Jumat, 02 Januari 2015

Kehidupan Manusia Purba dan Terbentuknya Suku di Minahasa Part 2

Andaikata penemuan-penemuan seperti Kjokkenmodinger (sampah-sampah dapur atau bukit kerang yang ditemukan di Sumatera Utara) dan fosil-fosil manusia Papua Melanesoid dapat dianggap pendukung budaya Mesolithicum di Minahasa, maka kulit-kulit kerang atau siput yang ditemukan di daerah Tombatu (Dahayu) tahun 1953 itu juga merupakan suatu bukti bahwa pada masa itu, di daerah Toundanouw (Tonsawang) pada kira-kira 6000 SM telah ada manusia yang bertempat tinggal menetap. Demikian pula penggalian saluran yang dilakukan oleh Tonaas Lelengboto yaitu usaha untuk mengeringkan danau Toundanouw pada zaman dahulu kala, untuk maksud mendirikan pemukiman dan pertanian serta persawahan, berarti pula bahwa pada zaman Neolithicum telah ada manusia di Minahasa dan mereka telah menjadi masyarakat berproduksi makanan, artinya mereka tidak tunduk kepada alam lagi akan tetapi telah menundukan alam. Mereka tidak mengumpulkan lagi, akan tetapi justru telah didapatnya dengan cara produksi.

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan pula bahwa sebelum datangnya Lumimu'ut menurut legenda atau mythe yang telah saya posting sebelumnya, telah ada manusia purba minahasa selain dari pada Karema. bahkan mungkin selain Karema telah banyak orang yang tersebar didaerah pegunungan Wulur Mahatus dan sekitarnya sebagai sisa-sisa orang-orang indonesia asli yang terdesak ke pedalaman oleh datangnya bangsa Indonesia kemudian. Dengan kata lain, orang-orang asli itu merupakan sisa-sisa manusia yang disebut Proto-insan "Seperti manusia Pithecanthropus Erectus yang ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di Trinil". Pithecanthropus tinggi tubuhnya kira-kira 165-190 cm dan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan, mereka belum mengenal memasak, jadi makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Tetapi karena adanya binatang-binatang buas, mereka hidup berkelompok.

Orang-orang yang datang kemudian terjadi pada kira-kira tahun 2000 SM yang bersamaan dengan zaman Neolithicum dan pada kira-kira 500 tahun SM yaitu zaman Perunggu, mengalirlah gelombang perpindahan rakyat-rakyat dari Asia ke Indonesia. Orang-orang Asia yang datang ke Indonesia dalam zaman perunggu ini kemudian mendesak orang-orang yang datang sebelumnya ini ke pedalaman. Perpindahan itu tentu saja dilakukan memakan waktu yang lama, secara berpuak-puak, segelombang-segelombang sehingga kemungkinan mereka yang datang kemudian itu termasuk Lumimu'ut yang selamat dari bahaya gelombang laut dan mendarat di tanah Minahasa, dimana Karema telah berada jauh sebelumnya.

Dengan munculnya manusia-manusia pendatang baru ini, membawa pula kebudayaan baru dimana mereka hidup tidak lagi mengembara sebagai bangsa kelana, akan tetapi sudah tahu bercocok tanam sehingga mereka tinggal menetap. Karena mereka itu untuk menjaga keamanan, maka mereka diam bersama-sama, tempat kediaman mereka itu merupakan masyarakat kecil. Di antara orang-orang itu ada yang diangkat menjadi pemimpin atau kepala yang menjalankan pemerintahan masyarakat kecil itu. Walaupun masih merupakan masyarakat kecil, pada zaman Neolithicum sudah ada pembagian pekerjaan, artinya ada satu golongan yang bercocok tanam, ada yang memelihara ternak, ada yang membuat alat-alat dari batu, ada yang berjalan dan sebagainya. Karena hasil pekerjaan mereka itu berlebihan, kelebihannya itu dijual atau ditukar kepada kelompok-kelompok manusia yang hidup didekatnya. Dengan ini timbulah perdagangan antara orang-orang yang diam berdekatan. Sedikit demi sedikit kelompok-kelompok manusia itu dapat dipersatukan menjadi satu kesatuan, yang akhirnya menjadi negeri kecil yang teratur, kemudian muncul masyarakat yang lebih besar yang disebut Suku Bangsa.

Dengan demikian, maka pada zaman neolithicum telah ada manusia di Minahasa seperti dikatakan tadi bahwa Tonaas Lelengboto mengeringkan danau untuk pendirian rumah dan persawahan dan karena itu mereka telah mengenal bercocok tanam disawah tetapi juga sebelumnya berhuma seperti ladang yang ditanami padi. Tempat tinggal mereka yang menetap masih terdapat dibukt-bukit sekitar danau yang sampai sekarang bukti-buktinya masih ada di daerah Tombatu dan sekitarnya. Mereka terdiri dari negeri-negeri kecil yang berdiam dibukit-bukit seperti yang dinamakan bukit Seben, Katuahan, Talemale, Dahayu, Topowiren, Sarukoyot, Pasisiwen, Tabe, Abur, Pak, Powowd, Bitunggal, Kali dan sebagainya. Menurut cerita rakyat Nene-moyang Toundanouw (Tonsawang) telah mendiami bukit-bukt itu sejak dahulu kala dan mereka telah mengenal berladang dan menanam sayur-sayuran dn memelihara ternak. Hal ini mungkin hanya salah satu contoh atau bukti dari kelompok-kelompok manusia yang tersebar di Tanah Minahasa lainnya. Penelitian mengenai kehidupan kelompok-kelompok kecil masyarakat di Minahasa sudah tentu masih perlu dilakukan.

Setelah penduduk bertambah banyak dan menetap disuatu daerah tertentu lalu muncul pengelompokkan manusia yang lebih besar yang didasarkan atas perkawinan antar kelompok dengan kelompok yang lain. Didalam cerita tua di daerah Toundanouw (Tonsawang) pada zaman lampau, telah dikenal suatu susunan masyarakat yang terdiri dari golongan-golongan. Kelompok-kelompok yang muncul sebagai akibat dari perkawinan dengan pendatang baru, melahirkan kaum keluarga dan taranak yang dikatakan merupakan keturunan Toar dan Lumimu'ut dan dengan penggabungan-penggabungan secara sukarela serta berdasarkan perkawinan atau hubungan keluarga hingga terbentuk sembilan kaum taranak yang masing-masing dipimpin oleh seorang Tonaas ataupun Balian/Walian.

Tiap-tiap taranak ini dipimpin oleh Balian yang berfungsi selaku pemimpin agama/kepercayaan dan adat istiadat. Sedangkan Tonaas berfungsi sebagai pemimpin taranak dalam usaha pencaharian hidup (bertani,berburu) dan melindungi kaum taranak dari bahaya musuh ataupun kekuatan luar. Tetapi dalam beberapa ratusan tahun kemudian, terjadi suatu masalah dimana para pemimpin tadi menganggap sebagai penguasa yang bertindak diluar batas dengan memandang golongan-golongan masyarakat lainnya sebagai budak (ata'). Beberapa pemimpin negeri menjadi kelas menengah dan termasuk didalamnya kaum pedagang yang menjual hasil-hasil produksi mereka dengan jasa, sementara kelas yang terendah yaitu petani, nelayan menjadi rakyat biasa dan diperas tenaganya untuk keuntungan para pemimpin masyarakat tersebut. Perlakuan tersebut dalam beberapa abad kemudian, menimbulkan pemberontakan golongan yang disebut Pasiowan Telu melawan Maharua Siow dan Mahatelu Pitu.

Pemberontakan golongan Pasiowan Telu, dikatakan berjalan sangat lama dan terus-menerus menimbulkan kecurigaan antara satu dengan yang lain sehingga membawa akibat pengungsian-pengungsian. Ada yang lari kebagian Utara tanah Minahasa, ada yang melarikan diri ke pulau-pulau disekitar tanah Minahasa. Peristiwa itu juga berlangsung beberapa abad lamanya, kemudian mereka yang mengungsi kembali lagi ke tanah Minahasa. Akibat lainnya, bahwa kemajuan yang mula-mula mereka telah capai, kembali merosot dan hidup lagi dalam masa bercocok tanam seperti halnya ketika mereka meninggalkan kaum taranak mereka itu. Pemberontakan itu mengakibatkan terjadinya penyebaran orang-orang yang mula-mula berdiam disekitar Wulur Mahatus dan sekitarnya kedaerah sebelah gunung soputan terus kearah Barat laut, Utara timur laut dan pulau-pulau sekitar Minahasa dan Ternate, Tomini, Tifore Majoe, Loloda dan lain sebagainya.

Oleh karena mereka yang berada dipengembaraan dipulau-pulau itu merasa tidak aman dan adanya perompak-perompak laut serta kehidupan yang kurang menyenangkan dengan terbatasnya persediaan makanan, tanah yang kurang subur dan telah terbiasa dengan bertani, bahkan sebagai pelaut yang hidup dari menangkap ikan laut (Nelayan), akhirnya mereka kembali lagi ketanah asalnya Minahasa untuk mencari tempat tinggal nenek moyangnya mula-mula. Dalam cerita tua selama pengungsian dan pengembaraan terjadi perang-perangan antar kelompok yang saling mencurigai sebagai akibat rasa kecewa atas terjadinya pengungsian mereka itu. Dengan kata lain akibat dari pemberontakan itu, membawa pengaruh terhadap pemerintahan mereka, yang tidak lagi mereka temukan ketika sebelum pemberontakan. Masing-masing kelompok yang menyebar melakukan upacara menurut kepercayaan mereka masing-masing dan demikian pula tentang pengaturan kelompoknya menurut adat atau kebiasaan dari mereka sendiri-sendiri. Proses ini berkembang juga menurut keinginan kelompok dan keadaan tempat tinggal masing-masing. Akibatnya, masing-masing kelompok mempunyai adat kebiasaan sendiri-sendiri dan bilamana kelompok lain tidk mengindahkan kepercayaan mereka, terjadilah konflik yang menurut cerita menjurus kepada adat Mangayow atau Potong Kepala.

Namun setelah peristiwa ini berlangsung berabad-abad lamanya, maka atas inisiatif beberapa pemimpin kelompok yang dianggap sakti dan tidak mudah dikalahkan oleh yang lain, lalu mengumpulkan seluruh pemimpin-pemimpin kelompok untuk membicarakan tatanan masyarakat baru disertai dengan adat-istiadat dan kepercayaan. Peristiwa itu, dikatakan berakibat munculnya kelompok-kelompok masyarakat baru dengan bahasa dan adat kebiasaan mereka masing-masing berdasarkan kepercayaan yang mereka telah anut sebelumnya. Sesudah pertemuan di Pinabetengan itu, barulah dikenal sebutan suku Tombulu, Tonsea, Tolour, Toundanouw (Tonsawang), Tontemboan, dll.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More