Rabu, 21 Januari 2015

Pemerintahan Zaman Purba (Khususnya di Minahasa) Part.2

Postingan saya saat ini merupakan sambungan dari Postingan terdahulu yang berjudul "Pemerintahan Zaman Purba (Khususnya di Minahasa Part.1), dan bagi yang belum sempat membacanya dapat dilihat disini. Ok.....kita lanjutkan saja....!!!

Tiap-tiap sub-sistim Taranak atau negeri dibantu oleh seorang pemimpin yang disebut KUMARUA yang berfungsi sebagai pembagi kerja dari anggota-anggota atau warga Negeri diberbagai bidang. Dari ketujuh negeri itu terdapat 7 orang pula sebagai kumarua. Para Kumarua ini adalah anak kedua dari Tonaas dan Balian tersebut, sedangkan anak yang ketiga diangkat sebagai UKUNG atau Mahawetik selaku pembantu Negeri dibidang penegakan peraturan negeri yang bersumber dari adat-kebiasaan atau adat-istiadat. Dengan demikian terdapat pula 7 orang Ukung atau Mahawetik diseluruh negeri atau sub-sistim kekerabatan tadi. Tiap-tiap negeri taranak atau sub-sistim kekerabatan ini tetap dalam lingkungan kesatuan Taranak Um Banua dengan satu kesatuan hukum adat.

Dengan demikian, maka dari seluruh kesatuan hukum adat tersebut terdapat 21 orang pemimpin negeri atau sub-sistim kekerabatan yang tetap memegang ketentuan adat istiadat dari dan yang diturunkan oleh pemimpin tertinggi mereka yaitu Balian dan Tonaas. Ke-21 pemimpin tersebut dalam perkembangan kemudian hari dianggap orang-orang yang berpengaruh dan karena kemampuan mereka memimpin negeri taranak, akhirnya mereka tetap dihormati oleh warganya. Mereka mendapat pula keistimewaan-keistimewaan perlakuan dan pembagian-pembagian barang bergerak maupun tidak bergerak dari anggota/warga negeri. Mereka mendapatkan bantuan dari warga negeri seperti pembagian hasil buruan, atau diadakan upacara-upacara poso, juga hasil pertanian seperti padi, dll yang menjadi kewajiban anggota/warga negeri. Golongan pemimpin ini dalam susunan masyarakat disebut "MAHATELU PITU".

Sebagaimana disebutkan pada postingan terdahulu bahwa apabila salah seorang dari Pamatuan, Kumarua dan Ukung tadi meninggal dunia oleh sesuatu sebab, maka jabatannya diganti oleh saudara-saudaranya yang lain. Umumnya saudara-saudara mereka tersebut terakhir ini diserahi kedudukan khusus selaku penjaga kampung atau negeri. Mereka ini disebut BARANEY atau WARANEY yang mirip dengan sebutan LASKAR atau PRAJURIT. Tugas utama para waraney ini adalah menjaga pertahanan kampung atau negeri baik dari serangan musuh ataupun serangan binatang buas yang memasuki kampung. Pemimpin yang dianggap paling kuat dan tidak mudah dikalahkan dari para Baraney atau Waraney disebut TETERUSAN. Diantara Teterusan masih terdapat orang yang lebih hebat dan menjadi kepala dari semua Waraney dan bila kepala ini gagal pada saat-saat terakhir melawan musuh atau binatang buas, dianggap seluruh Baraney/Waraney telah menyerah. Kepala dari semua Teterusan ini disebut "PENOTOHAN". Para Penotohan yang gagah perkasa dan tidak terkalahkan itulah yang biasanya ditunjuk sebagai pengganti Kakak mereka yang meninggal atau cacat seumur hidup menjadi PAMATUAN, UKUNG, atau KUMARUA. Dalam proses perkembangan masyarakat mereka sangat dihormati karena jasa-jasa mereka dalam mempertahankan negeri dari serangan musuh. Walaupun pada mulanya tidak termasuk dalam golongan Mahatelu pitu, mereka kemudian setelah duduk dalam keprintahan karena menggantikan kakak mereka itu, lama-kelamaan dianggap pula termasuk golongan Mahatelu Pitu. Jelasnya merekapun diberikan kedudukan khusus tetapi untuk beberapa waktu kemudian barulah mereka menempati jabatan pemimpin negeri tadi. Tugas utama mereka setiap hari adalah menjaga pertahanan kampung atau negeri dan tidak sebagai pemimpin negeri. Dalam keadaan kekosongan jabatan pemimpin negeri barulah mereka diangkat sebagai pengganti kakak mereka itu.

Golongan masyarakat yang kurang berpengaruh atau yang diperintah disebut "PAHASIOWAN/PASIOWAN TELU". Golongan ini biasanya terdiri dari rakyat yang diperintah, petani, pekerja/tukang dan budak. Karena mereka terdiri dari rakyat biasa dan banyak mereka dianggap sebagai basis utama suatu negeri. Dalam masyarakat Minahasa Zaman Purba, golongan ini lebih banyak dituntut kewajiban daripada haknya, terutama membantu pertahanan negeri dan usaha-usaha pencaharian seperti berburu dan menangkap ikan serta pengabdian lainnya. Disamping jabatan-jabatan tersebut diatas, dalam masyarakat purba Minahasa juga telah dikenal adanya semacam peradilan khusus jika terjadi perselisihan diantara anggota-anggota keluarga dan negeri. Peradilan khusus ini dibentuk berdasarkan kebutuhan dan situasi tertentu tetapi tidak melembaga. Perselisihan-perselisihan ini pada dasarnya disebabkan seperti bertambahnya anggota-anggota/warga yang mengakibatkan penuntutan hak tertentu seperti tanah tempat tinggal atau tanaman yang ditanamkan pada suatu tempat (tanah tertentu), maupun karena salah paham terhadap sesuatu masalah adat-istiadat yang berlaku. Dalam peristiwa terjadi perbantahan ataupun sengketa diantara anggota negeri atau keluarga, ditunjuklah oleh pemimpin negeri beberapa orang yang dianggap paling banyak mengetahui tentang adat-istiadat maupun kebiasaan. Orang-orang yang ditunjuk biasanya tua-tua negeri yang telah berhenti dari jabatan Keprintahan. Mereka ini disebut GUMIGIROT. Dalam melakukan penyelesaian perselisihan mereka dibantu oleh para Ukung sebagaimana disebutkan terdahulu. Umumnya GUMIGIROT diambil dari para Ukung yang sudah Tua dan berhenti dari pekerjaannya, sebab mereka dari semula dianggap mengetahui seluk-beluk adat-istiadat ketika mereka dalam Keprintahan dari Pamatuan atau Kepala Negeri. Apabila suatu perselisihan batas negeri atau pertanian dan lain-lain yang dipersengketakan telah dapat diatasi secara damai, kemudian sidang ini bubar dengan sendirinya. Ia baru akan bersidang lagi, jika terjadi pengaduan atau dimintakan oleh Pamatuan untuk menyelesaikan suatu sengketa. Tetapi sistim ini lama-kelamaan diteruskan setelah perkembangan masyarakat lebih bertambah kompleks di abad-abad kemudian.

Konon, setelah berabad-abad lamanya sistim Keprintahan Masyarakat purba Minahasa itu, maka terjadi suatu pemberontakan terhadap kepala-kepala Um Banua yang dipimpin oleh para Tonaas dan Balian. Pemberontakan terjadi sekitar abad ke-5 dan ke-6 yang dilakukan oleh golongan PASIOWAN TELU. Hal ini bermula dari tindakan-tindakan para Balian dan Tonaas yang terlalu ketat mempertahankan kedudukan mereka dengan tidak memperdulikan nasib kaum PASIOWAN TELU yang bekerja. Para Tonaas dan Balian terus memegang kedudukan dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang ketat seperti ; 
tanah-tanah keturunan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun selama mereka hidup ataupun telah meninggal. Karena Golongan Pasiowan Telu terus bertambah banyak maka kebutuhan akan pertanian maupun tempat tinggal semakin menyempit. Tetapi hal ini tidak dimungkinkan oleh aturan adat kebiasaan, tanpa seisin dari Balian atau Tonaas. Bila mereka mendapat isin dari Balian atau Tonaas, merekapun harus pertama-tama memenuhi kewajiban sebelum mendapatkan keluasan. Bahkan para Balian maupun Tonaas menganggap PASIOWAN TELU sebagai budak dan dalam pandangan mereka dianggap "Rendah".
Sebagai akibat dari perlakuan-perlakuan tadi, golongan Pasiowan Telu menuntut supaya mereka dihargai sebagai manusia sama dengan mereka juga, dan sama dengan ini menuntut diizinkan membagi tanah-tanah adat sehingga mereka lebih bebas menanam tanaman untuk hidup dan kehidupan keluarga mereka dan yang terakhir mereka menuntut jika kedua hal tadi tidak diizinkan, agar sistim pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat autoritas Balian atau Tonaas melainkan harus dipilih dari anggota-anggota masyarakat kaum taranak.

Alkisah, tuntutan mereka itu malah dijawab dengan tindakan-tindakan yang ganas dan lalim, sehingga terjadi pemberontakan dan perlawanan dari kaum PASIOWAN TELU. Mereka mengangkat senjata Purba (Tombak dan Beliung dan apa saja yang mereka dapat gunakan untuk melawan kelaliman sang penguasa). Oleh karena semua orang yang dianggap budak, petani, nelayan dan bahkan beberapa prajurit memihak mereka, maka pemberontakan itu meluas keseluruh negeri dan mengakibatkan perpecahan golongan. Dikatakan, beberapa anggota yang termasuk pada MAHATELU PITU ada yang memihak kepada PASIOWAN TELU, disebabkan lamanya pemberontakan yang tidak habis-habisnya. Beberapa orang MAHATELU PITU yang mencoba meyakinkan pemimpin mereka akan bahaya berlarut-larutnya pertentangan, ternyata malah dipecat dari jabatan, dan mereka lalu bergabung pada golongan Pasiowan Telu. 

Dengan terjadinya pemberontakan ini, maka sebagian dari ketiga golongan tadi melarikan diri atau mengungsi kedaerah-daerah aman. Sebagian pergi mengembara ke pulau-pulau disekitar Minahasa, sebagian kesebelah Utara Gunung Soputan, dan sebagian lagi dari Pasiowan Telu tetap bertahan di daerah asalnya yaitu disekitar Gunung dan Danau di sebelah Selatan Gunung Soputan, yaitu antara daerah Toundanouw (Tonsawang) sampai gunung Wulur Mahatus. Pengungsian itu sebagian melewati pantai timur di daerah Toundanouw yaitu Belang, lalu ke Bentenan dan pulau-pulau disekitar Maluku antara lain Tifore, Majoe dan Loloda. Sebagian lagi mengungsi dengan melalui Pantai Awuran (Amurang) kepulau-pulau di Laut Sulawesi Utara (Manado Tua, Talisey, Bengka, dll). Sebagian lagi ke arah Barat ke Bolaang Mongondow terus kedaerah Tomini dan ke Toli-toli atau Tanteli. Tetapi sebagian besar dari para pengungsi pergi kesebelah Utara Gunung soputan melalui antara Manimporok dan Soputan dan tiba di daerah Kanonang sekarang antara Kawangkoan dan Tumaratas.

Dengan terjadinya pengungsian penduduk tersebut maka orang-orang yang mengungsi kembali lagi mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika pemberontakan terjadi di daerah Wulur Mahatus dan sekitarnya itu, belumlah ada yang disebut sebagai Suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang dan lain-lain sebagainya. Oleh karena perasaan curiga dan takut terhadap yang lain, maka selama pengembaraan mereka kedua kali ini, terjadi pula peperangan-peperangan antar mereka yang bertemu baik secara individual maupun kelompok. Dan di dorong oleh keyakinan atas kepercayaan mereka masing-masing berakibat pembunuhan terhadap siapa yang dicurigainya, ini disebut "MANGAYOW". Tiap-tiap kelompok untuk hidup harus mampu mempertahankan diri dan yang lemah akan tewas. Dari sini kepercayaan lama bangkit kembali untuk maksud pembelaan diri dan perasaan tidak aman selama dalam pengungsian menghantui mereka pula. Bahkan tiap-tiap kelompok berusaha mengembangkan adat-istiadat atau kebiasaan sendiri, sehingga tidak lagi seragam atau satu sebagaimana mereka pada waktu di tanah leluhurnya.

Penyebaran penduduk akibat dari pemberontakan ini, membawa dampak baru dalam tatanan masyarakat purba pula. Terjadi pengelompokan baru menurut kebiasaan mereka sendiri dan sudah tentu baik adat-kebiasaan berkembang menurut keyakinan kelompok ini. Beberapa kelompok yang menyebar masing-masing mengembangkan adat kebiasaan sendiri demikian pula bahasa atau tutur in tanah ataupun logat bahasa bagi kaum keluarga atau rombongan penduduk.

Konon, mereka yang pergi mengembara di pulau-pulau disekitar Minahasa dalam suatu kurun waktu tertentu, kembali datang ke daerahnya. Itulah sebabnya beberapa penulis Barat mengatakan bahwa Suku Tonsawang kemudian masuk dari daerah pantai Kema ke Tonsea, lalu ke Kakas, Tompaso dan akhirnya kembali datang di daerah asalnya Toundanouw disekitar pegunungan Wulur Mahatus, lalu bersatu kembali dengan sisa-sisa penduduk asli. Juga disebutkan Suku Tondano, yang datang ke Tanjung Pulisan lalu menyebar ke pedalaman berasal dari pulau-pulau disekitar Minahasa. Tetapi sebetulnya mereka ini adalah diantara golongan PASIOWAN TELU serta prajurit-prajurit (Waraney-Waraney) yang mengungsi pada waktu terjadi pemberontakan di zaman itu.

Setelah beberapa puluh tahun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain saling perang-perangan, rupanya beberapa Pemimpin Taranak sadar lagi akan perlunya mengusahakan persatuan dan Kesatuan. Dalam abad ke-7, beberapa tokoh tua di Minahasa Utara dan tengah mencoba mengadakan pertemuan untuk membicarakan adat-istiadat, bahasa dan tempat Pahutunan atau pemukiman secara teratur. Konon, pertemuan itu diadakan di Pinabetengan dimana semua kepala-kepala kelompok taranak yang saling bermusuhan itu hadir. Kehadiran mereka dikatakan atas panggilan Sang Burung Manguni yang memberikan tanda kepada masing-masing untuk datang ditempat itu dan melalui tanda burung manguni mereka dinasihatkan untuk melepaskan segala atribut perangnya untuk sementara waktu.

Pertemuan itu dikatakan berhasil dan keputusan para pemimpin kelompok antara lain menerima susunan masyarakat baru dengan penetapan tempat tinggal kaum taranak yang tetap. Dari sini barulah kemudian timbul sebutan Tombulu, Tonsea, Tolour, Tontemboan, Tonsawang, dll. Hal yang sangat pelik dalam pertemuan untuk diselesaikan dikatakan masalah adat-istiadat maupun kebiasaan dan ini pada akhirnya tidak dicapai kata sepakat, kecuali disetujui bahwa masing-masing taranak dapat mengembangkan ketentuan-ketentuan adat-istiadat maupun kebiasaannya masing-masing dengan menghindari kelompok taranak tidak beradat. Walaupun demikian semua yang hadir tetap mengakui dirinya sama-sama berasal dari satu Kasuruan.

Setelah pertemuan di Pinabetengan pada kira-kira abad ke-7, maka berkembanglah kaum taranak baru disuatu daerah pemukiman dengan masing-masing secara bebas mengembangkan adat-istiadat maupun kebiasaannya menurut keinginan pemimpin-pemimpin taranak dan keadaan setempat. Pada hakekatnya semua ketentuan yang tumbuh dalam suatu taranak didasarkan pada kepercayaan yang dianut oleh pemimpin dan masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain baik bahasa maupun adat-kebiasaannya berkembang menurut keinginan pemimpin dan masyarakat setempat dengan berpedoman pada kekuatan supernatural yang disebut Opo, Opok atau Empung. Segala yang menjadi aktivitas manusia didasarkan pada nilai-nilai ideal yang terkandung dalam religi Suku. Apa yang dianggap baik atau buruk segalanya diukur dari kepercayaan yang mereka anut. Karenanya, adat tata kelakuan mereka itu merupakan pedoman yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan mereka di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hampir setiap suku-suku di Minahasa setelah pertemuan di Pinabetengan memiliki adat-istiadat atau kebiasaan yang dalam beberapa hal tertentu mempunyai sedikit perbedaan dengan adat-istiadat atau kebiasaan suku yang lain.

Menurut Prof. C. Van Vollenhoven, suku dan negeri atau desa di Minahasa merupakan suatu persekutuan hukum yang sebagian bersifat territorial dan sebagian bersifat genealogis yaitu Pakasaan, Desa dan Pamili. Pakasaan terjadi dari Walak (Stam) dan berakar kata Asa atau Esa dan berarti Satu. Awalan Pa- dan akhiran -an menunjukkan dalam keadaan, jadi dalam keadaan satu atau kesatuan. Sesungguhnya Pakasaan memang merupakan kesatuan Geografis, Ethnografis, Ekonomis dan Kulturil. Kemudian pada masa Pemerintahan Belanda, Pakasaan berubah menjadi Distrik dan Kepala Pakasaan menjadi Pegawai Pemerintah Belanda dengan sebutan Kepala Distrik atau Hukum Besar. Hampir dimana-mana walak yang dari suku menetap telah menjadi kesatuan hukum adat yang oleh VOC dan Pemerintah Belanda diakui, tetapi kemudian hari derajatnya menjadi sebagian dari Distrik. Istilah Walak sampai tahun 1830 masih berlaku, kemudian diganti Distrik. Tahun 1679 terdapat 23 Walak, tahun 1699 terdapat 24 Walak, tahun 1803-1810 terdapat 27 Walak, tahun 1810-1817 terdapat 26 Walak, dan tahun 1817-1830 terdiri atas Afdeling Manado, dengan beberapa Walak dan 5 Distrik.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More