Minggu, 04 Januari 2015

Penyebaran dan Pembentukan Daerah Pemukiman Penduduk Toundanouw Part 1

Berdasarkan cerita-cerita rakyat turun-temurun, pada suatu ketika datang lagi rombongan orang-orang yang berasal dari daerah utara, khususnya dari daerah Luaan Tondano dan daerah Wewelen Tondano. Rombongan dari Luaan Tondano dipimpin oleh Dotu MAMOSEY, sedang dari Wewelen dipimpin oleh Dotu LELEWULEN. Dikatakan bahwa sebelum rombongan orang-orang tersebut melaksanakan pemindahan, telah diadakan suatu musyawarah untuk membicarakan route yang akan dilalui. Diputuskan bahwa route yang akan dilalui ialah menyusur pesisir danau Tondano ke arah Barat-Selatan, melintasi gunung antara Soputan dan Manimporok lalu kearah Barat dan menuju ke tempat tujuan yaitu bukit-bukit diantara danau Toundanouw. Setibanya mereka didaerah ini, rombongan Dotu Mamosey memutuskan untuk mendiami bukit-bukit disebelah Utara dan Timur dari danau tersebut, sedangkan rombongan Dotu Lelewulen menempati bukit-bukit disebelah Barat-Selatan danau tersebut.

Kedatangan rombongan orang-orang tersebut mula-mula telah menimbulkan sengketa dan perang, namun setelah diketahui bahwa mereka berbahasa yang sama, peperangan tidak dilanjutkan dan karenanya mereka diterima dengan baik kemudian dan bercampur dengan penduduk yang telah berada didaerah itu. Berdasarkan musyawarah diantara pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok yangtelah mendiami daerah itu sebelumnya, lalu ditentukan penyebaran penduduk. Tempat Musyawarah diadakan di bukit KALI diatas danau. Hasil Musyawarah adalah ditetapkan penduduk dibukit Ebu dapat mendiami bukit-bukit Abur, Pak, Powod, Bitunggal, Kali dan Liahayu. Sedangkan penduduk di Bukit BATU dapat mendiami bukit-bukit di Seben, Katuahan, Talemale, Dahayu, Topiriren, Sarukoyot, Pasisiwen, Tabe dan bukit-bukit lainnya.

Orang-orang yang mendiami bukit-bukit disebelah Barat danau lalu menyebut dirinya Tou i Luaan, sedangkan yang disebelah Utara dan Timur menamakan dirinya Tou im Betelen. Walaupun demikian bila mereka bertemu diluar daerah itu, sama-sama menyebutkan diri Tou in danouw atau Toundanouw. Dalam cerita tua, dikatakan pula bahwa antara kedua kelompok penduduk tersebut kerap kali terjadi konflik mengenai penangkapan ikan dan berburu namun tidak terlibat dalam suatu peperangan yang mengakibatkan pertumpahan darah secara besar-besaran, karena dapat diatasi melalui Musyawarah antara pemimpin-pemimpin pemukiman didaerah itu.

Konon, menurut cerita bahwa setelah orang-orang yang tinggal diatas bukit-bukit tersebut semakin bertambah banyak, maka diadakan usaha untuk mengalirkan air danau tersebut kearah timur. Semula air danau itu mengalir kearah barat dan bermuara di pantai Amurang, melalui sebuah pintu alami yang disebut "Kelebonang", dibukit Abur, yaitu sekitar Desa Ranoketang Atas sekarang. Air yang mengalir melalui pintu air itu oleh penduduk disebelah Barat menyebutkan "Tutuhunan" (Air Terjun) setinggi + 50 Meter. Ditempat itu penduduk desa biasanya dapat menangkap ikan dengan alat yang disebut "Sumoing". Ikan-ikan yang dapat ditangkap adalah "Koho Kalambot" atau Ikan Gabus Besar, Kosili atau Belut, Sekang atau sejenis Udang air tawar.

Usaha mengalirkan air danau kearah timur dipimpin oleh Tonaas Lelengboto, seorang yang ahli dibidang perbintangan dan pertanian. Penggalian dilakukan di Bukit Basian, sebelah Timur desa Kuyanga sekarang ini. Konon, diceritakan pula bahwa rencananya itu mendapat reaksi dari penduduk yang bermukim di bukit-bukit sebelah barat, namun karena rencananya disetujui oleh penduduk yang bermukim disebelah Utara dan Timur dari danau tersebut serta mendapat petunjuk baik dari "roh leluhur nenek moyang", usaha pembuatan saluran air tetap dilanjutkannya. Sementara itu, pemimpin penduduk yang berada dibukit-bukit sebelah Barat mencoba menandingi usaha Lelengboto tetapi tidak berhasil, karena mendapat petunjuk yang buruk dari roh leluhur nenek moyang melalui suara burung manguni. Dengan petunjuk roh leluhur, Lelengboto mengadakan upacara adat yang disebut "Dahesen" melalui suara burung Manguni yang disebut "Tumanga Tepai". Dahesen adalah Upacara persembahan sesajian kepada roh leluhur untuk meminta perkenan atas usaha pengalian saluran air.

Tetapi setelah usaha pembuatan saluran air berjalan sembilan hari lamanya, ternyata bagian tanah yang berukuran kurang lebih 45 cm tidak dapat ditembusi karena keras berbatu, lalu melalui suara burung, Tonaas Lelengboto disuruh mengadakan upacara lagi dengan mempersembahkan "Seorang Budak" yang disebut dalam bahasa Toundanouw "Ata'. Setelah diadakan upacara "Dahesen" dengan menyuuh seorang budak berpakaian indah serta perhiasan, lalu penggalian dilanjutkan. Seorang budak disuruh Sang Tonaas untuk mengungkit batu yang menghalangi tembusnya air dari sebelah Timur tanggul tanah tersebut. Dan konon, diceritakan tidak beberapa lama kemudian menyemburlah air yang mengakibatkan tanggul tersebut hancur sedang budak tersebut terbawa hanyut oleh air yang mengalir dengan derasnya ke arah Timur, sehingga tidak diketahui lagi nasibnya. Air yang mengalir dengan derasnya itu kemudian bertemu dengan sungai Molmpar dan bermuara di pantai Belang sekarang ini.

Setelah beberapa hari kemudian, danau tersebut menjadi kering dan tampaklah suatu dataran diantara bukit-bukit pemukiman penduduk. Sisa-sisa danau besar itu sampai sekarang masih terdapat disekitar Toundanouw/Tombatu antara lain danau Tutud, Derel, Bulilin, Useban dll. Penduduk yang tinggal dibukit-bukit kemudian menangkap ikan di danau-danau tersebut sebagai mata pencaharian mereka disamping tetap mengerjakan ladang padi. Hingga beberapa abad kemudian, penduduk masih tetap mengerjakan ladang dan bertani.

Mengenai orang-orang yang mengusahakan mendirikan kampung didataran yang kering, diceritakan pula bahwa dalam beberapa abad kemudian barulah diusahakan perkampungan. Oleh karena terdapat beberapa versi cerita mengenai pendirian pemukiman baru ini, maka kiranya versi-versi cerita tersebut perlu juga disajikan dibawah ini ;

Versi I (Pertama)

Mengatakan bahwa setelah beberapa abad danau tersebut dikeringkan, maka kira-kira pada abad ke-17, mulailah diatur persawahan disekitar tanah-tanah yang berawa-rawa. Tahun 1824, Dotu TINGALOW, LASENGE dan MAHA SEREB mengadakan musyawarah untuk membicarakan pemindahan penduduk yang berada dibukit-bukit kedataran yang telah menjadi kering dan berumput. Diputuskan oleh mereka, bahwa sebelum penduduk diminta membuat gubuk-gubuk atau "Bale" di dataran itu terlebih dahulu dibuat jalan-jalan baik yang melintang maupun yang membujur. Oleh karena Dotu Lasenge dan Mahasereb khawatir akan digenangi air jika terjadi hujan dan banjir, maka keduanya bersepakat untuk menggali saluran air atau sungai disekitar daerah luar pemukiman nanti. Dotu Lasenge membuat tanggul dari sungai Tiwalat ke Polong terus ke Balekiong langsung ke Binulu, yang kemudian menjadi jalan dari Tombatu ke Desa Tonsawang dan dari Tombatu ke Desa Kali sekarang ini. Akan tetapi tanggul yang dibuatnya dapat dijangkau oleh air sehingga masuk ke pemukiman. Dotu Mahasereb memotong dan menggali bukt Basian untuk dijadikan saluran air sungai Tiwalat yang penuh air (Banjir) bila musim hujan sebagai pembuangan. Keduanya mengadakan perlombaan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Diceritakan bahwa siapa diantara nya yang terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan itu harus membunyikan "Supera", sejenis meriam dari bambu, dengan bahan Minyak Kelapa. Ternyata keduanya dapat mengerjakan pekerjaan itu pada hari yang sama, hanya terdapat perbedaan waktu. Dotu Lasenge menyelesaikan pada pukul 09.00 (pagi), sedangkan Dotu Mahasereb pada jam 15.00 (sore). Sebagai tanda selesainya pekerjaan yang berat itu, mereka memasang "Supera sebanyak sembilan kali". Dotu Lasenge membunyikan tepat pada Jam 09.00 pagi, sedangkan Dotu Mahasereb pada Jam 15.00 sore. Terusan / saluran air yang dibuat oleh Dotu Mahasereb sampai sekarang masih ada dan terletak kira-kira 1 (satu) km dari Negeri Tombatu sekarang.

Setelah pekerjaan itu selesai, kemudian hari diadakan pengukuran halaman untuk dibagi-bagi kepada penduduk yang waktu itu masih bertempat tinggal di Batu, Seben, Katuahan, Sarukoyot, Pangombalan, Topiwiren, Pasisiwen, Tate dan Talemale. Setelah diadakan pengukuran, kemudian kepala Pakasaan TINGALOW memerintahkan supaya semua rakyat dari Batu dan perkampungan lain-lainnya menempati dan mendirikan "Bale" atau rumah dihalaman-halaman yang telah diukur serta mengikuti petunjuk dari Pemerintah pada waktu itu. Oleh karena orang-orang yang mendirikan Bale atau rumah tersebut dari batu, maka tempat pemukiman baru itu dinamakan Tou-im-batu yang kemudian menjadi Tombatu.

Pada tanggal 12 Nopember 1837 diadakan Pembaptisan pertama (Menjadi Kristen). TINGALOW dibaptis dengan nama PETRUS MOMUAT, LASENGE dibaptis dengan nama MUSA GOSAL, dan MAHASEREB dibaptis dengan nama MAHASEREB GOSAL. Ketiganya dibaptis bersama-sama dengan istri mereka, kemudian beberapa orang dibaptis antara lain : S. Sumasa, H. Emor, Runtuwailan, Soyawan, Walewangko, Tampongangoy, Sambaoouw, Dopong, dan lain-lain.

Jauh sebelum mereka dibaptis menjadi Kristen, pada abad ke-16, anak dari Permasyuri OKI yang menjadi pemimpin Suku di Toundanouw yang dipinang oleh Raja Bolaang, ketika bersekolah di Manado pada sekolah Belanda dibaptis dengan nama Kristen YACOBUS MANOPO, kemudian setelah selesai sekolah ia kembali ke Bolaang untuk menemui Orang Tuanya dan pada tahun 1694 dinobatkan menjadi raja Bolaang. Pada masa Spanyol diceritakan telah ada juga orang-orang Toundanouw di Kali yang dibaptis oleh Paderi Spanyol atau Tasikela. Akan tetapi karena orang-orang Spanyol melanggar adat istiadat dan sopan santun Masyarakat, kemudian atas pimpinan OKI, orang-orang spanyol terbunuh tanpa seorangpun selamat. Sebagai akibatnya orang-orang yang semula telah menerima Kristen, kembali kepada kepercayaan roh leluhur yaitu Opo atau Empung.

Versi II (Kedua)

Mengatakan bahwa setelah bertahun-tahun dataran yang kering itu barulah dibuat sawah-sawah. Tahun 1819 diterima Surat dari Conterleur di Tondano yang memintakan supaya rakyat yang berada digunung-gunung dikumpulkan di satu tempat. Kepala walak Toundanouw yaitu TINGALOW kemudian mengadakan perundingan dengan kepala Imbuwuleng (Semacam hukum kedua) yaitu MAHASEREB dan Kepala Iuputusan (kepala adat) bernama LASENGE untuk mengatur penduduk agar mendiami tempat yang telah kering itu. Tahun 1820, ketiga orang tersebut pergi ke Tondano untuk melaporkan mengenai persiapan-persiapan rencana pemukiman penduduk. tahun 1823, Kepala Kadaster dari Tondano datang mengukur letak perkampungan serta jalan-jalan yang akan dibuat. Tahun 1830, orang-orang diharuskan mendirikan rumah didataran yang telah diukur tersebut. Tahun 1830, Negeri baru dengan nama Tombatu disahkan oleh Kepala Distrik Tonsawang yaitu MOMOMUAT atas nama Pemerintah Belanda. Tahun 1837 TINGALOW dibaptis dengan nama PETRUS MOMUAT, MAHASEREB dengan nama MAHASEREB GOSAL sedangkan LASENGE dibaptis dengan nama MUSA GOSAL. Diceritakan bahwa pada waktu MAHASEREB akan dibaptis, Ia berkata pada penginjil Riedel agar namanya tetap dibaptis dengan MAHASEREB" agar supaya semua orang akan dikuasai oleh Tuhan Allah dengan Injil-Nya".

Versi III (Ketiga)

To be Continued Part 2..... !!!


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More