelah lengkap semuanya, pada hari yang ditentukan, pergilah Lelemboto dan beberapa Balian serta Tua-tua ketempat upacara. Balian-balian segera meletakkan peralatan ibadah agama (Alfuru) diatas nyiru, termasuk siri, pinang dan kapur. Lelemboto sendiri memekai pakaian kebesarannya dan balian-balian menghiasi dirinya dengan perhiasan upacara. Kemudian mereka mengucapkan doa bersama-sama dengan hadirin, memohonkan perkenan dewa-dewa. sementara itu babi-babi, ayam-ayam disembelih, darahnya ditampung dan dipancarkan (dipercik) ketempat-tempat dikaki lereng yang akan diterowongi. Seorang dari pada balian pergi ketempat itu lalu menusukkan ketiga batang lidi kedalam tanah. Kemudian Lelemboto memerintahkan 2 (dua) orang "Ata' Tibatu" (Budak yang tidak mempunyai apa-apa selain tubuhnya sendiri), turun kebawah untuk mencabut kembali ketiga batang lidi itu. Kedua budak itu berusaha dengan sekuat tenaganya, tetapi sia-sia. Lelemboto membentak-bentak kedua orang itu, sementara ia berseru kepada dewa-dewa bahwa kedua orang itu adalah diserahkan kepada mereka sebagai persembahan sesuai dengan tuntutannya. Tidak lama kemudian lidi itupun tercabut, tetapi malang bagi kedua budak itu, mereka tergulung dan hilang lenyap ditelan arus air, yang tiba-tiba menyembur keluar dari terowongan itu. Kedengaranlah letupan-letupan air melanggar hutan, lembah-lembah menuju ke Tenggara. apa saja yang dilanggarinya tumbang dan hanyut dibawa arus yang deras. Terowongan itu semakin besar juga dan akhirnya lerengnya pecah. Beberapa waktu kemudian, keadaan dataran mulai berubah dan kering. Sini-sana nampak terkumpul air yang mengalir sangat pelan yang kemudian merupakan Tasik atau Danau, juga pun bukit-bukit yang tadinya merupakan pulau-pulau diatas danau, kini menjulang keatas, dimana ada pondok dengan penghuni-penghuninya. Kemudian tasik-tasik itu dimanfaatkan untuk menangkap ikan dan dataran diolah menjadi sawah-sawah (J.A. Tumboimbela, Sebingkah Sejarah dan Perkembangan Pendidikan di daerah Toundanouw (Tombatu) hal 6-8). Pengeringan danau inipun konon diperebutkan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat yang mendiami daerah sebelah Barat di dataran toundanouw. Mereka telah juga berusaha mendahului pekerjaan yang besar itu dengan menerowongi gunung Abur, sebelah Tenggara Negeri ranoketang, tetapi Lelemboto dkk telah lebih dahulu berhasil. Demikianlah dimana tempat-tempat air masih tergenang merupakan danau-danau seperti bulilin, derel, Useban, Kawelaan, Tutud, Kuyanga, dll.

VERSI VI (KEENAM)

Diceritakan Kira-kira pada akhir abad ke-17 Tonaas Lelengboto mengadakan perencanaan pengeringan danau, rencana mana telah disetujui oleh para Balian (Walian). Setelah melalui satu upacara adat seperti Dahesen dan Tumanga Tepai (bunyi burung Balak dan manguni) Tonaas Lelengboto mendapat satu tempat pada salah satu kaki bukit Basian arah Tenggara Desa Kuyanga untuk dibuatkan terowongan/pintu air. Atas kesaktian Tonaas Lelengboto dan dengan mengorbankan seorang Ata' pada bukit tersebut berhasil dibuat pintu air. air mengalir dengan derasnya melalui pintu air tersebut yang menimbulkan dentuman yang keras selama sembilan hari, sembilan malam (Siou ngando, siou ngawengi) barulah danau dapat dikeringkan. Air yang mengalir ke Tenggara itu tertumpah kesungai yang sekarang dikenal dengan nama Sungai Londolimbale. Sungai Londolimbale bertemu dengan sungai Molompar dan bermuara ke Watuliney, pantai Belang. Sisa-sisa danau sekarang ini adalah Bulilin, Sosong, Kawelaan, Tutud, Kuyanga, Derel dan Useban. Diatas dataran yang telah mengering dan berawa-rawa itulah penduduk yang diam diatas bukit-bukit, turun dan membuat perkampungan dan mencetak sawah-sawah. Sejak itulah mulai terbentuk desa-desa yang sekarang ini yaitu : Tombatu, Kuyanga, Kali, Ranoketang Atas, Lobu dan Silian (Minahasa Tanah tercinta, Boy E.L.Rondonuwu 1984 "Lembaran Cerita Rakyat " Tombatu" pada hal. 316-317).

1 komentar:

Pada Tahun seribu tuju ratusan ketika momomuat selesai memimpin perang melawan bolaang dgn berhasil memperluas wilaya Minahasa sampai ke danau Tondoh dipanggilnya salah satu panglimanya yaitu dotu lelengboto yg punya kesaktian dgn memeggang kunci air dibawanya disuatu danau yg sangat besar dan dari situlah terjadi kesepakatan utk mengeringkan danau yg sangat luas itu dan ini tercatat dlm sejarah belanda bahwa pada Tahun seribu tujuratusan pernah terjadi hilangnya sebuah danau yg sangat besar di tanah malesung.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More